Musuh-musuh Islam selalu mengintai dan mencari kelengahan kaum muslimin, kemudian melemparkan syubhat-syubhat untuk membuat keraguan atas kebenaran Islam. Mereka berusaha mengaburkan sejarah emas generasi sahabat, dengan mencoba mencela dan melecehkannya, khususnya para perawi hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya, yaitu perawi yang banyak meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah Abu Hurairah. Oleh karenanya, kita perlu mengetahui sejarah kehidupannya, agar kaum muslimin memiliki hujjah. Tidak terbawa arus propaganda dan provokasi musuh-musuh Islam.

NAMA DAN NASABNYA

Nama pada masa jahiliyah – menurut pendapat yang rajih – adalah Abdu Syams, sebagaimana ditetapkan Imam Bukhari, At Tirmidzi dan Al Hakim. Adapun setelah masuk Islam, namanya telah dirubah oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini, dikarenakan tidak boleh memberi nama seseorang dengan nama “hamba fulan” (Abdul Fulan) atau hamba sesuatu. Yang boleh, hanya hamba Allah (Abdullah) semata, sehingga beliau diberi nama Abdullah atau Abdurrahman, namun Abdurrahman-lah yang lebih rajih.

Nama tersebut merupakan salah satu nama dari sekian nama-nama yang dimiliki oleh Abu Hurairah. Menurut Al Hakim, nama itulah yang paling sah. Akan tetapi, Abu Ubaid berkata, bahwa nama beliau adalah Abdullah; dan Ibnu Khuzaimah terbiasa menggunakan nama tersebut.

Imam Bukhari dalam kitab Al Adab Al Mufrad mengutip dari Musa bin Ya’qub Al Juma’i yang telah bertemu dengan sahabt-sahabat setia Abu Hurairah. Bahwa sebelumnya, Abu hurairah bernama Abdullah. Hal ini membuat Ibnu Hajar mengakui adanya kemungkinan benarnya dua nama tersebut.

Abu Hurairah adalah orang Dausi – dengan difathahkan huruf “dal” dan disukunkan huruf “waw” – berasal dari Bani Daus bin ‘Adtsan sedangkan Al Azd sendiri merupakan qabilah Yamaniah Qathaniyah yang terkenal silsilah nasab keturunannya terjaga sampai kakek tertinggi Al Azd bin Al Ghauts, sebagaimana telah dijelaskan oleh seorang pakar sejarah terpercaya Khalifah bin Khayyath.

Jika demikian halnya, berarti dia adalah Abu Hurairah Al Dausi Al Yamani. Imam Ad Daulabi meriwayatkan dari seorang tabi’in terkenal, Yazid bin Abu Hubaib, bahwa Abu Hurairah Ad Dausi Al Yamani merupakan sekutu Abu Bakar Ash Shiddiq. Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah kepalsuan dan kebodohan orang yang menuduh, bahwa nasab Abu Hurairah tidak dikenal (majhul). Bahkan (perlu) kami tambahkan disini dengan menyatakan , bahwa Ibnu Ishaq – pengarang kitab sirah yang terkenal itu – berkomentar tentang Abu Hurairah adalah seorang mulia. Berkedudukan tinggi dan dipercaya di kalangan Bani Daus. Bani Daus senang memilikinya.”

Pamannya bernama Sa’ad bin Abu Dzubab yang diangkat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai gubernur wilayah Daus. Pengangkatan tersebut berlangsung hingga pemerintahan Umar nampaknya, kalaulah Sa’ad pada masa jahiliyah bukan seorang gubernur, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengangkatnya sebagai guberneur. Orang-orang yang meneliti sikap politik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengangkat gubernur atau pemimpin bagi setiap suku atau kabilah, akan mengetahui. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu antusias mengangkat orang yang pada masa jahiliyahnya menjadi pemimpin bagi kaumnya, jika masuk Islam dan faqih (ahli agama), sebagaimana pengangkatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sahabat yang mulia Jarir bin Abdullah Al Bajali untuk menjadi wakil bagi kaumnya. (demikian juga) Adi bin Hatim Ath Tha’i juga diangkat sebagai pemimpin bagi kaumnya.

Abu Ubaid Al Qasim bin Salam menyatakan: Shafwan bin Isa telah menceritakan kepada kami dari Al Harits bin Abdurrahman bin Abu Dzubab dari Munir bin Abdullah dari ayahnya dari Sa’ad bin Abu Dzubab, ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku menyatakan diri masuk Islam. Lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah. Jadikanlah untuk kaumku pemimpin yang akan mengambil zakat mereka yang telah masuk Islam.’ Lalu nabi menunaikan hal itu dan mengangkatku sebagai ‘amil untuk mengambil zakat mereka. Abu Bakar pun mengangkatku juga. Demikian pula Umar mengangkatku untuk melakukan tugas tersebut.”

Dalam kisah tersebut, kalau kita perhatikan memang tidak terdapat isyarat bahwa Sa’ad sebagai paman dari Abu Hurairah. Namun Isyarat tersebut terdapat pada sejarah biografi anaknya, Al Harist bin Sa’ad bin Abu Dzubab. Yaitu ketika Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf menjelaskan, bahwa dia adalah anak dari paman Abu Hurairah. Telah sampai kepada kita keterangan yang jelas dari Abu Salamah dengan sanad yang shahih diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim. Demikian juga Ibnu Hibban menyebutkan hal itu dalam biografinya, bahwa ia merupakan anak dari paman Abu Hurairah.

Demikianlah kemuliaan dan keutamaan yang dimiliki Abu Hurairah dari jalur pamannya seorang gubernur. Adapun dari jalur paman dari ibu; sesungguhnya ibunya (Umaimah bin Shufaih bin Al Harist dari Bani Daus) memiliki saudara bernama Sa’ad bin Shufaih, seorang pahlawan pemberani Bani Daus. Pamannya inipun telah masuk Islam. Dengan demikian, menyatulah kemuliaan Abu Hurairah dari dua arah. Dan nyatalah kebatilan pendapat orang yang menyatakan jika Abu Hurairah seorang fajar terlantar.

