بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut ini merupakan lanjutan pembahasan tentang ijaraah, kami berharap kepada Allah agar Dia menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahhumma aamin.

Menyewa Ibu Susu

Suami memberi bayaran dengan menyewa istrinya untuk menyusui anaknya adalah tidak boleh, karena hal itu merupakan hal yang wajib dilakukannya dan tanggung jawabnya antara dia dengan Allah Ta’ala[1].

Adapun menyewa ibu susu selain ibu kandungnya, maka hal itu boleh dengan bayaran tertentu. Demikian juga dibolehkan dengan bayaran memberinya makan dan pakaian, dan ketidakjelasan upah dalam hal ini tidaklah menimbulkan perselisihan. Kebiasaan berjalan, yakni seringnya berlaku saling menghargai dengan para ibu susu dan memberikan kecukupan bagi mereka karena sayang kepada anak.

Namun disyaratkan harus diketahui lamanya penyusuan, mengetahui si anak secara langsung dan di mana tempat disusukannya. Allah subhaanahu wa Ta’aala berfirman,  “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah: 233)

Kedudukan ibu susu itu seperti orang sewaan khusus. Oleh karena itu, ia tidak boleh menyusukan anak yang lain.

Bagi ibu susu itu harus melakukan penyusuan dan mengerjakan hal yang dibutuhkan anak seperti memandikannya, mencuci bajunya, memasak makananannya, sedangkan bagi bapak harus memberi nafkah makanan dan hal yang dibutuihkan si anak seperti minyak dan wewangian. Jika si anak meninggal atau ibu susu tersebut meninggal, maka batallah ijarah. Hal itu, karena manfaat saat ibu susu meninggal menjadi hilang dengan hilang tempat (menyusui). Di samping itu, jika si anak meninggal bagaimana bisa dipenuhi apa yang diakadkan itu.

Menyewa dengan Upah Makanan dan Pakaian

Para ulama berbeda pendapat tentang menyewa dengan bayaran makanan dan minuman, sebagian ulama ada yang membolehkan sedangkan yang lain melarang. Alasan orang yang membolehkan kisah Nabi Musa ‘alaihis salaam  yang menyewakan dirinya selama 8 atau 10 tahun agar farjinya terpelihara dan perutnya tercukupi.

Inilah yang dipegang oleh Imam Malik dan ulama madzhab Hanbali, sedangkan Abu Hanifah membolehkan hanyalah jika yang menyewakan dengan upah makanan dan pakaian itu adalah ibu susu bukan pembantu. Sedangkan Imam Syafi’i, Abu Yusuf, Muhammad, ulama madzhab Hadawi dan Al Manshur billah berpendapat bahwa hal itu tidak sah, karena tidak jelas bayarannya.

Sedangkan ulama madzhab Maliki yang membolehkan menyewa seseorang dengan bayaran makanan dan pakaian, bahwa hal itu sesuai ‘uruf yang berlaku. Mereka berkata, “Kalau sekiranya ada seorang yang berkata, “Potongilah (panen) tanamanku, dan kamu akan memperoleh setengahnya atau tumbuklah dia atau peraslah minyak, maka miliknya itu setengahnya, “ maka boleh. Namun jika yang dikehendaki adalah setengah yang keluar daripadanya, maka tidak boleh karena tidak jelas.

Menyewakan Tanah[2]

Sah menyewakan tanah, namun disyaratkan harus menerangkan untuk apa disewa seperti menanam atau membangun. Jika untuk bercocok tanam, maka harus diterangkan apa yang akan ditanam, kecuali jika mu’jir (pemberi sewaan) mengizinkan menanam semaunya. Jika syarat tersebut belum terpenuhi, maka ijarah menjadi fasid, karena manfaat  tanah bisa berbeda sesuai bedanya bangunan dan tanaman sebagaimana berbedanya penundaan pohon yang ditanam, ia pun berhak menanam tanaman lain selain yang disepakati dengan syarat bahaya yang ditimbulkan sama seperti bahaya yang ditimbulkan  dari tanaman yang disepakati itu atau kurang dari itu. Sedangkan Dawud berpendapat, “Ia tidak berhak begitu.”

Menyewakan Binatang

Sah menyewakan binatang, namun disyaratkan jelas lamanya atau tempatnya sebagaimana disyaratkan harus jelas untuk apa disewakan seperti untuk dipakai mengangkut atau dikendarai serta harus jelas barang apa yang diangkut dan siapa yang menungganginya. Jika hewan yang disewa itu binasa, jika disewa dalam keadaan bercacat, lalu binasa maka batallah ijaarah. Tetapi, jika disewa dalam keadaan tidak bercacat, lalu binasa maka tidak batal ijaarah. Bagi pemberi sewaan hendaknya menggantikan hewan yang lain, ia tidak berhak membatalkan akad, karena ijarah terletak pada manfaat yang masih dalam tanggungan, dan pemberi sewaan belum selesai memenuhi kewajibannya dari akad, dan hal ini telah disepakati di antara para fuqaha’ madzhab yang empat.

