Di antara cara pendekatan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah dengan menjalankan ibadah puasa, baik yang wajib maupun yang sunat. Puasa merupakan amalan yang dapat memasukkan seseorang ke surga. Abu Umamah berkata:

Aku pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Perintahkanlah aku untuk mengerjakan amalan yang memasukkanku ke surga”, Beliau menjawab:

عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لاَ عَدْلَ لَهُ ثُمَّ أَتَيْتُهُ الثَّانِيَةَ ، فَقَالَ : ” عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ “

Kerjakanlah puasa, karena ia tidak ada tandingannya“, lalu aku datang kepada Beliau pada kedua kalinya, Beliau bersabda, “Kerjakanlah puasa.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Hakim dan ia menshahihkannya, demikian juga Syaikh Al Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 986)

Puasa juga dapat memberikan syafaat kepada pelakunya pada hari kiamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلصِّيَامُ وَاْلقُرْآنُ يُشَفَّعَان لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ  يَقُوْلُ الصِّيَامُ : أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهْوَةِ ، فَشَفِّعْنِي فِيْهِ ، وَيَقُوْلُ اْلقُرْآنُ : مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِالَّليْلِ فَشَفِّعْنِيْ فِيْهِ ، قَالَ : فَيُشَفَّعَانِ

Puasa dan Alquran akan diberi izin memberi syafaat kepada seorang hamba pada hari kiamat. Puasa berkata, “Ya Rabbi, aku mencegah makan dan syahwatnya, maka berikanlah izin memberikan syafaat untuknya”, sedangkan Alquran akan mengatakan, “Aku mencegahnya tidur di malam hari, maka berikanlah aku izin memberikan syafaat untuknya”, maka keduanya diberi izin memberi syafaat.” (HR.Ahmad dan Thabrani, dishahihkan  oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihut Targhib 984)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

Sesungguhnya di surga terdapat pintu bernama Ar Rayyan, hanya orang-orang yang berpuasa saja yang memasukinya pada hari kiamat. Akan dikatakan, “Di manakah orang-orang yang berpuasa?”, lalu mereka berdiri, tidak ada yang memasukinya selain mereka. Ketika mereka semua telah masuk, pintu pun ditutup sehingga tidak ada lagi yang memasukinya selain mereka.” (HR. Bukhari-Muslim)

Macam-macam Puasa

Puasa terbagi menjadi dua; puasa fardhu dan puasa sunat. Contoh puasa fardhu adalah puasa Ramadhan, puasa kaffarat dan puasa nadzar, sedangkan contoh puasa sunat adalah puasa enam hari di bulan Syawwal, puasa Nabi Dawud dsb.

Namun di sini, kami hanya membahas tentang puasa sunat saja. Berikut ini beberapa puasa sunat tersebut:

1.    Puasa enam hari di bulan Syawwal

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‏مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan, lalu melanjutkan dengan berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka seakan-akan ia seperti puasa setahun.” (HR. Jama’ah selain Bukhari dan Nasa’i)

Para ulama menjelaskan bahwa satu kebaikan dibalas sepuluh kebaikan, sehingga berpuasa Ramadhan dianggap berpuasa sepuluh bulan, dan berpuasa pada enam hari di bulan Syawwal dianggap berpuasa selama 2 bulan. Imam Ahmad menjelaskan bahwa cara berpuasanya boleh berturut-turut dan boleh juga tidak. Ulama madzhab Hanafi dan Syafi’i menjelaskan bahwa yang lebih utama adalah berturut-turut setelah ‘Ied (hari raya).

2.  Berpuasa Pada Sepuluh Hari Pertama di Bulan Dzulhijjah (dari tanggal 1-9),

Hal itu, karena beramal saleh di hari-hari itu lebih dicintai Allah dibanding hari-hari yang lain (berdasarkan hadis riwayat Bukhari).

Lebih ditekankan lagi (sunnat mu’akkadah) pada tanggal sembilannya (hari ‘Arafah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ ، مَاضِيَةٍ ، وَمُسْتَقْبِلَةٍ ، وَصَوْمُ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً

Puasa hari ‘Arafah menghapuskan dosa dua tahun; tahun yang lalu dan yang akan datang. Sedangkan puasa ‘Asyura menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Jama’ah selain Bukhari dan Tirmidzi)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Puasa hari Arafah akan menghapus dosa dua tahun, hari Asyura satu tahun dan amin seseorang (dalam shalatnya) bertepatan dengan amin malaikat akan menghapuskan dosa-dosanya yang telah lalu…ini semua menghapuskan dosa, yakni jika ada dosa kecil akan dihapusnya, namun jika tidak ada dosa yang kecil maupun yang besar, maka akan dicatat beberapa kebaikan dan ditinggikan derajatnya,…tetapi jika ada satu dosa besar atau lebih dan tidak berhadapan dengan dosa kecil, kita berharap amalan tersebut bisa meringankan dosa-dosa besar.” (al-Majmu’ Juz 6, shaumu yaumi ‘Arafah).

Namun, puasa ini hanya bagi orang-orang yang tidak berada di Arafah, berdasarkan hadis Ummul Fadhl bahwa orang-orang masih meragukan tentang puasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Arafah, lalu Ummul Fadhl mengirimkan kepada Beliau susu, Beliau pun meminumnnya, ketika itu Beliau sedang berkhutbah kepada manusia di Arafah (HR. Bukhari)

Imam Tirmidzi berkata, “Ahli ilmu menganjurkan untuk melakukan puasa Arafah kecuali bagi orang yang berada di ‘Arafah.”

