Segala puji bagi Allah Rabbul ‘aalamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarganya, sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba’du:

Setelah dibahas hal yang mengharuskan mandi, rukunnya, dan sifat atau cara yang dianjurkan, maka pada kesempatan kali ini akan dibahas larangan bagi yang junub, mandi yang sunat dan beberapa masalah yang terkait dengan mandi. Semoga Allah menjadikan risalah ini bermanfaat, Allahumma aamiin.

1. Larangan Bagi yang Junub

Bagi yang junub dilarang melakukan hal-hal berikut:

– Shalat (lihat surah An Nisaa’: 43).

– Thawaf di Baitullah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اَلطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَة.ٌ.

“Thawaf di Baitullah adalah shalat…dst.”

(HR. Nasa’i, Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Nasa’i 2/614, Shahih At Tirmidzi 1/283 dan Irwaa’ul Ghalil 1/154).

– Menyentuh Mushaf. Hal ini berdasarkan hadits ‘Amr bin Hazm, Hakim bin Hizam dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum:

لاَ يَمُسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ

“Tidak ada yang menyentuh Al Qur’an kecuali yang suci.” (HR. Malik dalam Al Muwaththa’ 1/199, Daruquthni 1/122 dan Hakim 1/397, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani karena syawahidnya dari hadits Hakim dan Ibnu Umar, lihat Irwaa’ul Ghalil 1/158, At Talkhishul Habiir oleh Ibnu Hajar 1/131 dan Asy Syarhul Mumti’ 1/261)

– Membaca Al Qur’an. Hal ini berdasarkan hadits Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan Al Qur’an kepada kami dalam setiap keadaan selama tidak dalam keadaan junub.” (HR. Tirmidzi dan ia berkata, “Hasan shahih.”, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa’i, Ahmad dan lainnya. Al Haafizh dalam At Talkhishul Habir 1/139 berkata, “Dishahihkan oleh Ibnus Sakan, Abdul Haq, dan Al Baghawiy.” Syaikh Ibnu Baz dalam syarahnya terhadap Bulughul Maram pada hadits no. 124 berkata, “Hadits hasan, dan ia memiliki beberapa syahid.” Namun Syaikh Al Albani mendhaifkannya dalam Dha’if As Sunan, lihat Al Irwaa’ ( 485), wallahu a’lam).

– Berdiam di masjid, (lihat surah An Nisaa’: 43).

2. Mandi yang Sunat

– Mandi ihram. Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepaskan pakaiannya untuk ihlalnya dan melakukan mandi.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan ia menshahihkannya serta disepakati oleh Adz Dzahabi, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi 1/250).

– Mandi hari Jum’at. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ

“Mandi hari Jum’at itu wajib bagi setiap yang baligh.” (HR. Bukhari dan Muslim)

عَنْ سَمُرَةَ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r  مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ, وَمَنْ اِغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ (رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيّ)

Dari Samurah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu’ pada hari Jum’at maka ia telah kerjakan yang wajibnya dan hal itu baik, dan barangsiapa yang mandi maka mandi itu lebih utama.” (Diriwayatkan oleh lima orang, dihasankan oleh Tirmidzi, dan dihasankan pula oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud 1/72).

Para ulama berbeda pendapat tentang mandi Jum’at, apakah wajib atau sunat? Ada yang berpendapat wajib, ada pula yang berpendapat sunat mu’akkad (yang ditekankan), dan ada pula yang merincikan dengan mengatakan, bahwa mandi Jum’at itu wajib bagi para pekerja berat yang biasanya berkeringat, adapun selain mereka, maka hukumnya sunat. Namun pendapat ini lemah, yang ajah –insya Allah- bahwa mandi Jum’at hukumnya sunat mu’akkad. Pendapat ini dipegang oleh Syaikh Ibnu Baz. Adapun sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Mandi hari Jum’at itu wajib bagi setiap yang baligh.”  Maka maksudnya menurut kebanyakan ahli ilmu adalah sangat ditekankan. Makna ini diperkuat oleh cukupnya Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan berwudhu’ dalam sebagian hadits. Demikian pula memakai wewangian, bersiwak, memakai pakaian yang indah adalah termasuk sunat yang dianjurkan dan tidak wajib.

– Mandi ketika masuk ke Mekah. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia tidak tiba di Mekah, kecuali bermalam di Dzi Thuwa sampai pagi hari, lalu mandi, dan ia menyebutkan bahwa hal itu berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. Bukhari dan Muslim).

– Mandi untuk setiap kali jima’. Hal ini berdasarkan hadits Abu Raafi’, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah mengelilingi istri-istrinya, dimana Beliau mandi di istri yang ini dan yang itu. Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa engkau tidak jadikan sekali mandi?” Beliau menjawab, “Ini lebih suci dan lebih baik.” (HR. Abu Dawud, Nasa’I, Thabrani, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud 1/43).

– Mandi sehabis memandikan mayit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ

“Barang siapa yang memandikan mayit, maka hendaknya ia mandi.” (HR. Ibnu Majah, Shahih Ibnu Majah 1195).

