Aqidah Islam (21)

46- الكفر الوارد ذكره في الألفاظ الشرعية قسمان: أكبر مخرج من الملة، وأصغر غير مخرج من الملة ويسمى أحياناً بالكفر العملي .

47- التكفير من الأحكام الشرعية التي مردها إلى الكتاب والسنة، فلا يجوز تكفير مسلم بقول أو فعل، ما لم يدل دليل شرعي على ذلك، ولا يلزم من إطلاق حكم الكفر على قول أو فعل ثبوت موجبه في حق المعين إلا إذا تحققت الشروط وانتفت الموانع، والتكفير من أخطر الأحكام فيجب الثبت والحذر من تكفير المسلم .

46. Kufur dalam bahasa agama ada dua macam: pertama, kufur akbar, yaitu kufur yang menyebabkan seseorang keluar dari agama. Kedua, kufur asghar, yaitu kufur yang tidak menyebabkan seseorang keluar dari agama. Kufur semacam ini terkadang disebut dengan kufur ‘amali.

47. Takfir (pernyataan atau penghukuman terhadap seseorang bahwa dia orang kafir) termasuk hukum agama yang acuannya adalah Alquran dan As Sunnah. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena suatu ucapan atau perbuatan jika tidak ada dalil syar’i yang menyatakan demikian. Suatu ucapan atau perbuatan yang dinyatakan sebagai kufur tidak mesti pelakunya pun menjadi kafir, kecuali jika syarat-syaratnya terpenuhi dan tidak ada hal-hal yang menghalanginya. Takfir termasuk hukum paling serius. Karena itu, kita harus berhati-hati dan waspada dalam mentakfirkan seorang muslim. (Mujmal Ushul Ahlissunnah wal Jama’ah karya Dr. Nashir Al ‘Aql, tentang iman)

Keterangan:

No. 46:  Kufur yang disebutkan dalam lafaz syar’i ada dua macam:

Pertama, kufur akbar (besar), yaitu kufur yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Contohnya adalah kufur karena mendustakan (lihat Al ’Ankabut: 68), kufur karena enggan dan sombong padahal mengakui (lihat Al Baqarah: 54), kufur karena ragu-ragu (lihat Al Kahfi: 35-38), kufur karena berpaling (lihat Al Ahqaaf: 3) dan kufur karena nifak (menyembunyikan kekafiran di batin, lihat Al Munafiqun: 3).

Kedua, kufur asghar (kecil), yaitu kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam. Ia adalah kufur amali, di mana dosa-dosa itu disebut oleh Alquran dan As Sunnah sebagai kekufuran namun tidak sampai kepada kekufuruan akbar. Contohnya kufur nikmat (lihat An Nahl: 112), membunuh seorang muslim, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai kekfuruan sebagaimana dalam sabdanya, ”Sibaabul muslimi fusuuq wa qutaaluhu kufr” (memaki seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah sebuah kekufuran), bersumpah dengan nama selain Allah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Man halafa bighairillah faqad kafara aw asyrak” (barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka berarti dia telah berbuat kufur atau syirk) diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Hakim. (Lihat Aqidatut Tauhid karya Dr. Shalih al-Fauzan).

Kita menggolongkan kekufuran tersebut sebagai kufur asghar (kecil) adalah karena dalil-dalil yang lain. Contohnya adalah membunuh seorang muslim yang disebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kekufuran, karena Alquran menyebut kedua golongan yang saling berperang dengan sebutan mukmin sebagaimana firman Allah:

”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tetapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai kembali pada perintah Allah….dst.” (QS. Al Hujurat: 9)

Syaikh Bakar Abu Zaid dalam kitabnya Dar’ul Fitnah mendefinisikan tentang kufur (yakni kufur akbar) sebagai berikut:

“Kufur secara istilah adalah keyakinan, ucapan dan perbuatan, di mana dalam syara’ ada keterangan yang menunjukkan, bahwa siapa yang jatuh ke dalam perbuatan itu, maka ia bukan orang muslim. Sekumpulah Ahli ilmu menukilkan ijma’ dari para ulama bahwa kufur bisa terjadi dengan ucapan dan perbuatan.”

Jika melihat kepada keterangan ini, maka berarti kufur akbar disebut pula riddah (perbuatan yang dapat menjadikan seorang keluar dari Islam). Para ulama dalam kitab-kitab fiqh mereka telah membuat bab khusus tentang masalah riddah, di antaranya ada riddah karena ucapan, ada riddah karena perbuatan, dan ada riddah karena keyakinan.

