Menerjang Kewenangan Hakim?

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: “قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ: يَا رَسُولَ اللهِ، لَوْ وَجَدْتُ مَعَ أَهْلِي رَجُلًا لَمْ أَمَسَّهُ حَتَّى آتِيَ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ؟ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَعَمْ»، قَالَ: كَلَّا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، إِنْ كُنْتُ لَأُعَاجِلُهُ بِالسَّيْفِ قَبْلَ ذَلِكَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اسْمَعُوا إِلَى مَا يَقُولُ سَيِّدُكُمْ، إِنَّهُ لَغَيُورٌ، وَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي”.

Dari Abu Hurairah, dia berkata:

Sa’d bin ‘Ubadah berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya kudapati seorang lelaki bersama istriku, aku tak boleh bertindak (main hakim) sendiri terhadap lelaki itu sampai mendatangkan empat orang saksi?” Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab, “Ya.” Sa’d bin ‘Ubadah berkata lagi, “Sekali-kali tidak! Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, kalaulah (kudapati istriku bersama lelaki lain), niscaya aku akan mendahuluinya dengan pedang sebelum mendatangkan empat orang saksi.” Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Dengarkan apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian! Sesungguhnya dia cemburu, sedangkan aku lebih cemburu daripadanya, dan Allah lebih cemburu lagi daripadaku.” (HR. Muslim)

عَنْ وَرَّادٍ، كَاتِبِ المُغِيرَةِ عَنِ المُغِيرَةِ بن شعبة، قَالَ: قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ: لَوْ رَأَيْتُ رَجُلًا مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفَحٍ، فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ، وَاللَّهِ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي، وَمِنْ أَجْلِ غَيْرَةِ اللَّهِ حَرَّمَ الفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلاَ أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ العُذْرُ مِنَ اللَّهِ، وَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ بَعَثَ المُبَشِّرِينَ وَالمُنْذِرِينَ، وَلاَ أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ المِدْحَةُ مِنَ اللَّهِ، وَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ وَعَدَ اللَّهُ الجَنَّةَ”

Dari Warrad, juru tulis al-Mughirah, dari al-Mughirah bin Syu’bah, dia berkata:

Sa’d bin ‘Ubadah berkata, “Andai kata aku melihat seorang lelaki bersama istriku, niscaya aku akan menebasnya dengan pedang.” Perkataan Sa’d bin ‘Ubadah itu sampai (ke telinga) Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun bersabda, “Apakah kalian merasa takjub dengan kecemburuan Sa’d? Demi Allah, sesungguhnya aku lebih cemburu daripada Sa’d, dan Allah lebih cemburu daripadaku. Dan lantaran kecemburuan Allah itulah diharamkan perbuatan keji yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada seorang pun yang lebih menyukai pengemukaan udzur daripada Allah sehingga dengan sebab itu Allah mengutus para rasul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan tiada seorang pun yang lebih menyukai pujian daripada Allah (yakni pujian dari hamba-hamba-Nya berupa ketaatan dan penyucian terhadap-Nya dari sifat-sifat yang tak layak bagi-Nya –pent) sehingga dengan sebab itulah Allah menjanjikan surga (bagi mereka).” (HR. al-Bukhari)

Dari zahir kedua hadits di atas, mungkin saja ada yang menyimpulkan bahwa seorang suami yang mendapati istrinya sedang berasyik masyuk dengan lelaki lain, maka suami tersebut boleh membunuh lelaki yang sedang bersama istrinya itu. Alasannya, karena Sa’d bin ‘Ubadah mengutarakan pernyataan seperti itu di hadapan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara Rasululah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidak mengingkari ucapannya atau menyalahkan dan melarangnya.

(1) Benarkah kesimpulan yang demikian itu?

(2) Benarkah bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidak mengingkari ucapan Sa’d bin ‘Ubadah atau tidak menyalahkan dan melarangnya untuk membunuh pada saat itu juga?