– Mandi karena menguburkan orang musyrik. Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika Abu Thalib meninggal, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyruh Ali menguburkannya. Setelah ia menguburkannya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya untuk mandi.” (Shahih isnadnya, HR. Nasa’I dan Abu Dawud, lihat Ahkaamul Janaa’iz 134)

– Mandi untuk wanita yang istihadhah untuk setiap kali shalat. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Habibah. Atau ketika menggabung antara dua shalat dengan jama’ shuriy (dengan menta’khirkan shalat yang satu dan mengedapankan shalat berikutnya). Hal ini berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Aku pernah terkena darah istihadhah yang banyak sekali, lalu aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta penjelasannya, maka Beliau menjawab, “Itu tidak lain gangguan dari setan, maka cukup kamu merasakan haid selama 6 hari atau 7 hari, lalu mandilah, apabila telah bersih shalatlah selama 24 atau 23 hari, puasalah dan shalatlah karena hal itu cukup buatmu. Juga lakukanlah (perkirakan masa) haidmu seperti haidnya wanita yang lain, apabila kamu sanggup menta’khirkan shalat Zhuhur dan mengedepankan shalat ‘Ashar lalu mandi ketika bersih kemudian kamu shalat Zhuhur dan ‘Ashar dengan dijama’ (maka lakukanlah), juga kamu sanggup menta’khirkan shalat Maghrib dan mengedepankan shalat Isya lalu mandi dan menggabungkan kedua shalat itu maka lakukanlah. Dan ketika Subuh kamu mandi lalu shalat,” Beliau melanjutkan sabdanya, “Itulah hal yang paling aku sukai di antara dua cara.” (Diriwayatkan oleh lima orang selain Nasa’I, dan dishahihkan oleh Tirmidzi serta dihasankan oleh Bukhari).

Catatan: Yang wajib bagi wanita yang istihadhah setelah selesai dari kebiasaan haidhnya adalah mandi, selanjutnya mandi menjadi sunat, yang wajib adalah berwudhu’.

– Mandi setelah pingsan. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menjelaskan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit dan para sahabat menunggu Beliau untuk mengimami, maka Beliau meminta disiapkan  air untuk mandi, setelah mandi Beliau pingsan, ketika sadar, Beliau mandi lagi, dst. (Lihat di Bukhari dalam Al Fat-h no. 687 dan Muslim no. 418)

– Mandi pada hari raya. Baihaqi meriwayatkan dari jalan Syafi’I dari Zaadzaan ia berkata: Ada seorang yang bertanya kepada Ali tentang mandi?” Ia menjawab, “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia berkata lagi, “Bukan itu, maksudnya adalah mandi (yang sesungguhnya)?” Ia menjawab, “Hari Jum’at, hari ‘Arafah, hari Nahar dan hari Fitri.” (Syaikh Al Albani berkata dalam Irwa’ul Ghalil, “Dan sanadnya shahih,” yakni mauquf sampai kepada Ali radhiyallahu ‘anhu) Sa’id bin Musayyib berkata, “Sunnah Idul Fithri ada tiga; berjalan ke tanah lapang, makan sebelum keluar dan mandi.” (Al Irwaa’ 3/104).

– Mandi pada hari Arafah, yakni bagi jamaah haji.

3. Beberapa Masalah yang Terkait dengan Mandi (lihat Fiqhus Sunnah)

– Cukup satu kali mandi untuk haidh dan janabat, atau untuk shalat ‘Ied dan shalat Jum’at, atau untuk janabat dan Jum’at, dan ketika ia meniatkan semuanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wa innamaa likullim rim maa nawaa.” (artinya: seorang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan).

– Apabila telah mandi janabat dan belum berwudhu’, maka mandi dapat menduduki posisi wudhu’, karena Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu’ setelah mandi (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih keduanya). Bahkan ketika ada seorang yang datang kepada Ibnu Umar mengatakan, bahwa dirinya berwudhu’ setelah mandi, maka Ibnu Umar berkata kepadanya, “Engkau telah berlebihan.”

– Boleh bagi orang yang junub dan haidh untuk memotong rambut, menggunting kukunya, keluar ke pasar, dsb. ‘Athaa’ berkata, “Orang junub (boleh) berbekam, menggunting kukunya dan mencukur rambutnya meskipun belum berwudhu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)

– Boleh bagi seorang laki-laki mandi bekas air yang dipakai istrinya. Demikian pula sebaliknya. Ibnu Abbas berkata: Sebagian istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dalam sebuah wadah besar, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk berwudhu’ atau mandi darinya, maka istrinya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku junub.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya air itu tidak junub.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Tormidzi dan ia berkata, “Hasan shahih.”)

– Tidak boleh mandi telanjang di tengah-tengah manusia, karena membuka aurat hukumnya haram, kecuali jika jauh dari manusia, maka tidak mengapa. Demikian pula diperbolehkan mandi meskipun di tengah-tengah manusia jika ia menutup dirinya dengan kain atau semisalnya. Hal ini sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi, sedangkan Fathimah menutupi Beliau dengan kain.

Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man waalaah.

Oleh: Marwan bin Musa

Artikel www.Yufidia.com

Maraaji’: Al Wajiiz fii Fiqhis sunnati wal kitaabil ‘Aziz (Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi), Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Risalah fil wudhu’ wal ghusli wash shalaah (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), Thahurul Muslim (Syaikh Sa’id Al Qahthaniy) dll.

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28