Yufidia.com

Yang Berhak Menerima Zakat

Siapa yang Berhak Menerima Zakat

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri … sebagai makanan bagi orang miskin ….” (Hr. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Hadis ini menunjukkan bahwa salah satu fungsi zakat fitri adalah sebagai makanan bagi orang miskin. Ini merupakan penegasan bahwa orang yang berhak menerima zakat fitri adalah golongan fakir dan miskin.

Bagaimana dengan enam golongan yang lain?

Dalam surat At-Taubah, Allah berfirman,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ (التوبة: 60)

Sesungguhnya, zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (Qs. At-Taubah:60)

Ayat di atas menerangkan tentang delapan golongan yang berhak menerima zakat. Jika kata “zakat” terdapat dalam Alquran secara mutlak, artinya adalah ‘zakat yang wajib’. Oleh sebab itu, ayat ini menjadi dalil yang menguraikan golongan-golongan yang berhak mendapat zakat harta, zakat binatang, zakat tanaman, dan sebagainya.

Meskipun demikian, apakah ayat ini juga berlaku untuk zakat fitri, sehingga delapan orang yang disebutkan dalam ayat di atas berhak untuk mendapatkan zakat fitri? Dalam hal ini, ulama berselisih pendapat.

Pertama, zakat fitri boleh diberikan kepada delapan golongan tersebut. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Mereka berdalil dengan firman Allah pada surat At-Taubah ayat 60 di atas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan zakat fitri dengan “zakat”, dan hukumnya wajib untuk ditunaikan. Karena itulah, zakat fitri berstatus sebagaimana zakat-zakat lainnya yang boleh diberikan kepada delapan golongan. An-Nawawi mengatakan, “Pendapat yang terkenal dalam mazhab kami (Syafi’iyah) adalah zakat fitri wajib diberikan kepada delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat harta.” (Al-Majmu)

Kedua, zakat fitri tidak boleh diberikan kepada delapan golongan tersebut, selain kepada fakir dan miskin. Ini adalah pendapat Malikiyah, Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Ibnul Qayyim. Dalil pendapat kedua:

1. Perkataan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri … sebagai makanan bagi orang miskin ….” (Hr. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Berkaitan dengan hadis ini, Asy-Syaukani mengatakan, “Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa zakat fitri hanya (boleh) diberikan kepada fakir miskin, bukan 6 golongan penerima zakat lainnya.” (Nailul Authar, 2:7)

2. Ibnu Umar mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memerintahkan zakat fitri dan membagikannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Cukupi kebutuhan mereka agar tidak meminta-minta pada hari ini.’” (Hr. Al-Juzajani; dinilai sahih oleh sebagian ulama)

– Yazid (perawi hadis ini) mengatakan, “Saya menduga (perintah itu) adalah ketika pagi hari di hari raya.”

– Dalam hadis ini, ditegaskan bahwa fungsi zakat fitri adalah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin ketika hari raya. Sebagian ulama mengatakan bahwa salah satu kemungkinan tujuan perintah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin di hari raya adalah agar mereka tidak disibukkan dengan memikirkan kebutuhan makanan di hari tersebut, sehingga mereka bisa bergembira bersama kaum muslimin yang lainnya.

Di samping dua alasan di atas, sebagian ulama (Ibnul Qayyim) menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum tidak pernah membayarkan zakat fitri kecuali kepada fakir miskin. Ibnul Qayyim mengatakan, “Bab ‘Zakat Fitri Tidak Boleh Diberikan Selain kepada Fakir Miskin’. Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengkhususkan orang miskin dengan zakat ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membagikan zakat fitri kepada seluruh delapan golongan, per bagian-bagian. Beliau juga tidak pernah memerintahkan hal itu. Itu juga tidak pula pernah dilakukan oleh seorang pun di antara sahabat, tidak pula orang-orang setelah mereka (tabi’in). Namun, terdapat salah satu pendapat dalam mazhab kami bahwa tidak boleh menunaikan zakat fitri kecuali untuk orang miskin saja. Pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang mewajibkan pembagian zakat fitri kepada delapan golongan.” (Zadul Ma’ad, 2:20)

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang berhak menerima zakat adalah fakir miskin saja.