3.    Puasa Tasu’a dan ‘Asyura (9 dan 10 Muharram).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ

Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah bulan Allah yaitu Muharram.” (HR. Muslim)

Dalam hadis tersebut bulan Muharram dikatakan bulan Allah adalah idhafat ta’zhim (yakni menunjukkan tingginya kemuliaan bulan tersebut), sebagaimana ka’bah dikatakan Baitullah (rumah Allah).

Untuk menyelisihi orang-orang Yahudi yang berpuasa pada tanggal sepuluh Muharram saja, kita disyariatkan untuk berpuasa pada tanggal sembilan Muharram.

Ibnu Abbas berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada tanggal 10 dan menyuruh para sahabat berpuasa. Para sahabat berkata, “Sesungguhnya hari ini adalah hari yang dimuliakan oleh orang-orang Yahudi”, maka Beliau bersabda,

فَــإِذَا كـَـانَ اْلعَامُ اْلمُقْبِلُ ـ إِنْ شَاءَ اللهُ ـ صُمْنَا الْـيَـوْمَ الـتَّـاسِــعَ

Kalau begitu, jika tiba tahun depan –Insya Allah- kita akan berpuasa pada tanggal 9-nya.” (yakni dengan tanggal 10-nya) (HR. Muslim).

Namun belum sampai pada tahun berikutnya, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.

4.    Puasa Tiga Hari di Setiap Bulan, Yaitu pada Tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan Hijriah.

Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Aku diberitahukan bahwa kamu (selalu) melakukan qiyamullail dan berpuasa di siang hari”, aku (Abdullah bin ‘Amr) berkata, “Ya, wahai Rasulullah”, Beliau bersabda:

فَصُمْ وَاَفْطِرْ ، وَصَلِّ ، وَنَمْ ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًا ، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ بِحَسْبِكَ أَنْ تَصُوْمَ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ

Berpuasalah dan berbukalah, lakukanlah qiyamullail dan tidurlah, karena badanmu memiliki hak atasmu, istrimu memiliki hak atasmu dan tamumu memiliki hak atasmu. Sesungguhnya kamu cukup dengan berpuasa dalam sebulan tiga hari.” (HR. Ahmad dan lainnya)

Abu Dzar al-Ghifariy berkata:

أََمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصُوْمَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامِ ، الْبِيْضَ : ثَلاَثَ عَشَرَةٍ ، وَأَرْبَعَ عَشَرَةٍ ، وَخَمْسَ عَشَرَةٍ . وَقَالَ : هِيَ  كَصَوْمِ الدَّهْرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berpuasa dalam sebulan tiga hari, di waktu terangnya bulan; yaitu tanggal 13, 14 dan 15. Beliau bersabda, “Berpuasa tersebut seperti berpuasa setahun.” (HR. Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

5.    Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban

عَنْ عَائِشَةَ رَضِى اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ :فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa penuh dalam sebulan selain puasa Ramadhan, dan aku tidak pernah melihat Beliau banyak berpuasa selain di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari-Muslim)

Adapun mengkhususkan puasa pada tanggal lima belas Sya’ban (Nishfu Sya’ban), maka tidak ada satu dalil pun yang shahih.

Di antara ulama ada yang mengatakan makruh berpuasa setelah tanggal 15 Sya’ban karena adanya hadis “Idzan tashafa sya’baan falaa tashuumuu” (jika Sya’ban sudah di pertengahan maka janganlah kamu berpuasa), dan jika menjelang Ramadhan sehari atau dua hari, maka berpuasa pada saat itu menjadi haram. Namun ada yang berpendapat bahwa maksud hadis “idzan tashafa…” adalah jika seseorang biasanya tidak berpuasa di bulan Sya’ban, namun ketika bulan Sya’ban hampir habis barulah ia berpuasa, karena akan datangnya bulan Ramadhan, dalam keadaan seperti ini tidak boleh baginya berpuasa. Wallahu a’lam.

6.    Puasa Nabi Dawud ‘alaihis salam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام، وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ، وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا.

Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Nabi Dawud ‘alaihis salam dan puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Nabi Dawud; ia tidur di tengah malam dan bangun pada sepertiganya dan tidur pada seperenamnya, dan ia sehari berpuasa dan sehari berbuka.” (HR. Bukhari-Muslim)

7.    Puasa Senin-Kamis

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa puasa yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah puasa Senin dan Kamis, lalu ada yang bertanya kepada Beliau sebab Beliau sering melakukannya, Beliau bersabda:

إِنَّ اْلاَعْمَالَ تُعْرَضُ كُلَّ اثْنَيْنِ وَخَمِيْسٍ ، فَيَغْفِرُ اللهُ لِكُلِّ مُسْلِمٍ أَوْ لِكُلِّ مُؤْمِنٍ ، إِلاَّ الْمُتَهَاجِرَيْنِ ، فَيَقُوْلُ أَخِّرْهُمَا

Sesungguhnya amal (manusia) akan ditampakkan pada setiap hari Senin dan Kamis, lalu Allah mengampuni dosa setiap muslim dan mukmin selain dua orang yang bermusuhan. Allah berfirman, “Tundalah keduanya.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih)

Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa Beliau pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, Beliau menjawab:

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ ، وَأُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ

Itu adalah hari di mana aku dilahirkan dan diturunkan wahyu kepadaku.”

8.    Puasa Bagi Pemuda yang Belum Mampu Menikah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Barangsiapa yang mampu menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena menikah dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, karena hal itu menjadi pengebiri baginya.” (HR. Bukhari)

Oleh: Marwan bin Musa.

Artikel www.Yufidia.com

Maraaji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh sayyid Saabiq), Minhaajul Muslim (Abu Bakar Al Jazaa’iriy), Shiyaamuth Tathawwu’ (kantor Dakwah dan bimbingan Islam di Sulthaanah).

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28