Mempersewakan Rumah Untuk Ditempati

Mempersewakan rumah untuk ditempati membolehkan dimanfaatkan tempatnya baik akan ditempati oleh penyewa maupun ditempati yang lain dengan mengi’aarahkan (meminjamkan) atau mengijarahkan (menyewa) dengan syarat orang yang menempatinya tidak menimpakan bahaya kepada bangunan atau merusaknya seperti tukang besi dsb. Hendaknya orang yang menyewakan (mu’jir) menyempurnakan manfaat agar musta’jir (penyewa) dapat memanfaatkannya sesuai ‘uruf.

Mempersewakan Barang Sewaan

Bagi musta’jir (penyewa) diperbolehkan menyewakan barang yang disewakan. Jika berupa binatang, maka wajib baginya menerangkan bahwa pekerjaan yang dilakukan harus sama atau hampir sama dengan pekerjaan yang karenanya ia menyewa agar tidak memadharratkan binatang. Dan boleh baginya menyewakan barang yang disewakan apabila telah dipegangnya dibayar dengan bayaran yang sama atau lebih atau kurang, ia pun berhak mengambil sesuatu yang biasa disebut dengan khulw.

Binasa Barang yang Disewakan

Barang yang disewakan adalah amanah di tangan musta’jir, karena ia memegangnya untuk memperoleh manfaat yang memang berhak. Ketika binasa, maka ia tidak menanggung kecuali jika dia melampaui batas atau meremehkan dalam menjaganya. Barang siapa yang menyewa binatang untuk ditunggangi, lalu ia menarik kepala hewan dengan kekang seperti yang biasa yang dilakukan, maka ia tidak menanggung apa-apa.

Ajiir (pekerja atau orang yang disewa)

Ajiir ada yang khaas dan ada yang ‘aam.

Ajiir khaas adalah orang yang disewa dalam waktu tertentu untuk bekerja dalam waktu tersebut. Jika waktunya tidak diketahui, maka ijarah menjadi fasid (batal). Bagi masing-masing, yakni ajiir (orang sewaan) maupun musta’jir (penyewa) berhak membatalkan ijarah kapan saja mereka mau.

Dalam ijarah, jika ajiir menyerahkan dirinya kepada musta’jir (penyewa) dalam waktu tertentu, maka ajiir dalam kondisi ini tidak berhak selain upah mitsil (standar) sesuai masa dia bekerja.

Sedangkan ajiir khaas (khusus) dalam masa yang telah diakadkan tidak boleh bekerja untuk selain musta’jirnya. Jika dalam masa tersebut ia bekerja untuk selainnya, maka upahnya berkurang sesuai amalnya.

Si ajiir berhak menerima upah kapan saja ia menyerahkan dirinya dan tidak menolak bekerja di mana ia memang disewa untuk itu.

Demikian juga ia berhak menerima upah secara sempurna jika pembatalan dari pihak musta’jir  sebelum selesai masa yang telah disepakati dalam akad selama di sana tidak ada udzur yang menghendaki untuk dibatalkan, misalnya si ajir tidak sanggup bekerja atau sakit yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan. Jika terdapat udzur berupa cacat atau ketidak sanggupan, lalu musta’jir membatalkan ijarah, maka ajiir tidak berhak selain upah selama masa kerjanya, dan musta’jir tidak wajib membayar sempurna.

Sedangkan ajir khaas (khusus) seperti wakil, yakni bahwa dirinya menjadi amiin (penanggung jawab) terhadap amal yang dibebankan padanya, sehingga ia tidak menanggung sesuatu yang rusak kecuali jika dia melampaui batas atau meremehkan. Jika ia meremehkan atau melampaui batas, maka ia menanggung seperti amin (penannggung jawab)  lainnya.

Ajir Musytarik

Ajiir Musytarik maksudnya adalah ajiir yang bekerja lebih dari satu pekerjaan, yakni ia ikut serta dalam memberikan manfaat, seperti tukang celup/warna, tukang jahit, tukang besi, tukang kayu dan tukang penatu (penyeterika). Tidak berhak bagi orang yang menyewanya untuk mencegah pekerjaannya untuk orang lain, ia (ajir) pun tidak berhak memperoleh upah kecuali dengan bekerja.

Lalu, apakah tangannya menjadi tangan penanggung atau tangan yang diamanahkan?

Ali, Umar, Syuraih, Abu Yusuf, Muhammad dan ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa tangan ajir musytarik adalah tangan penanggung, sehingga ketika ada yang binasa, maka ia menanggung meskipun ia tidak melakukan sikap melewati batas atau meremehkan, hal ini untuk menjaga harta manusia dan memelihara maslahat mereka.

Imam Baihaqi meriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa ia pernah menanggung tukang celup dan tukang pembuat barang, ia berkata, “Tidak akan baik manusia kecuali dengan cara seperti itu.”

Ia juga meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah pernah menyebutkan bahwa Syuraih pergi untuk menanggung tukang celup, ia menanggung tukang celup yang rumahnya terbakar, lalu tukang itu berkata: “Engkau menanggung diriku, padahal rumahku terbakar?!” Maka Syuraih berkata: “Bagaimana menurutmu, jika seandainya rumah orang lain terbakar, tentu kamu akan meninggalkan upahmu untuknya.”