Catatan:

Sebagian orang memberikan zakat fitri untuk pembangunan masjid, rumah sakit Islam, yayasan-yayasan Islam, atau pemuka agama. Apa hukumnya?

  • Jika kita mengambil pendapat bahwa zakat fitri hanya boleh diberikan kepada fakir miskin maka memberikan zakat fitri kepada masjid, yayasan Islam, atau tokoh masyarakat yang bukan orang miskin itu termasuk tindakan memberikan zakat kepada sasaran yang tidak berhak. Sebagian ulama menerangkan bahwa memberikan zakat kepada golongan yang tidak berhak itu dinilai sebagai tindakan durhaka kepada Allah dan kewajibannya belum gugur. Artinya, zakat fitrinya harus diulangi.
  • Jika kita bertoleransi terhadap pendapat yang membolehkan pemberian zakat fitri kepada semua golongan yang delapan maka perlu diketahui bahwasanya masjid, yayasan Islam, atau pemuka agama tidaklah termasuk dalam delapan golongan tersebut. Masjid atau yayasan tidak bisa digolongkan sebagai “fi sabilillah”.
  • Demikian pula terkait pemuka agama. Jika dia orang yang berkecukupan maka dia tidak berhak diberi maupun menerima zakat karena zakat ini adalah hak orang fakir miskin. Jika ada pemuka agama atau tokoh masyarakat yang menerima zakat atau bahkan meminta zakat maka berarti dia telah menyita hak orang lain.

Bolehkah panitia zakat fitri menerima bagian zakat fitri?

Panitia yang bertugas mengumpulkan zakat fitri –statusnya– tidak sebagaimana amil dalam zakat harta yang berhak mendapatkan bagian zakat karena amil zakat adalah orang yang diangkat secara resmi oleh pemerintah untuk menarik dan mengumpulkan zakat dari pemilik harta. Mereka memiliki kekuasaan dan wewenang untuk memaksa, dan statusnya sebagaimana wakil pemerintah dalam mengurus zakat.

Sifat-sifat semacam ini tidak ditemukan pada panitia zakat fitri di tempat kita karena panitia zakat fitri hanyalah bertugas mengumpulkan dan membagikan zakat dan tidak punya wewenang sedikit pun untuk memaksa. Posisinya hanya sebagaimana wakil orang yang menunaikan zakat fitri. Oleh karena itu, mereka tidak bisa digolongkan sebagai amil zakat harta. Sesuatu akan digolongkan kepada kelompok tertentu jika dia memiliki ciri yang sama dengan kelompok tersebut.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa panitia zakat tidak berhak menerima zakat kecuali jika panitia tersebut termasuk orang miskin. Jika panitia tersebut adalah orang miskin maka dia berhak menerima karena statusnya sebagai orang miskin yang berhak menerima zakat, bukan karena statusnya sebagai amil zakat, bukan pula sebagai upah untuk tugas menangani zakat.

Bolehkah panitia diberi upah dengan mengambil sebagian zakat fitri?

Telah ditegaskan bahwa zakat fitri adalah hak fakir miskin sehingga zakat ini tidak boleh diberikan kepada selain mereka atau dimanfaatkan untuk kepentingan yang lain, apa pun bentuknya, karena ini berarti menyita hak mereka. Termasuk dalam hal ini adalah menjadikan zakat fitri sebagai upah untuk panitia atau dijual sebagian untuk menutupi biaya pengurusan zakat.

Jika panitia zakat adalah orang-orang yang bekerja dengan upah atau dibutuhkan biaya untuk pengurusan zakat maka upah atau biaya tersebut tidak boleh diambil dari zakat fitri, namun diambil dari kas masjid atau yang lainnya.