SEBAB KUNYAHNYA YANG ANEH

Abu Hurairah terkenal dengan kunyah(julukan)nya. Tentang julukannya ini, Imam Al Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Mereka memberikan gelar dan julukan kepadaku Abu Hurairah. Penyebabnya, tidak lain karena aku pernah menggembalakan kambing untuk keluargaku. Dan saat itu kudapati anak kucing liar, lalu aku masukkan ke kantong lenganku. Ketika aku pulang kembali ke rumah, mereka mendengar suara kucing di kamarku, kemudian bertanya, ‘Suara apakah itu, wahai Abdu Syams?’ Akupun menjawab, ‘Anak kucing yang kutemukan (saat menggembala kambing)’. Mereka berkata, ‘Kalau begitu, engkau adalah Abu Hurairah.’ Semenjak itu julukan dan gelar itu terus melekat padaku.”

Akan tetapi Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku Abu Hirin dan orang-orang memanggilku Abu Hurairah,” karenanya ia berkata, “Kalian memanggil dan menjulukiku dengna julukan laki-laki (Abu Hirin), lebih aku sukai daripada julukan wanita (Abu Hurairah).” Disebutkan di beberapa tempat dalam Shahih Bukhari, bahwa dalam berbagai kesempatan dan peristiwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Abu Hurairah dengan panggilan Abu Hirrin.

SIFAT (CIRI KHUSUS) YANG DIMILIKINYA

Abdurrahman bin Abu Labibah memberikan sifat khusus bagi Abu Hurairah. Dia berkulit sawo matang, bahu dan pundaknya cukup lebar, rambutnya dikepang dan dibelah dua, dan gigi serinya renggang.

Dhamdhan bin Jaus mensifatkannya sebagai seorang tua yang mengepang rambut kepalanya dan gigi serinya renggang.

Muhammad bin Sirin memberikan ciri khusus, bahwa Abu Hurairah adalah orang yang berkulit putih, halus, lembut dan tidak kasar. Dia mengecat jenggotnya dengan hanna (pohon pacar) dan berpakaian dengan kain katun.

KEISLAMAN DAN HIJRAHNYA

Di tengah-tengah kesesatan jahiliyah dan kegelapan syirik, sampailah seruan dakwah tauhid dari Mekkah kepada seorang yang mulia, penyair ulung dan dermawan, yaitu Ath Thufail bin Amr Ad Dausi. Kemudian Ath Thufail masuk Islam dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah, lalu kembali kepada kaumnya di wilayah Daus. Ia menyeru kepada kaumnya, sehingga ada yang masuk Islam. Di antara mereka ialah Abu Hurairah.

Ibnu Hajar menyebutkan riwayat Hisyam bin Al Kalbi tentang kisah Ath Thufail. Bahwa ia mendakwahi kaumnya untuk masuk Islam, lalu ayahnya masuk Islam, sedangkan ibunya tidak. Dan Abu Hurairah saja yang memenuhi panggilannya. Demikianlah permulaan kisah keislaman Abu Hurairah. Kemudian Ath Thufail bin Amr Ad Dausi mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya, “Apakah baginda Nabi berada dalam lingkungan yang cukup kuat dan jaminan keamanan?” Dia berkata lagi, “ada perlindungan dan suaka politik pada Bani Daus yang ada sejak zaman jahiliyah (jika engkau ingin),” namun Nabi enggan untuk mendapatkan jaminan keamanan tersebut, karena (memilih) jaminan Allah kepada kaum Anshar.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, Ath Thufail pun hijrah ke Madinah pula. Ath Thufail berkata, “Aku mendatangi Rasulullah bersama orang-orang yang telah masuk Islam dari kaumku, sedangkan (waktu itu) Rasulullah berada di Khaibar, hingga tinggal di Madinah tujuh puluh atau delapan puluh keluarga dari Bani Daus.”

Mulai saat itulah Abu Hurairah bertugas dan bertanggung jawab untuk memaparkan berita-berita tentang dirinya dan berita para delegasi tersebut. Abu Hurairah berkata, “Ketika Rasulullah berangkat menuju Khaibar, Beliau mengangkat Siba’bin Al Fathah Al Ghifari sebagai pejabat sementara Madinah, kami lalu tiba disana. Ketika tiba di Madinah, jumlah kami sebanyak 80 keluarga Bani Daus.” Berkata seseorang “Rasulullah berada di Khaibar dan akan datang menemui kalian,” akupun menimpalinya, “Tidaklah aku mendengar Rasulullah beristirahat di suatu tempat, kecuali aku mendatanginya. Lalu kami menemui Siba’ bin Al Fathah dan kami bersiap-siap. Kemudian aku menemui Rasulullah pada suatu hari sebelum penaklukan (kota Makkah) atau sehari setelahnya. Rasulullah telah menaklukan An Nuthah dalam keadaan mengepung Ahli Kutaibah (penduduk benteng Kutaibah). Kamipun bertahan di sana hingga Allah Ta’ala membukanya untuk kami.”

MASA PERSAHABATANNYA DENGAN RASULULLAH ﷺ

Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu datang ke Khaibar pada bulan Shafar tahun ke 7 H, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada bulan R0abi’ul Awal tahun 11 Hijriah. Sehingga lamanya bersahabat dengan Nabi sekitar 4 tahun lebih. Masa-masa itulah yang ditegaskan oleh humaid bin Abdurrahman Al Himyari dengan pernyataan, “Aku berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang bersahabat dengan Nabi sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi selama empat tahun.”