Contoh riddah karena ucapan adalah memaki Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengaku mengetahui yang gaib, mengaku menjadi nabi, membenarkan orang yang mengaku menjadi nabi, berdoa kepada selain Allah atau meminta pertolongan kepada selain Allah dalam hal tidak ada yang sanggup memenuhinya kecuali Allah Ta’ala.

Contoh riddah karena perbuatan adalah sujud kepada berhala dan patung, melempar mushaf Alquran ke tempat-tempat kotor, mempraktekkan sihir dan mengajarkannya, berhukum dengan hukum selain Allah dengan meyakini bolehnya.

Contoh riddah karena keyakinan adalah meyakini ada sekutu atau tandingan bagi Allah, menganggap halal yang jelas-jelas haram seperti riba, zina, khamr (minuman keras), meyakini bahwa shalat lima waktu tidak wajib. Yang demikian karena orang ini berarti telah mendustakan firman Allah atau sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

No. 47: Ada beberapa kaidah yang perlu diketahui dalam masalah takfir:

Pertama, Kita tidak mengkafirkan seorang pun dari ahli kiblat (kaum muslimin) karena dosa yang dikerjakannya meskipun besar selama ia tidak menganggapnya halal.

Termasuk prinsip Ahlussunnah adalah mereka tidak mengeluarkan seseorang dari Islam apabila mengerjakan perbuatan yang dapat menjadikannya kafir apabila ia tidak tahu, salah ta’wil atau dipaksa –selama hatinya tetap tenteram dengan keimanan-, kecuali jika telah tegak hujjah terhadapnya. Mereka juga tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin meskipun ia melakukan dosa besar di bawah syirk, bahkan mereka menghukuminya dengan fasik dan kurang imannya selama ia tidak menganggapnya halal dan mengingkari perkara yang sangat jelas dari agama ini.

Ahlussunnah juga tidak mengkafirkan seseorang selama tidak ada dalil yang menunjukkan kafirnya, dan apabila dia meninggal di atas perbuatan itu (yakni di atas dosa besar yang tidak dikatakan kufur akbar), maka urusannya diserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Jika Dia menghendaki, maka Dia akan mengazabnya, dan jika Dia menghendaki, maka Dia mengampuninya.

Ahlussunnah membedakan antara menghukumi mutlak kepada para ahli bid’ah dengan maksiat atau kufur dengan menghukumi secara orang-perorang–di antara orang yang jelas keislamannya dengan yakin-, jika muncul perbuatan bid’ah darinya, lalu menghukuminya sebagai pelaku maksiat, fasik atau kafir. Mereka tidak menghukumi demikian sampai menerangkan kepadanya yang hak, yaitu dengan menegakkan hujjah dan menyingkirkan syubhat, dan mereka tidak mengkafirkan secara ta’yin (orang-perorang) kecuali telah terpenuhi syarat-syarat dan hilangnya penghalang.

Ahlussunnah memiliki kaidah, “Barangsiapa yang telah tetap keislamannya dengan yakin, maka tidaklah menyingkir dengan keraguan.”

Atas dasar inilah kaum salaf berjalan. Mereka adalah orang yang paling jauh mengkafirkan manusia. Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika ditanya tentang penduduk Nahrawan, “Apakah mereka kafir?” Ia menjawab, “Dari kekafiran mereka lari.” Lalu ia ditanya lagi, “Apakah mereka kaum munafik?” Ali menjawab, “Orang-orang munafik itu tidak mengingat Allah kecuali sedikit. Mereka adalah orang-orang yang mengingat Allah di pagi dan sore hari. Mereka adalah saudara-saudara kita namun telah bersikap zalim kepada kita.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra juz 8 hal. 173).

Dengan demikian, mengkafirkan secara ta’yin orang-orang yang melakukan kekafiran karena jahil (bodoh) adalah tidak boleh sampai ditegakkan hujjah kepada mereka, dan hujjah itu sesuai tingkat pemahaman mereka, dan memberikan posisi yang tepat pada akal mereka sampai mereka mencerna hujjah dan dalil dengan baik.