Ringkasnya, pengurus zakat fitri tidak berhak menerima bagian dari zakat fitri karena dua alasan:

  1. Jika kita berpendapat bahwa zakat fitri itu boleh diberikan kepada 8 golongan maka panitia zakat fitri tidak berhak menerima zakat fitri karena mereka tidak termasuk dalam 8 golongan tersebut. Mereka bukanlah amil zakat, berdasarkan pengertian “amil”.
  2. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa amil zakat tidak berhak menerima zakat fitri.

Apa standar “miskin”?

Pengertian “miskin” dikembalikan pada kondisi masyarakat setempat; standar ini berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Orang miskin masa silam, memiliki standar yang berbeda dengan orang miskin masa sekarang. Demikian pula, orang miskin Indonesia kondisinya berbeda dengan miskin negeri Eropa. Oleh karena itu, selama masyarakat setempat menyebut orang tertentu statusnya miskin maka orang tersebut berhak untuk mendapatkan zakat fitri di tempat tersebut.

Orang miskin yang saleh lebih diutamakan untuk mendapatkan zakat

Syekhul Islam mengatakan, “Tidak selayaknya zakat diberikan kepada orang yang tidak menggunakannya untuk ketaatan kepada Allah karena Allah mewajibkan zakat sebagai bantuan untuk melakukan ketaatan kepada Allah, bagi orang beriman yang membutuhkan, seperti: orang miskin, orang yang terlilit utang, … maka orang yang membutuhkan namun meninggalkan shalat tidak boleh diberi zakat sedikit pun, sampai dia bertobat dan dipaksa untuk melakukan shalat.” (Ahkam Zakat Fitri)

Ibnul ‘Arabi mengatakan, “Adapun tentang seorang muslim yang suka berbuat maksiat, maka tidak ada perselisihan pendapat bahwa zakat fitri boleh diberikan kepada mereka kecuali jika orang tersebut meninggalkan rukun-rukun Islam, seperti: shalat atau puasa. Zakat tidak boleh diberikan kepadanya sampai dia bertobat.” (Tafsir Al-Qurthubi, untuk surat At-Taubah ayat 60)

Akan tetapi, jika sampai zakat fitri itu jatuh ke tangan orang miskin yang fasik atau meninggalkan puasa maka penunaian zakat tersebut tetap sah dan tidak perlu diulangi. Sebagaimana hadis yang terdapat dalam Shahih Muslim, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita tentang seseorang yang memberikan zakatnya kepada orang kaya, pencuri, dan pelacur, karena sebelumnya dia tidak tahu. Meski demikian, zakatnya tetap diterima.

Bolehkah memberikan zakat fitri kepada orang kafir?

Ibnul Mundzir mengatakan, “Ulama sepakat bahwasanya zakat harta itu tidak sah jika diberikan kepada orang kafir dzimmi.” (Al-Ijma’, ijma’ ke 114)

Di antara dalil yang menyatakan terlarangnya penyerahan zakat kepada orang kafir adalah hadis Mu’adz bin Jabal yang diutus Nabi ke Yaman. Nabi mengajarkan kepada Mu’adz agar mendakwahi mereka untuk masuk Islam, kemudian shalat, kemudian berzakat. Ketika Nabi mengajarkan tentang zakat, beliau mengatakan, “Diambil dari orang kaya di antara mereka dan dikembalikan kepada orang fakir di antara mereka.” Kata “mereka” dalam hadis ini adalah ‘masyarakat Yaman yang telah masuk Islam’.

Walaupun begitu, ulama bersilang pendapat tentang zakat fitri. Abu Hanifah membolehkan penyerahan zakat fitri kepada orang kafir. Demikian pula, Amr bin Maimun, Amr bin Syurahbil Asy-Sya’bi, dan Al-Hamdani pernah memberikan zakat fitri kepada pendeta Nasrani.