Namun Abu Hurairah sendiri menjelaskan dalam Shahih Bukhari, bahwa ia menemani Rasulullah selama 3 tahun. Seolah-olah Abu Hurairah menghitung masa menjadi pengikut setia ‘mulazamah’ hanya selama 3 tahun, yaitu setelah kedatangan mereka dari Khaibar, atau ia tidak menghitung waktu-waktu safar (perjalanan) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; baik untuk berperang, berhaji maupun umrah. Sebab, mulazamahnya ketika berada di Madinah sangatlah berbeda dengan mulazamah sewaktu bepergian. Atau masa-masa tersebut diartikan sebagai waktu ketika dia berada di Shuffah (menjadi Ahli Shuffah) yang sangat bersemangat dan antusias. Sedangkan pada waktu lainnya, sikap antusiasme tersebut tidak sebagaimana disebutkan Wallahu a’lam. Atau kurangnya hitungan masa tersebut dengan tidak memasukkan perhitungan saat bepergian ke Bahrain tahun ke delapan Hijriah ditemani Al Alla’ Al Hadrami, gubernur Nabi untuk wilayah Bahrain.

KEUTAMAAN YANG DIRAIH ABU HURAIRAH

Sungguh, masuknya Abu Hurairah ke kalangan para sahabat, memberinya keutamaan bertambah-tambah. Dia mendapatkan pahala sebagai sahabat Nabi, mendapatkan sifat adalah (adil) yang menempel pada semua sahabat yang telah ditetapkan dalam ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi yang mulia. Barangsiapa yang menolaknya, berarti telah menolak Al-Quran dan hadits shahih serta ijma generasi pertama dari kaum muslimin.

Dia mendapatkan keutamaan atas doa Rasulullah kepada kabliahnya, Daus, agar mendapat petunjuk. Juga mendapatkan keutamaan Yaman, karena ia sebagai orang Yaman. Demikian juga mendapatkan pahala hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, karena hijrahnya sebelum penaklukan kota Mekkah dan mendapatkan keutamaan doa Rasulullah kepadanya. Sekaligus mendapatkan keutamaan sebagai orang miskin dan Ahlu Shuffah, pahala berjihad di bawah panji Rasulullah serta pahala menghafal hadits Rasulullah dan menyampaikannya.

CINTA ABU HURAIRAH KEPADA RASULULLAH

Abu Hurairah sangat mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketulusan cintanya diungkapkan dengan pernyataannya:

“Wahai, baginda Rasulullah. Ketika aku melihat engkau, bahagia kurasakan dalam diriku dan sejuk pandanganku.”

Kecintaan itu menanamkan perasaan mendalam terhadap nama Rasulullah, sampai-sampai ia tidak mampu menguasai dirinya, terisak menangis berkali-kali sampai pingsan.

Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad hasan (baik) sampai kepada Syafi’i Al Ashbahi tentang gambaran nyata cinta Abu Hurairah, ketika kecintaannya itu sedang menguasai dirinya.

Ketika Syafi’i memasuki Madinah, tiba-tiba ada seseorang tengah dikelilingi banyak orang bertanya, “Siapakah orang itu?” mereka menjawab, “Abu Hurairah.” Lalu aku mendekatinya hingga duduk di hadapannya, sedangkan ia sedang menyampaikan hadits kepada mereka. Ketika ia diam dan sendirian, aku bertanya kepadanya, “Aku tegaskan dengan sebenar-benarnya, ketika anda menyampaikan kepadaku satu hadits, ketika anda menyampaikan kepadaku satu hadits yang anda dengar dari Rasulullah, anda faham dan ketahui.” Lalu Abu Hurairah menjawab, “Ya. Akan aku sampaikan kepadamu satu hadits yang telah disampaikan Rasulullah kepadaku, aku faham dan ketahui,” lalu Abu Hurairah tertegun sampai tercengang.

KESABARAN ABU HURAIRAH MENAHAN LAPAR UNTUK BELAJAR

Abu Hurairah hidup pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Shuffah dalam keadaan faqir, tidak memiliki harta, rumah dan mata pencaharian. Dia merasa cukup dengan kemudahan yang diberikan Allah kepadanya dan kepada para ahlus shuffah, yaitu berupa hadiah untuk mereka dan makanan yang dinikmati bersama dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dia menyiapkan diri menemani dan mulazamah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semata, hanya karena ingin mendengarkan dan menghafal seluruh sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan untuk menyebarkannya. Juga untuk melihat perbuatan, keadaan, pergaulan dan keputusan hukum Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya ialah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dari Muhammad bin Sirin, ia berkata: Kami pernah berada di sisi Abu Hurairah. Dia memakai dua helai pakaian yang dicelup dengan tanah merah (berwarna merah) dari bahan katun, lalu ia menariknya seraya mengucapkan, “Bakh, bakh!”

Abu Hurairah menarik pakaiannya seraya berkata, “Sungguh aku pernah terjatuh di antara mimbar Nabi dan kamar Aisyah dalam keadaan pingsan, lalu datanglah seseorang dengan meletakkan kakiku di leherku. Dia menganggapku sudah gila, padahal aku tidak gila. Tidak menimpaku, kecuali kelaparan.