Pertama: Tidak. Kesimpulan yang demikian itu tidak benar. Sebab, telah kukuh pensyariatan untuk menghadirkan empat orang saksi (ke hadapan hakim/pemerintah) berkaitan dengan hal tersebut, bukan langsung bertindak (main hakim sendiri) dengan cara membunuh pada saat itu juga. Bahkan, Sa’d bin ‘Ubadah sendiri mengetahui syariat tersebut sebagaimana terlihat dari ucapannya dalam hadits di atas:

يَا رَسُولَ اللهِ، لَوْ وَجَدْتُ مَعَ أَهْلِي رَجُلًا لَمْ أَمَسَّهُ حَتَّى آتِيَ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ؟

“Wahai Rasulullah, seandainya kudapati seorang lelaki bersama istriku, aku tak boleh bertindak (main hakim sendiri) terhadap lelaki itu sampai mendatangkan empat orang saksi?”

Hal itu mengartikan bahwa kewenangan untuk memberikan tindakan hukum dalam perkara tersebut bukanlah pada individu melainkan pada hakim/pemerintah berdasarkan kesaksian empat orang saksi atau berdasarkan pengakuan dari pelaku, baik itu berupa hukuman mati (rajam) jika lelaki itu terbukti berbuat zina sementara ia sudah atau pernah menikah maupun hukuman cambuk jika lelaki itu terbukti berbuat zina sementara ia belum pernah menikah. Hakim atau pemerintah pulalah yang berhak menjatuhkan hukuman mati (rajam) terhadap si istri apabila telah sah kesaksian dari empat orang yang menjadi saksi atau pengakuan dari si istri tersebut. Tidak boleh bagi seorang suami untuk langsung membunuh istrinya dan lelaki yang sedang bersama istrinya itu pada saat ia memergoki mereka.

Kedua: Benarkah bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak mengingkari ucapan Sa’d bin ‘Ubadah atau tidak menyalahkan dan melarangnya untuk membunuh pada saat itu juga?

Tidak, sama sekali tidak. Bahkan hadits tersebut memuat ucapan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– yang secara tegas menetapkan keputusan yang telah berlaku (yakni keputusan untuk menghadirkan empat orang saksi ) sekaligus mengingkari ucapan Sa’d bin ‘Ubadah dan melarangnya untuk melakukan pembunuhan. Beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata pada saat itu:

أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ، وَاللَّهِ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي

“Apakah kalian merasa takjub dengan kecemburuan Sa’d? Demi Allah, sesungguhnya aku lebih cemburu daripada Sa’d, dan Allah lebih cemburu daripadaku.”

Dalam ucapan itu terkandung pengingkaran Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- terhadap Sa’d bin ‘Ubadah untuk membunuh, yakni seakan-akan beliau mengatakan, “Apakah kalian merasa takjub dengan kecemburuan Sa’d? Demi Allah, sesungguhnya aku lebih cemburu daripada Sa’d, tetapi dengan kecemburuanku yang lebih besar itu, aku melarang untuk membunuh dan mengharuskan menghadirkan empat orang saksi. Dan Allah lebih cemburu lagi daripadaku, tetapi Allah dengan kecemburuannya yang lebih besar itu tetap mensyariatkan untuk menghadirkan empat orang saksi.”

Syaikh Khalid bin ‘Abd al-Mun’im ar-Rifa’i berkata mengenai pengingkaran yang terkandung dalam ucapan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tersebut:

ذلك كالمنكر على سعد … أنا أغير منه، والله أغير مني، وقد شرع إقامة الشهداء الأربعة مع شدة غيرته – سبحانه – فهي مقرونة بحكمة ومصلحة، ورحمة وإحسان، فالله – سبحانه – مع شدة غيرته أعلم بمصالح عباده، وما شرعه لهم من إقامة الشهود الأربعة دون المبادرة إلى القتل، وأنا أغير من سعد، وقد نهيتُه عن قتله

“Hal itu tak ubahnya pengingkaran terhadap ucapan Sa’d … aku lebih cemburu daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku. Akan tetapi dengan kecemburuan-Nya yang besar itu, Allah –subhanahu- mensyariatkan untuk menghadirkan empat orang saksi –dan tentu saja hal itu sesuai dengan hikmah, kemaslahatan, rahmat, dan kebaikan. Maka Allah –subhanahu, bersamaan dengan kecemburuan-Nya yang besar, lebih mengetahui kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, dan Allah tidak mensyariatkan bagi mereka selain menghadirkan empat orang saksi dan bukan bersegera membunuhnya. Dan aku lebih cemburu daripada Sa’d, tetapi aku melarangnya untuk membunuhnya.” [1]
Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmul –hafizhahullah- berkata:

في هذا الحديث فوائد ؛ منها إنكار الرسول صلى الله عليه وسلم كلام سعد وإبطاله، فإن الله الذي شرع ذلك ، أعلم بالحال، وهو الذي شرع أنك لا تمسه حتى تأتي بأربعة شهداء، والله أغير أن تنتهك محارمه! فإذا كنت تغار على عرضك، فالله يغار على محارمه أن تنتهك، وغيرة الله أعظم، فلا تخالف شرع الله!