Adapun mayoritas ulama, di antaranya: Malik, Al-Laits, Ahmad, Abu Tsaur, dan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa tidak boleh menyerahkan zakat fitri kepada orang kafir. Insya Allah, pendapat inilah yang lebih kuat, karena fungsi zakat fitri adalah mencukupi kebutuhan kaum muslimin di pagi hari raya sehingga mereka bisa berbahagia bersama mukmin lainnya. Fungsi ini tidak akan tercapai jika zakat tersebut diberikan kepada orang kafir. Allahu a’lam.

Bolehkah memberikan zakat fitri kepada kerabat yang miskin?

Dalam hal ini, perlu dirinci status kekerabatannya:

  1. Kerabat yang masih dalam tanggungan kita (pemberi zakat). Contoh: orang tua, anak, atau adik yang tinggal bersama kita atau menjadi tanggungan kita.
  2. Kerabat yang menjadi tanggungan orang lain. Contoh, adik perempuan yang sudah menikah dan suaminya berkecukupan, adik yang masih dalam tanggungan orang tua, dan lain-lain.
  3. Kerabat miskin yang tidak dalam tanggungan pemberi zakat maupun orang lain. Misalnya, saudara laki-laki yang telah menikah, atau suami yang miskin sementara istrinya kaya.

Untuk kerabat pertama dan kedua, seseorang tidak boleh menyerahkan zakatnya kepada mereka.

  • Untuk orang yang masih dalam tanggungan kita, mereka tidak boleh mendapat zakat dari kita karena kita memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepadanya.
  • Untuk kerabat yang telah menjadi tanggungan orang lain, mereka tidak diberi zakat karena sudah ada yang menanggung hidupnya sehingga tidak digolongkan sebagai orang miskin, kecuali jika orang yang menanggung adalah orang miskin.

Adapun kerabat yang ketiga, mereka boleh mendapat zakat dari kita karena statusnya sebagaimana orang miskin. Allahu a’lam.

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Jika kerabat dekat tidak dalam tanggunganmu maka berikanlah zakat hartamu. Jika termasuk orang yang engkau tanggung maka jangan engkau beri. Janganlah engkau berikan zakat untuk orang yang engkau tanggung nafkahnya.” (Hr. Al-Atsram, dalam Sunan-nya)

Catatan:

Dianjurkan mendahulukan kerabat yang miskin daripada orang miskin yang lain.

  • Dari Salman bin Amir radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedekah untuk orang miskin (yang bukan kerabat) hanya bernilai sedekah, sedangkan sedekah yang diberikan kepada kerabat miskin itu bernilai sedekah dan menjalin silaturahim.” (Hr. Ahmad; dinilai sahih oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth)
  • Dari Zainab radhiallahu anha, istri Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu; beliau menceritakan bahwa dirinya dan salah seorang wanita Anshar bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bolehkah zakat kami diberikan kepada suami kami atau anak yatim yang tinggal bersama kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, boleh, dan baginya dua pahala: pahala karena menyambung kekerabatan dan pahala sedekah.” (Hr. Muslim)

Keterangan: Seorang suami yang miskin boleh mendapatkan zakat dari istrinya karena suami bukanlah tanggungan istrinya. Namun, sebaliknya, seorang istri tidak boleh menerima zakat dari suami karena istri merupakan tanggungan suaminya.

  • Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Abu Thalhah pernah menyedekahkan kebun kurma Bairuha’ yang berada di depan masjid. Karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan, “Sesungguhnya, aku menyarankan agar engkau berikan kepada kerabat dekatmu.” (Hr. Al-Bukhari dan Muslim)

Bersambung…

Artikel www.Yufidia.com

Artikel terkait zakat fitri:

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28

1 Comment

  1. assalaamu’alaikum, ana sedang mencari2 makna fiisabilillaah. berbeda dengan pendapat anda. saya lebih condong kepada uraian di situs almanhaj karena disertai banyak dalil. wallahu’alam.

    http://almanhaj.or.id/content/2248/slash/0/membayar-zakat-untuk-pencetakan-buku-buku-dan-kaset-kaset-dakwah/

Leave a Reply