ABU HURAIRAH BERJIHAD

Abu Hurairah pun tidak tertinggal melaksanakan tugas suci membela agama dengan berperang di jalan Allah, sebagaimana nampak jelas keikut sertaannya dalam beberapa peperangan Nabi, di antaranya:

– Keikutsertaannya dalam perang Khaibar dan perang di Wadi Al Qura’
– Keikutsertaannya dalam Umratul Qadha (umrah pengganti)
– Keikutsertaan Abu Hurairah dalam perang Dzatur Riqa’, sebagaimana disampaikan Imam Al Bukhari dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, Ia berkata, “Aku Shalat bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peperangan yang kami mendapati shalat khauf (shalat karena takut).” Juga dikuatkan oleh kisah yang diriwayatkan Abu Dawud dari Urwah bin Zubair yang menceritakan dari Marwan bin Al Hakam, bahwa ia bertanya kepada Abu Hurairah: “Pernahkah anda shalat bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat khauf?” Abu Hurairah menjawab, “Pernah.” Marwan bertanya, “Kapan?” Abu Hurairah menjawab, “Tahun terjadinya perang Dzaturiqa.” Abu Hurairah juga hadir dalam mengusir sebagian bangsa Yahudi Madinah. Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Abu hurairah radiyallahu ‘anhu tentang pengusiran tersebut. Ia berkata: Ketika kami di dalam masjid, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, seraya bersabda, “Berangkatlah menuju pemukiman Yahudi.” Kamipun keluar hingga sampai di Baitul Midras.” Lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Masuklah ke dalam agama Islam, niscaya anda selamat. Ketahuilah, bahwa bumi ini milik Allah dan Rasul-Nya. Dan aku akan mengusir kalian dari tempat ini. Barangsiapa di antara kalian memiliki sedikit harta, maka juallah. Jika tidak, ketahuilah bahwa daerah ini milik Allah dan Rasul-Nya.” Kisah ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim.

– Keikutsertaan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dalam Al Fath Al Akbar (penaklukan Makkah), Hunain dan Thaif. Dipaparkan Imam Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia berkata: Maukah aku ajarkan pada kalian satu hadits tentang kalian, wahai seluruh kaum Anshar? (Lalu ia menyebut penaklukan kota Mekkah), seraya berkata, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat ke Mekkah. Setelah sampai disana, lalu Beliau mengangkat Az Zubair (sebagai pemimpin pasukan) di salah satu sayap pasukan. Dan di sayap lainnya menangkat Khalid. Beliau juga mengutus Abu Ubaidah (memimpin) pasukan infantri yang tidak berpakaian baju besi. Mereka pun mengambil tempat dan posisi di tengah-tengah lembah. Sementara itu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam kelompok kecil (peleton) tersendiri. Beliau memandang sekeliling dan melihatku, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Abu Hurairahkah anda?” Aku pun menjawab, “Kupenuhi panggilan engkau, wahai Rasulullah.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh menemuiku, kecuali dari kalangan Anshar – selain Syaiban, menambahkan – (tambahan dari salah seorang perawi hadits ini). “Panggilan kaum Anshar.” Dia berkata, “Mereka pun mengelilingi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan orang Quraisy dengan seluruh kabilah dan pengikutnya berkumpul sambil berkata, “Kita dahulukan mereka. Jika mereka mendapatkan sesuatu (kemenangan), kita pun akan (merasakan) bersama mereka. Dan jika mereka mendapatkan musibah, kita akan berikan yang diminta dari kita.” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Tidakkah kalian menyaksikan kumpulan kabilah Quraisy dan pengikut-pengikut mereka?” Lalu Beliau meletakkan salah satu telapak tangannya di atas yang lainnya dan berkata, “Temuilah aku di Shafa.” Abu Hurairah berkata, “Kami pun bergegas berangkat. Maka tidak ada seorang pun dari kami yang ingin membunuh seseorang, kecuali membunuhnya. Dan tidak seorang pun dari mereka menghadang kami, sedikitpun.

  • Keikutsertaan Abu Hurairah dalam perang Tabuk, sebagaimana diriwayatkan Imam Ath Thahawi dengan sanad yang shahih sampai kepada beliau, ia berkata, “Kami keluar bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pada perang Tabuk.”
  • Keikutsertaan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dalam perang Mu’tah
  • Keikutsertaannya menumpas gerakan pemurtadan (Harakatu Ar-Riddah), sebagaimana telah diriwayatkan Imam Al Bukhari dalam kisah penumpasan Abu Bakar terhadap gerakan pemurtadan ini. Abu Hurairah berkata: Ketika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat dan Abu Bakar diangkat sebagai pengganti Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kufurlah orang-orang yang kufur dari bangsa Arab. Umar bertanya kepada Abu Bakar, “Wahai, Abu Bakar. Bagaimana anda akan memerangi mereka? Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi ‘Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah.’ Karenanya, barangsiapa telah mengucapkannya, ia telah terjaga dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan cara yang haq. Dan hisab berikutnya berada pada Allah’.”Abu Bakar menjawab, “Demi Allah. Aku akan memerangi orang-orang yang memisahkan antara shalat dan zakat, sebab zakat adalah haknya harta. Demi Allah. Jika mereka menghalangiku meskipun Cuma sedikit – dalam riwayat lain (ikat kepada) – padahal sebelumnya (pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menunaikannya, niscaya aku perangi mereka karena keengganannya (itu).” Umar pun menimpalinya, “Demi Allah. Tidaklah aku melihat, melainkan Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka. Aku pun mengetahui dia (berada) pada kebenaran. Imam Muslim, Abu Dawud dan An Nasa’i juga memaparkan kisah ini. Tetapi lafadznya tidak menunjukkan keikutsertaan Abu Hurairah dalam peperangan itu, kecuali dalam riwayat An-Nasa’i dengan sanad yang tidak kuat. Namun dalam riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang telah dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir, terdapat pernyataan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu setelah pemaparannya mengenai kisah tersebut: “Kami berperang bersama Abu Bakar, lalu kami memandangnya sebagai keputusan yang sangat tepat.”
  • Keikutsertaannya dalam perang Yarmuk, peperangan di Armenia dan daerah Jurjan, sebagaimana dipaparkan Ibnu Asakir tentang kisah perang Yarmuk. Demikian juga ibnu Hajar menyebutkannya dalam Al Ishabah menukil dari Ibnu Asakir juga. Sedangkan ilmu Khaldun memberikan catatan, bahwa pada masa kekhalifahan Utsman, Abu Hurairah tinggal bersama Gubernur Armenia, Abdurrahman bin Rabu’ah. Ketika Abdurrahman terbunuh dalam peperangan melawan Turki, sebagian tentaranya menuju Jailan dan Jurjan. Di dalam barisan tentara tersebut terdapat Salman Al farisi dan Abu Hurairah.