“Di dalam hadits ini terkandung beberapa faidah, di antaranya pengingkaran Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan pembatalannya terhadap ucapan Sa’d bin Ubadah. Karena sesungguhnya, Allah yang mensyariatkan (kewajiban untuk menghadirkan empat orang saksi) tersebut, lebih mengetahui perihal tersebut. Dialah yang menetapkan syariat bahwa kamu tidak boleh bertindak (main hakim sendiri) terhadapnya sampai kamu mendatangkan empat orang saksi, padahal Allah jauh lebih pencemburu jika kamu melanggar pengharaman-Nya. Jika kamu merasa cemburu terhadap kehormatanmu, maka Allah pun cemburu atas pengharaman-Nya yang kaulanggar, sementara kecemburuan Allah itu lebih besar. Oleh karena itu, janganlah kau menyelisihi syariat Allah (yang telah menetapkan kewajiban untuk menghadirkan empat orang saksi) dengan cara bertindak (main hakim sendiri)!” [2]
Imam Ibn ‘Abd al-Barr –rahimahullah- berkata di kitab at-Tamhid (21/253):

في هذا الحديث: النهي عن قتل من هذه حاله تعظيما للدم، وخوفا من التطرق إلى إراقة دماء المسلمين، بغير ما أمرنا الله به من البينات، أو الإقرار الذي يقام عليه، وسدا لباب الافتيات على السلطان في الحدود التي جعلت في الشريعة إليه

“Di dalam hadits ini terkandung larangan untuk membunuh dalam kaitannya dengan hal tersebut sebagai penghargaan terhadap darah dan kekhawatiran terhadap terbukanya jalan menuju penumpahan darah kaum Muslimin selain melalui hal yang diperintahkan Allah berupa keterangan yang jelas (berupa saksi-saksi) atau ketetapan yang benar, juga agar dengannya tertutup pintu keserampangan berupa tindakan menerjang kewenangan pemerintah dalam penegakan hukum syariat terhadapnya.”

Dengan demikian, jelaslah bahwa seseorang yang memergoki istrinya sedang berduaan dengan lelaki lain, tidak boleh baginya untuk begitu saja membunuh istrinya dan atau lelaki lain itu. Tidak boleh bagi seseorang untuk bertindak menyelisihi ketetapan syariat meskipun dirinya sedang dilanda oleh perasaan cemburu dan marah.

Adapun berkaitan dengan ucapan Sa’d bin ‘Ubadah, Imam an-Nawawi menukil pendapat beberapa ulama sebagai berikut:

قال الماوردي وغيره: ليس قوله هو رداً لقول النبيّ صلى الله عليه وسلم ولا مخالفة في سعد بن عبادة لأمره صلى الله عليه وسلم وإنما معناه الإخبار عن حالة الإنسان عند رؤيته الرجل عند امرأته واستيلاء الغضب عليه فإنه حينئذ يعاجله بالسيف وإن كان عاصياً

Imam al-Mawardi dan selainnya mengatakan, “Ucapan Sa’ad itu bukanlah berarti dia menolak ucapan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam (mengenai keharusan menghadirkan empat orang saksi), dan bukan pula berarti Sa’d bin ‘Ubadah menentang perintah beliau. Makna ucapan itu hanyalah suatu pemberitahuan mengenai keadaan hatinya apabila dia melihat lelaki lain bersama istrinya, bahwa kemarahan bisa menguasai dirinya sehingga mendorongnya untuk bertindak segera dengan pedang meskipun hal itu merupakan kemaksiatan.” [3]

Wallahu a’lamu.

Ditulis oleh: Hendra Wibawa Ibn Tato Wangsa Widjajabntato

Keterangan:

  • [1] http://www.alukah.net/fatawa_counsels/3004/59480/
  • [2] http://mohammadbazmool.blogspot.co.id/2015/11/blog-post_53.html
  • [3] https://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?bk_no=53&ID=668&idfrom=4501&idto=4527&bookid=53&startno=11

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28