Imam Abu Hanifah dan Ibnu Hazm berpendapat, bahwa tangannya adalah tangan amanah. Oleh karena itu, ia tidaklah menanggung kecuali jika ia melampaui batas atau meremehkan. Inilah pendapat yang shahih dari pendapat ulama madzhab Hanbali dan yang shahih dari pendapat Imam Syafi’i.

Ibnu Hazm berkata, “Ajiir musytarik maupun yang bukan musytarik tidak menanggung apa-apa, demikian pula bagi pembuatnya sama tidak menanggung, kecuali jika telah jelas ia melampaui batas atau menyia-nyiakannya.”

Pembatalan Ijaarah dan Waktu Habisnya

Ijaarah merupakan akad yang mesti, di mana masing-masing pelaku akad tidak memiliki hak membatalkan, karena ia merupakan akad mu’aawadhah (timbal balik), kecuali jika ada sesuatu yang mengharuskan dibatalkan seperti adanya ‘aib sebagaimana akan diterangkan nanti.

Oleh karena itu, ijaarah tidaklah batal karena meninggalnya salah satu pelaku akad dengan masih selamatnya yang diakadkan, dan akan digantikan oleh ahli warisnya baik yang meninggal mu’jir (penyewa) atau musta’jir (ajiir), berbeda dengan pendapat ulama madzhab Hanafi, Zhahiri, Asy Sya’biy, Ats Tsauri dan Al Laits bin Sa’ad.

Demikian juga tidak batal dengan dijualnya barang yang disewakan kepada musta’jir (ajiir) atau kepada yang lain dan diterima oleh pembeli jika bukan musta’jir pembelinya setelah habis masa ijaarah.[3]

Ijarah menjadi batal karena sebab-sebab berikut:

  1. Datang tiba-tiba cacat terhadap yang diijarahkan, di mana ketika itu ada di tangan musta’jir atau tampak aib yang sudah lama.
  2. Jika barang yang disewakan binasa. Misalnya ketika disewakan hewan, ternyata hewannya mati atau ketika disewakan rumah, ternyata rumahnya roboh atau ketika tanah disewakan, lalu aliran arnya tersendat.
  3. Binasa sesuatu yang karenanya disewakan, seperti baju yang diminta untuk dijahit, karena bagaimana akan dilanjutkan jika sudah binasa.
  4. Hilangnya tujuan ijarah yang karenanya akad ijarah dilakukan. Misalnya menyewa dokter agar menyembuhkannya, lalu ternyata sudah sembuh terlebih dahulu, hal ini menjadi batal karena bagaimana menjalankan akadnya.
  5. Sudah selesai manfaat yang karenanya akad dilakukan atau pekerjaan selesai atau waktunya sudah habis, kecuali jika di sana terdapat ‘udzur yang menghalangi untuk dibatalkan, misalnya waktu ijarah tanah untuk digarap habis sebelum tanaman diketam sehingga masih di tangan musta’jir dengan upah mitsil (standar) sampai ia selesai mengetam walaupun harus memaksa mu’jir untuk mencegah madharrat bagi musta’jir karena dicabut tanaman sebelum tiba waktunya.
  6. Ulama madzhab Hanafi berkata, “Boleh membatalkan ijarah karena uzur yang timbul meskipun dari pihaknya, misalnya seseorang menyewakan kedai untuk dagang, lalu ternyata hartanya terbakar atau dicuri atau dirampas atau ia bangkrut, sehingga ia pun berhak membatalkan ijarah.”
  7. Siapa saja yang disewa untuk mengerjakan suatu pekerjaan, lalu ia sakit. Maka ia menyiapkan orang lain untuk menggantikan posisinya, kecuali jika sebelumnya mensyaratkan agar pekerjaan itu dikerjakan olehnya saja, karena tujuan utama terkadang tidak tercapai jika dengan pekerjaan orang lain. Ketika ini musta’jir tidak mesti menerima pekerjaaan orang lain, akan tetapi ia diberi pilihan antara tetap bersabar dan menunggu sampai pekerja sembuh atau dibatalkan karena kesulitan mendapatkan haknya.

Bersambung…

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.

Oleh: Marwan bin Musa

Artikel www.Yufidia.com

Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Al Fiqhul Muyassar, Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jaza’iriy), dll.


[1] Ini adalah madzhab imam yang tiga, Malik menambahkan: “Bahkan si isteri wajib dipaksa melakukan hal itu, kecuali jika ia wanita terhormat dan tidak biasa menyusukan orang yang sepertinya”, Ahmad berkata: “Bisa sah.”

[2] Lebih jelasnya lihat masalah muzaara’ah.

[3] Hal ini merupakan madzhab Malik dan Ahmad. Abu Hanifah berkata, “Tidak boleh dijual kecuali dengan ridha musta’jir atau ia punya hutang yang ditahan oleh hakim karena sebab itu, maka ia         menjual untuk menutup hutangnya.”

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28