Abu Hurairah tidak hanya mencukupkan dengan jihad yang terus-menerus, mencurahkan kemampuan dan pengorbanannya ini saja, (tetapi) ia juga berharap menambah dengan yang lainnya.

Imam An Nasa’i meriwayatkan dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan kami untuk memerangi India. Jika aku mendapatinya, maka akan aku korbankan jiwa dan hartaku. Karena jika aku terbunuh, maka aku adalah syuhada’ yang paling utama. Dan jika aku kembali, maka aku adalah Abu Hurairah, orang yang dibebaskan dari api neraka (al muharrarah).

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dengna lafadz:

“Jika aku mendapatkan syahid, maka aku menjadi sebaik-baiknya syuhada. Dna jika aku kembali (masih hidup), maka aku adalah Abu Hurairah Al Muharrarah (terbebas dari api neraka).”

Itulah gambaran singkat pribadi yang agung seorang sahabat besar yang namanya senagaja dicaci maki secara membabi buta oleh musuh-musuh Islam, kaum zindiq yang berkedok cinta ahli bait.

KEHEBATAN LAIN ABU HURAIRAH

Sungguh menjadi keniscayaan, bahwa mulazamah yang terus-menerus dan persahabatan abdai yang dijalin Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan hasil. Rasul telah membinanya dengan tarbiyah iman yang tinggi. Hal ini tampak dalam sebagian besar sisi moral dan keilmuannya.

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang mengarahkan pembicaraannya langsung kepada Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu sebagai seorang murabbi (pendidik), pembimbing (mursyid) sekaligus sebagai guru. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, “Wahai, Abu Hurairah. Jadilah engkau sebagai seorang yang wara, niscaya engkau menjadi orang yang paling mengabdi kepada Allah. Jadilah engkau seorang yang qana’ah (merasa cukup dengan yang dimiliki), niscaya engkau menjadi orang yang paling bersyukur. Cintailah untuk manusia apa yang engkau sukai untuk dirimu, niscaya engkau menjadi mukmin. Berbuat baiklah kepada tetangga yang bersebelahan denganmu, niscaya engkau menjadi seorang muslim; dan sedikitlah tertawa, sebab banyak tertawa itu mematikan hati.”

Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu memahami wasiat ini dan semangat melaksanakannya. Sehingga kita mengenalnya sebagai orang yang wara, jauh dari gemerlap kehidupan dunia, harta dan hidup sederhana. Dia sangat jauh dari ambisi jabatan kepemimpinan dan fitnah. Kita mengetahui, (bahwa) ia sebagai seorang yang mencintai manusia dengan mengajarkan ilmu kepada mereka. Dia seorang yang memiliki semangat tinggi memahamkan hadits, serta seorang yang selalu berbuat baik kepada tetangganya. Ammar bin Yasir mengakui keutamaannya ini.

Demikian juga berbuat baik kepada tetangganya, yaitu Abdullah bin Syaqiq yang menjadi muridnya setelah itu. Kita pun akan mengetahui, ia seorang yang jauh dari senda gurau. Dia seorang ahli ibadah yang sering menangis, seperti saat disebutkan nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika wafatnya Hasan radiyallahu ‘anhu dan setelah meninggalnya Utsman radiyallahu ‘anhu.

PERHATIAN DAN PENJAGAAN (HAFALAN) ABU HURAIRAH TERHADAP AL QUR’AN

Kita menemukan, bahwa Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu seorang yang memburu setiap kebaikan. Dia telah mengerahkan segala kesungguhannya untuk mendapatkan kebaikan dan keistimewaan tersebut. Dia menerima pengajaran Al-Quran secara langsung dari Ubay bin Ka’ab. Sedangkan Ubay bin Ka’ab merupakan salah satu dari empat sahabat yang diakui Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki hafalan Al-Quran yang bagus.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mintalah diajarkan Al-Quran dari empat orang, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Salim maula (bekas budak) dari Abu Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal.”

Kemudian dia menjadi seorang pengajar Al-Quran. Dan (yang telah) belajar darinya, yaitu Abu Ja’far Yazid bin Al Qa’qa Al Makhzumi Al Madani, salah seorang dari sepuluh ahli qirah’ah yang terkenal; begitu juga Abdurrahman bin Hurmuz Al A’raj. Sedangkan Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim Al Madani, salah seorang imam ahli qirah’ah tujuh yang terkenal belajar dan mengambil Al-Quran dari Al A’raj. Dengan demikian kita mengetahui, bahwa bacaan Al-Quran yang banyak dikenal di kalangan muslimin, sumbernya berasal dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu. Tersirat pula dalam pernyataan Ibnu Al Jauzi, bahwa tidak ada seorangpun yang mengalahkan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dalam masalah tersebut. Ibnu Jauzi berkata, “Berakhir pada Abu Hurairah bacaan Al-Quran yang dilakukan Abu Ja’far dan Nafi.”

Dengan demikian Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu telah memancarkan sumber pahala yang tak kunjung padam untuk dirinya. Dia mendapatkan kebaikan pada setiap satu huruf dari Al-Quran yang dibacanya dan setiap pribadi muslim dari masa tabi’in hingga hari kiamat.

Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu mengajarkan Al-Quran tidak hanya kepada dua orang saja, namun lebih dari itu. Sebagaimana perkataan Maina’ bekas budak Abdurrahman bin Auf, “Aku menerima pengajaran surat Al Baqarah dan surat Ali Imran dari lisan Abu Hurairah.”