Kedua, kita tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena suatu ucapan atau perbuatan jika tidak ada dalil syar’i yang menyatakan demikian. Suatu ucapan atau perbuatan yang dinyatakan sebagai kafir tidak mesti pelakunya pun menjadi kafir, kecuali jika syarat-syaratnya terpenuhi dan tidak ada hal-hal yang menghalanginya. Syaratnya tersebut adalah telah tegak hujjah yang menyingkirkan syubhat, melakukannya dengan kerelaan (atas dasar pilihannya), sadar, baligh dan berakal, serta hilangnya penghalang, seperti salah ta’wil, tidak tahu, tidak sengaja, dan dipaksa.

Ketiga, kita tidak mengkafirkan setiap orang yang menyelisihi Ahlussunnah karena penyimpangannya, bahkan kita menempatkannya sesuai tingkat penyimpangannya apakah sampai kepada tingkatan kufur, bid’ah, fasik, atau maksiat. Inilah yang biasa dilakukan Ahlussunnah, mereka tidak mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka. Hal ini, wal hamdulillah menunjukkan kedalaman ilmu mereka, kemantapan iman mereka, adilnya mereka, dan sayangnya kepada manusia.

Keempat, menghukumi kafir kepada seseorang tidak dilakukan oleh orang awam, bahkan oleh ulama yang dalam ilmunya.

Kelima, Ahlussunnah berhati-hati dalam mengkafirkan seseorang karena adanya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنِ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ *

Barangsiapa yang mengaku sesuatu sebagai miliknya, padahal bukan miliknya, maka ia bukan termasuk golongan kami dan hendaknya ia ambil tempat duduknya di neraka, dan barangsiapa yang memanggil seseorang “Kafir” atau “Musuh Allah” padahal orang itu tidak demikian keadaannya kecuali akan kembali kepadanya (kepada orang yang memanggilnya). (HR. Muslim)

Madzhab Ahlussunah pertengahan antara orang yang mengatakan bahwa kita tidak akan pernah mengkafirkan seorang ahli kiblat pun dengan orang yang mengkafirkan seorang muslim karena dosa tanpa melihat apakah terpenuhi syarat dikafirkan dan hilangnya penghalang. Ahlussunnah berkata, “Barangsiapa yang menganggap halal yang jelas-jelas (haram) adalah kekufuran, barangsiapa yang mengatakan Alquran makhluk atau bahwa Allah tidak akan dilihat nanti di akhirat adalah sebuah kekufuran, akan tetapi orang yang mengucapkan kata-kata kufur atau melakukan perbuatan kufur tidaklah dihukumi kafir sampai terpenuhi syarat kufur dan hilangnya penghalang. Jika sudah terpenuhi syaratnya dan hilang penghalangnya, maka dihukumi murtad, lalu ia diminta bertobat, jika mau (maka dibiarkan), namun jika tidak, maka dibunuh.

Keenam, iman memiliki cabang yang banyak, masing-masing cabang disebut sebagai iman. Cabang paling tinggi adalah Laailaahaillallah, sedangkan cabang paling bawah adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan. Di antara cabang itu ada yang jika ditinggalkan, maka imannya hilang seperti meninggalkan syahadatain, dan ada pula yang jika ditinggalkan, tidak menghilangkan keimanan, seperti menyingkirkan hal yang mengganggu dari jalan. Demikian pula kufur, ia juga memiliki dasar dan cabang. Cabang paling tinggi adalah kekufuran yang mengeluarkan dari Islam, seperti kafir kepada Allah dan mendustakan apa yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di sana pun ada kekufuran yang disebut kufur duuna kufrin (kufur di bawahnya). Menyamakan semua cabang antara yang satu dengan yang lain jelas keliru dan salah.

Atas dasar ini, maka tidak mesti ketika ada salah salah satu cabang kekufuran pada seorang hamba, lalu ia menjadi seorang yang kafir yang keluar dari Islam sampai ia melakukan asal (dasar/pangkal) kekufuran.

Inilah beberapa kaidah yang perlu diperhatikan, agar kita tidak mudah mengkafirkan, semoga Allah menjadikannya bermanfaat, aamin.

Oleh: Marwan bin Musa

Artikel www.Yufidia.com

Maraji’: Mujmal Ushul Ahlissunnah (Dr. Nashir Al ’Aql), Aqidatut Tauhid (Dr. Salih al-Fauzan), At Takfiir mafhuumuhu, wa akhthaaruhu wa dhawaabithuhu (Ahmad Muhammad Buqarain), Qadhiyyatut takfir (Dr. Sa’id Al Qahthani) dll.

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28