Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut ini merupakan lanjutan tentang pembahasan syuf’ah, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.

H. Syuf’ah di antara para syafii’

Jika syuf’ah dilakukan antara lebih dari seorang syafii’, di mana mereka adalah para pemilik saham yang berbeda-beda, maka masing-masingnya mengambil barang yang dijual itu sesuai kadar sahamnya, hal ini menurut Imam Malik, dan pendapat paling shahih di antara dua pendapat Imam Syafi’i dan Ahmad. Hal itu, karena ia merupakan hak yang dapat diambil dengan sebab kepemilikan, oleh karenanya sesuai kadar kepemilikan. Ulama madzhab Hanafi dan Ibnu Hazm berkata, “Sesubgguhnya hal itu sesuai jumlah orang, karena mereka sama-sama berhak memiliknya.”

I. Pewarisan syuf’ah

Imam Malik, Syafi’i dan para penduduk Hijaz berpendapat bahwa syuf’ah diwariskan dan tidak batal karena wafat. Jika syuf’ah telah wajib baginya, lalu ia meninggal dan tidak mengetahuinya atau mengetahuinya lalu meninggal sebelum bisa mengambil, maka hak tersebut berepindah kepada ahli waris diqiaskan dalam masalah harta lainnya. Adapun Imam Ahmad, ia berpendapat bahwa hal itu tidak diwariskan, kecuali jika mayyit sebelumnya telah memintanya. Sedangkan ulama madzhab Hanafi berpendapat, “Sesungguhnya hak ini tidak dapat diwariskan sebagaimana ia tidak dijual meskipun mayitnya meminta syuf’ah, kecuali jika hakim menetapkan untuknya lalu ia meninggal.”

J. Tindakan yang dilakukan oleh pembeli

Tindakan yang dilakukan pembeli pada barang sebelum syafii’ mengambil syuf’ahnya adalah sah. Hal itu, karena tindakan tesebut dilakukan pada miliknya. Jika dijualnya, maka syafii’ berhak mengambil dengan salah satu dari dua jual beli. Jika ternyata dihibahkan, diwaqfkan, disedekahkan atau dijadikan mahar dan sebagainya, maka tidak ada lagi syuf’ah. Hal itu, karena di dalamnya terdapat madharrat terhadap yang diambil, karena miliknya sudah hilang tanpa ganti, dan madharrat tidak dapat dihilangkan dengan madharrat juga. Adapun tindakan yang dilakukan pembeli setelah si syafii’ mengambil syuf’ahnya, maka hal itu batal karena berpindahnya milik menjadi milik syafii’ dengan adanya permintaannya.

K. Si pembeli membangun bangunan sebelum memiliki syuf’ah

Apabila pembeli membangun bangunan atau menanam pohon pada bagian yang disyuf’ahkan sebelum diberlakukan syuf’ah, lalu ia memilikinya dengan syuf’ah, maka menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah bahwa si syafii’ berhak memberikan nilai bangunan dalam keadaan roboh, dan memberikan nilai pohon yang ditanam dalam keadaan sudah dicabut atau membebaninya untuk dirobohkan. Imam Malik berkata, “Tidak ada syuf’ah, kecuali jika  memberikan kepada si pembeli uang senilai bangunan yang dibangunannya atau pohon yang ditanamnya.”

L. Shulh (damai) dengan menggugurkan syuf’ah

Jika dilakukan sulh terhadap haknya dalam syuf’ah atau menjualnya kepada pembeli, maka perbuatannya adalah batal dan menggugurkan haknya dalam syuf’ah. Ia pun harus mengembalikan dari pembeli apa yang telah diambilnya sebagai ganti. Hal ini menurut pendapat Imam Syafi’i, sedangkan menurut imam yang tiga, hal itu adalah boleh, bahkan ia berhak memiliki sesuatu yang diberikan pembeli.

M. Kesimpulan hukum-hukum yang terkait dengan syuf’ah

1. Tidak boleh bagi sekutu menjual bagiannya sampai memberitahukan atau menawarkan kepada sekutunya. Jika ia telah menjualnya tanpa memberitahukan lebih dulu, maka kawan sekutunya lebih berhak terhadapnya.

2. Syuf’ah hanya berlaku pada tanah dan sesuatu yang tidak bisa dipindahkan, jika bisa dipindahkan, misalnya barang-barang, hewan, dsb. maka tidak berlaku (lihat pula pembahasan tentang syarat-syarat syuf’ah).

3. Syuf’ah adalah hak syar’i, tidak boleh dicari helat (celah) untuk menggugurkannya, karena ia disyariatkan untuk menghindarkan madharat dari sekutunya.

4. Syuf’ah berlaku bagi para sekutu sesuai kadar kepemilikan mereka. Siapa yang berhak mendapatkan syuf’ah, maka ia mengambilnya dengan harga penjualannya baik secara tempo maupun kontan.

5. Syuf’ah berlaku karena bagian yang berpindah dari seorang sekutu merupakan jual beli yang tegas atau semakna dengannya. Oleh karena itu, tidak ada syuf’ah pada sesuatu yang berpindah dari miliki sekutu tanpa ada jual beli, seperti dihibahkan tanpa ganti, atau diwarisi atau diwasiati.

6. ‘Aqaar (sesuatu yang tidak bisa dipindahkan) yang berpindah kepemilikan dengan adanya jual beli harus bisa dibagi. Oleh karena itu, tidak ada syuf’ah pada barang yang tidak bisa dibagi, seperti kamar mandi kecil, sumur, dan jalan.

7. Syuf’ah bisa dituntut segera setelah ia mengetahui sesuatu dijual. Jika tidak dituntut sewaktu dijual, maka menjadi batal. Kecuali jika ia belum tahu, maka tetap berlaku syuf’ahnya. Demikian pula masih berlaku, jika ia menundanya karena adanya uzur, seperti tidak tahu hukumnya atau uzur lainnya (lihat pula pembahasan syarat-syarat syuf’ah).

8. Objek syuf’ah itu tanah yang belum dibagi dan belum dibatasi, serta apa yang ada di sana berupa pepohonan dan bangunan. Jika sudah dibagi, tetapi masih ada sebagian perlengkapan yang disekutui antara beberapa tetangga, seperti jalan, air, dan semisalnya, maka menurut pendapat yang paling shahih, syuf’ah tersebut masih berlaku.

9. Si syafii’ harus mengambil semua yang dijual, tidak mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian. Yang demikian tidak lain untuk menghindarkan madharat dari pembeli.

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.

Oleh: Marwan bin Musa

Artikel www.Yufidia.com

Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Fiqh Muyassar, dll.

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28