BANYAKNYA IBADAH ABU HURAIRAH

Dari Abu Utsman An Nahdi, ia berkata, “Aku pernah bertemu kepada Abu Hurairah selama tujuh hari. Dan menjadi kebiasaan Abu Hurairah, isteri dan pembantunya untuk saling bergantian menjadikan malam tiga bagian. Seorang dari mereka shalat kemudian membangunkan yang lainnya…”

Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu sendiri menjelaskan kegiatan pada setiap malamnya, “Aku membagi malam menjadi tiga bagian. Sepertiganya kugunakan untuk tidur, sepertiganya untuk shalat, dan sepertiga lainnya aku pergunakan untuk mengulang-ulang hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

ABU HURAIRAH SEORANG YANG BERAMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR

Sudah menjadi kebiasaan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu pergi menuju masjid-masjid kau Anshar yang tersebar di penjuru kota Madinah untuk mengajarkan dan memperdengarkan kepada mereka hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti kepergiannya ke masjid Bani Zuraiq dan mengajar disana. Ini dibuktikan dengan banyaknya orang-orang dari bani Zuraiq yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah.

Imam Al Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa seseorang dari Bani Amir telah melewati Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, lalu ada yang mengatakan: “Orang ini adalah yang paling banyak hartanya,” maka Abu Hurairah memanggil, seraya menanyakan hal tersebut. Ia menjawab, “Benar, aku memiliki 100 ekor unta merah dan 100 ekor onta berwarna kecoklatan dan sekian banyak ekor kambing.” Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, “Hati-hatilah kamu dari kaki-kaki onta dan kaki-kaki kambing tersebut. Sebab aku mendengar Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ……,” kemudian Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu memaparkan hadits yang panjang tersebut berisi diinjak-injaknya (pemilik harta onta dan kambing) dengan kaki onta dan kambing tersebut jika mendzaliminya. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim tanpa kisah laki-laki dari Bani Amir (Al Amir) tersebut.

Imam Al Haitsami mengutip satu kisah, bahwa Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu melewati pasar Madinah, lalu ia berhenti di tempat itu, ia berkata, “Wahai, penghuni pasar. Alangkah tidak mampunya kalian.” Mereka menimpali, “Apa itu, wahai Abu Hurairah?” Ia menjawab, “Itu, peninggalan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang dibagi-bagi, sedangkan kalian ada disini? Tidakkah kalian mendatanginya, lalu mengambil bagian kalian?” mereka bertanya, “Dimanakah dia?” Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu menjawab, “Di masjid.”

Maka mereka pun bergegas keluar menuju masjid, sedang Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu tetap berdiri menunggu mereka kembali. Ia bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian dapati?” mereka menjawab, “Wahai, Abu Hurairah. Kami telah mendatangi masjid dan memasukinya, namun tidak melihat sesuatu sedang dibagi disana.” Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, “Tidakkah kalian melihat seseorang di masjid?” mereka menjawab, “Benar, kami melihat sekelompok orang sedang shalat, sekelompok membaca Al-Quran dan sekelompok lainnya sedang mempelajari perihal halal dan haram.” Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, “Celakalah kalian. Itulah peninggalan Rasulullah.”

BAKTI ABU HURAIRAH KEPADA IBUNYA

Tiada bakti yang lebih besar dari menyelamatkan orang tua dari api neraka. Tiada pula doa yang paling tepat dari berharga yang dipanjatkan untuk sahabat atau salah seorang keluarga lebih dari doa mendapatkan hidayah dan keimanan. Dari sini sudah sepantasnya kita memahami, betapa besarnya bakti Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu kepada ibunya ketika ia berharap keislaman ibunya dan menjadi penyebab ibunya masuk Islam.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendakwahi ibuku agar memeluk agama Islam, sedangkan ia masih musyrik. Pada suatu hari, aku mendakwahinya. Lalu ia menyatakan sesuatu kepadaku tentang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membuatku benci (mendengarnya). Akhirnya aku mendatangi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan menangis di hadapan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Wahai, Rasulullah. Sungguh aku tealh mendakwahi ibuku agar masuk Islam, namun ia enggan mengikuti ajakanku. Hingga akhirnya pada suatu hari aku mendakwahinya, namun ia (justru) menyatakan sesuatu kepadaku tentang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang aku benci (mendengarnya). Karenanya mintalah kepada Allah agar menunjuki ibu Abu Hurairah.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ya Allah. Berilah petunjuk kepada ibu Abu Hurairah.” Aku pun meninggalkan rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh kegirangan atas doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi ibuku. Ketika sampai di rumah, aku langsung beridir di depan pintu, ternyata pintu terkunci. Lalu ibuku mendengar suara gemericik air, ternyata ia mandi, kemudian mengenakan baju dan bersegera memakai jilbabnya dan membukakan pintu untukku, seraya berkata, “Wahai, Abu Hurairah. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar, kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya.” Abu Hurairah berkata, “Aku pun kembali menemui Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menangis karena bahagia.” Aku berkata, “Wahai, Rasulullah.

Berbahagialah, sungguh Allah telah memenuhi dan mengabulkan doa anda, dan bukut elah mendapatkan petunjuk.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji Allah dan mengagungkan-Nya, dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Baiklah.”

Gambaran yang paling menakjubkan tentang kecintaan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu kepada ibunya, adalah berita yang disampaikan kepada kita oleh Abdullah bin Wahb dalam kitab Jami’nya dari jalan Abdullah bin lahi’ah dari Khalid bin Yazid dari Sa’id bin Abu Hilal, ia berkata: Setiap hari Abu Hurairah menemui ibunya dan berakta, “Terima kasih untukmu, wahai ibuku. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, sebagaimana engkau telah mendidikku di waktu kecil.” Maka ibunya berdoa, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, sebagaimana engkau telah berbuat baik kepadaku ketika usiaku telah senja.” Kisah ini juga dibawakan Imam Bukhari.

TAWADHU (KERENDAHAN HATI) ABU HURAIRAH DENGAN ILMU YANG DIMILIKINYA

Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang paling banyak hafalannya dari kalangan sahabat, namun hal itu tidak membuatnya bangga diri. Ibnu Abu Syaibah telah meriwayatkan dalam Al Mushannaf tentang pernyataan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu kepada Ibnu Abbas yang merupakan sahabat muda (ashgharush shahabat): “Anda lebih baik dariku dan lebih paham tentang Islam daripada aku.”

Dalam bentuk lain, kita melihat Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu tawadhu di hadapan tabi’in besar Amr bin Aus Ats Tsaqafi (wafat tahun 75 H). Abu Hurairah berkata kepada sekelompok orang yang telah bertanya kepadanya, padahal di antara mereka terdapat Abdurrahman bin Nafi bin Labibah: “Kalian bertanya kepadaku, padahal di tengah-tengah kalian ada Amr bin Aus?!”

KETELITIAN DAN KELAYAKAN ABU HURAIRAH BERFATWA

Ibnu Hazm menyebutkan ada tiga belas orang sahabat yang fatwa-fatwa mereka diriwayatkan. Dia menempatkan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu di urutan keempat. Sedangkan yang lainnya adalah Ummu Salamah, Anas, Al Khudri, Utsman, Abdullah bin Amru, Ibnu Az Zubair, Abu Musa, Sa’ad Salman, Jabir, Mu’adz dan Abu Bakar. Kemudian ia berkata, “Mereka hanya tiga belas orang saja, yang memungkinkan fatwa-fatwa dari mereka dikumpulkan dalam juz yang kecil.” Kemudian ia menambahkan tujuh orang lainnya. Sekalipun demikian, Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu sangat takut dan malu mengeluarkan fatwa. Karena termasuk sifat dan tabiat kaum mukminin adalah tatsabut (bersikap hati-hati) dalam berfatwa. Sehingga banyak para salaf yang enggan berfatwa dan tidak mau menjawab jika ada orang lain yang lebih layak untuk menjawabnya.

Imam Ad Darimi meriwayatkan dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berfatwa sebelum takin akan kebenarannya, maka dosanya bagi yang berfatwa.”

Rasa takut dan kekhawatiran Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dalam berfatwa, telah membuatnya selalu bertanya jika tidak mantap dalam berfatwa; (ini) berbeda dengan orang-orang yang mencelanya.

Al Bukhari telah meriwayatkan satu kisah dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia berkata ketika ditanya penduduk Bahrain tentang hukum memakan daging ikan yang telah mati terapung di laut. Ia menjawab: “Tidak mengapa”. Lalu iapun bertanya kepada Umar, dan Umar menjawab dengan jawaban yang sama.

ABU HURAIRAH SEORANG YANG DERMAWAN

Dari Ath Thahawi, ia berkata, “Aku singgah menjadi tamu di rumah Abu Hurairah di Madinah. Aku belum pernah melihat seorangpun dari sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih bersegera menyambut dan menghormati tamunya darinya.”

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari jalan Al Waqidi, bahwa Abu Hurairah menetap di Dzulhulaifah dan memiliki rumah di kota Madinah yang dishadaqahkan kepada para mantan budaknya.

Demikian juga Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu seorang penyantun anak yatim yang bernama Mu’awiyah bin Mut’ib Al Hudzali. Ia memelihara dan mengajarkan semua yang diketahuinya, sampai akhirnya menjadi salah satu tabi’in terkenal. Mu’awiyah ini memiliki banyak riwayat hadits dari Abu Hurairah dalam Musnad Imam Ahmad dan yang lainnya.

Perihal ini menunjukkan, bahwa Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berada di antara dua kondisi. Pertama. Dia memiliki harta dan menginfakkannya di jalan Allah, memerdekakan hamba, membantu yang membutuhkan, dan menyantuni anak yatim.

Kedua. Dia tidak mempunyai harta dan membutuhkannya, lalu bersabar dan merasa cukup dengan kemudahan yang diberikan Allah, atau menerima pemberian dnri baitul mal kaum Muslimin. Bila mendapatkannya, ia memberikan kepada orang lain ataupun ikut serta menikmatinya.

Kedua keadaan ini, baik yang pertama maupun yang kedua, tidak ada yang mempu menjalaninya, kecuali orang-orang yang ikhlas.

TARBIYAH ABU HURAIRAH KEPADA ANAKNYA

Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu mengajak dan membiasakan isteri serta anak-anaknya untuk zuhud, hidup sederhana dan beramal shalih. Dia mendidik puteranya Al Muharrar dengan pendidikan ilmiah, yang menjadikannya sebagai seorang perawi handal, yang kaum muslimin membutuhkan dan meriwayatkan hadits-hadits darinya yang belum didapatkan dari ayahnya (Abu Hurairah), seperti Imam Asy Sya’bi dan Az Zuhri.

Dia membiasakan pula puterinya hidup zuhud dan sederhana. Berikut petikan nasihatnya: “Wahai, anakku. Janganlah engkau mengenakan perhiasan emas. Sebab, ayahmu ini khawatir api yang menyala-nyala akan menimpamu Wahai, anakku. Dan janganlah engkau mengenakan sutera. Sebab, ayah ini mengkhawatirkanmu terbakar api neraka.”

PERNIKAHAN ABU HURAIRAH

Dia seorang yang hidup pada masa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak disibukkan dengan wanita. Namun, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dia menikahi Bishrah binti Ghazwan Al Maziniyah. Bishrah seorang sahabiyah saudara ‘Utibah bin Ghazwan Al Mazini seorang sahabat terkenal dan Gubernur Bashrah.

ANAK-ANAK ABU HURAIRAH

Para pakar sejarah menyebutkan, bahwa Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu memiliki empat orang anak laki-laki dan seorang perempuan. Yang paing terkenal dan paling tua adalah Al Muhamir. Imam Al Bukhari dan Ibnu Abi Hatim telah menulis sejarah singkatnya, begitu juga Ibnu hajar dan Ibnu Sa’ad. Ibnu Sa’ad bercerita: “Al Muhamir bin Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu meninggal di Madinah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dia meriwayatkan hadits dari ayahnya, namun termasuk orang yang sedikit meriwayatkan hadits.”

Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu juga mempunyai anak lainnya yang sering dipanggil dengan nama Muharriz. Al Bukhari dan Abul Faraj menyebutkan dalam kitabnya. Dia termasuk meriwayatkan hadits dari ayahnya. Sedangkan anak ketiganya adalah Abdurrahman bin Abu Hurairah. Imam Al Bukhari, Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Hibban mencantumkan biografinya (dalam kitab mereka). Anak ke empat bernama Bilal. Ibnu Abu Hatim dan yang selainnya menyebutkan hal ini. Bilal mempunyai anak yang bernama Muhamir bin Bilal.

Adapun saudara perempuan mereka namanya tidak dikenal. Akan tetapi, Ibnu Sa’ad menceritakan bahwa Sa’id Al Musayyib telah menikahinya.

ORANG-ORANG YANG TELAH DIMERDEKAKAN ABU HURAIRAH

Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu memiliki budak yang dimerdekakan ketika ia sampai di Khalibar pada awal hijrahnya. Dalam kisah ini terdapat dalil yang menunjukkan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bukanlah seorang faqir ketika hijrahnya. Namun, ia menjadi faqir pada masa-masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena memilih bermulazamah (tetap setiap bersama) di Shuffah daripada bekerja dan sibuk berdagang di pasar. Kemudian setelah itu ia memiliki mawali (budak-budak yang telah ia merdekakan). Ada sejumlah mawalinya yang terkenal, di antaranya ialah: Abu Maryam, Abu Yunus Sulaim atau Sulaiman bin Jabir atau Jubair, Ibrahim bin Muhammad, Abdurrahman bin Mihran dan Tsabit bin Musykil.

ABU HURAIRAH BERPISAH DENGAN KEHIDUPAN DUNIA

Sekarang, kita menceritakan akhir seorang guru yang telah berusia lanjut mendekati usia delapan puluhan, yang sesaat lagi akan menghadap Allah Ta’ala setelah menunaikan amanah yang ada di pundaknya dan menyebarkan hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengajarkan kepada manusia.

Ketika berada di atas tempat tidur menghadapi kematian, ia menangis. Maka ditanyakan kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis, wahai Abu Hurairah?” Dia menjawab, “Aku sesungguhnya tidak menangisi dunia kalian ini. Namun aku menangis karena jauhnya perjalanan, sedangkan perbekalanku sedikit. Aku sekarang berada dalam tangga yang curam, antara surga dan neraka. Aku tidak tahu berjalan ke arah mana dari keduanya.” Kemudian ia berwasiat, “Jika aku meninggal, janganlah kalian meratapiku, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meratapi kematian.”

Lalu Marwan masuk menjenguknya sebelum saat-saat kematian dan berkata, “Mudah-mudahan Allah memberimu kesembuhan, wahai Abu Hurairah,” akan tetapi Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu menghadap ke arah lain dan tidak menjawab apa yang dikatakan oleh Marwan. Dia menoleh untuk bermunajat kepada Allah dengan penuh keyakinan. Dia telah mengisi kehidupannya dengan berbagai macam amal kebaikan, yang menanti rahmat Allah, seraya berdoa: “Ya, Allah. Sesungguhnya aku sangat gembira bertemu dengan-Mu, maka bersenanglah untuk bertemu denganku.” Al Muqbiri berkata, “Belum sampai sahabat Marwan melangkahkan kakinya, Abu Hurairah pun telah meninggal dunia,” namun kenangan baik tentangnya akan tetap tersimpan di hati kaum mukminin hingga hari kiamat.

Terjadi perbedaan pendapat tentang tahun kematiannya. Ada yang menyatakan, wafatnya tahun 57 H dan ada yang menyatakan bahwa wafatnya pada tahun 58 H, serta ada yang menyatakan wafatnya tahun 59 H.

Dia meninggal di Al Aqiq, lembah yang berdampingan dengan Madinah dan dikuburkan di Baqi’ di Madinah, Al Walid bin Utbah bin Abi Sufyan menjadi imam dalam shalat jenazahnya. Saat itu ia menjabat sebagai gubernur wilayah Madinah pada masa pemerintahan Mu’awiyah.
Abu Sa’id Al Khudri radiyallahu ‘anhu dan Marwan bin Al Hakam berjalan di depan jenazah. Begitu juga Ibnu Umar ikut serta mengiringi jenazah Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berjalan di depan jenazah dengan memperbanyak mengucapkan “Rahimahullah” atas Abu Hurairah, radiyallahu ‘anhu, seraya berkata: “Dia termasuk penjaga hadtis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kaum muslimin.”

Kemudian Al Walid bin Utbah menulis surat kepada Mu’awiyah radiyallahu ‘anhu, mengabarkan kematian Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, Mu’awiyah pun membalasnya seraya berpesan: “Lihatlah, siapa saja yang ditinggalkan oleh Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dan serahkan kepada ahli warisnya 10.000 dirham serta perlakukanlah mereka dengan baik, dan berbuat baiklah kepada mereka; sebab, ia juga termasuk orang yang membela Khalifah Utsman dan berada di rumah Utsman.”

Mudah-mudahan Allah merahmati dan meridhainya. Hanya orang-orang dengki dan tidak tahu malu yang terus berusaha mendiskreditkan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu.

Sumber: Majalah As-Sunnah Ed 3 TahunVIII 1425 H/2004M

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28