1. Fatimah Bukan Az-zahro
Syaikh Ali al-Halabi mengatakan, “Di antara pujian ala Syi’ah yang menyusup di tengah-tengah Ahli Sunnah adalah menggelari Fatimah radhiyallahu ‘anhu dengan gelaran al-Batul atau gelaran az-Zahro. Sebatas yang kami ketahui, kami belum mengetahui dalil dan alasan syar’i untuk memberikan dua gelar tersebut kepada Fathimah radhiyallahu ‘anhu.”
2. Berkaos Kaki, Muslimah Sejati?
Syaikh al-Albani mengatakan, “Aku berpandangan bahwa seorang muslimah haruslah memakai long dress yang longgar dan panjang sehingga bisa menutupi punggung telapak kaki karena terdapat riwayat yang shohih dari salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan demikian. Jika yang tampak ketika sholat adalah bagian dalam telapak kaki seorang muslimah –ketika dia dalam posisi sujud- maka hukumnya tidak mengapa. Adapun punggung telapak kaki harus ditutupi.
Penanya, “Jika ada muslimah yang dengan sengaja menyingkap kedua telapak kakinya, apakah sholatnya batal?”
Syaikh al-Albani, “Apa pun alasannya, jika seorang muslimah dengan sengaja membuka telapak kakinya maka sholatnya tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allah tidak menerima sholat seorang wanita yang sudah baligh jika mengenakan kerudung’.”
Penanya, “Apakah kaos kaki itu sudah cukup untuk menutupi telapak kaki seorang muslimah?”
Syaikh al-Albani, “Tidak cukup karena kaos kaki. Hal itu tidak memenuhi kriteria pakaian muslimah yaitu tidak transparan dan tidak memberikan gambaran bentuk tubuh. Meski kaos kaki itu tidak transparan (sehingga tampaklah warna kulit kaki pemakainya), kaos kaki itu masih memberikan gambaran bentuk tubuh (baca: kaki).” (Kaset Silsilah al-Huda wan Nur no. 23 menit 04:45. Transkripnya bisa dibaca di sini: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.[h[?t=12398&page=2)
3. Amanah Berupa Wanita
Sufyan ats-Tsauri mengatakan, “Berilah aku amanah untuk menjaga satu rumah yang isinya penuh dengan uang. Namun, janganlah kau beri aku amanah untuk menjaga seorang gadis berkulit hitam kelam yang tidak halal bagiku.” (Dzammul Hawa karya Ibnul Jauzi hlm. 165)
Allahu Akbar, jika demikian yang dikatakan oleh Sufyan ats-Tsauri atas fitnah wanita padahal beliau adalah ulama besar di masa tabi’in-lantas bagaimanakah yang layak untuk kita katakan hari ini?
4. Terlalu Cantik Juga Repot
Penulis kitab Fathul Mu’in bi Syarh Qurroh al-Ain mengatakan, “(Ketika hendak -ed) Memperistri wanita yang cantik itu yang lebih baik mengingat hadits yang mengatakan bahwa sebaik-baik adalah yang menyenangkanmu jika engkau memandanginya.”
Perkataan di atas dijelaskan lebih lanjut oleh penulis Hasyiyah l’anah ath Tholibin sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan wanita cantik adalah cantik menurut versi masing-masing laki-laki meskipun wanita tersebut berkulit hitam. Ada juga yang menjelaskan bahwa tolok ukur wanita cantik dalam hal ini adalah wanita cantik menurut laki-laki yang tabiatnya masih normal (baca: selera standar, tidak muluk-muluk, tidak pula terlalu buruk).
Makruh hukumnya menikahi wanita yang terlalu cantik karena dua pertimbangan. Pertama, biasanya wanita yang telalu cantik itu memiliki sifat sombong karena kecantikannya. Kedua, terlalu banyak mata yang melirik kepadanya.” (Hasyiyah l’anah ath-Tholibin juz 3 hlm. 270, karya Sayyid Muhammad Syatho, cetakan al-Haramain)
5. Pengajian Ibu-Ibu Tanpa Hijab
Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi asy-Syafi’i mengatakan, “Dibolehkan melihat wanita dalam rangka mengajarkan ilmu yang wajib baginya sebagaimana penjelasan as-Subki dan lainnya. Hal ini dibolehkan dengan syarat tidak dijumpai mahrom wanita tersebut atau guru ngaji wanita yang bisa mengajari wanita tersebut. Alasannya adalah analogi dengan masalah dokter mengobati wanita. Syarat yang lain adalah manakala kerepotan jika mengajar di balik tabir. Tidak boleh memandang wanita dalam rangka mengajarkan ilmu yang dianjurkan untuk wanita tersebut.” (Syarh Uqud al-Lijain fi Bayan Huquq az-Zaujain hlm. 3, terbitan Syarikah an-Nur Asia)
Jadi, menurut beliau seorang ustadz laki-laki boleh menjadi narasumber pengajian ibu-ibu yang tidak ada hijab antara ustadz dengan murid-muridnya dengan beberapa syarat:
- Pertama, ilmu yang diajarkan adalah ilmu yang wajib, bukan ilmu yang hukumnya sunnah untuk dipelajari bagi si wanita.
- Kedua, tidak dijumpai ustadzah (pengajar wanita) yang bisa mengajarkan ilmu tersebut.
- Ketiga, materi yang disampaikan sangat sulit dipahami jika disampaikan dari balik tabir.
6. Melahirkan di Rumah Sakit
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengatakan, “Pada dasarnya membawa wanita hamil ke rumah sakit bersalin untuk melahirkan di sana itu tidak boleh kita katakan boleh secara mutlak. Harus ada rincian jelas yang membatasi ruang lingkup perbolehan dalam hal ini.
Pertama, jika dukun bayi atau dokter perempuan yang memantau kehamilah perempuan itu dengan pengetahuan yang dia miliki memprediksi bahwa ibu halim tersebut proses kelahirannya tidak alami, perlu operasi sesar maka dalam kondisi ini ibu dibawa ke rumah sakit.
Kedua, namun jika diperkirakan proses kelahiran itu normal-normal saja tidak boleh bagi muslimah tersebut untuk meninggalkan rumah huniannya untuk dibawa ke rumah sakit persalinan sekadar untuk melahirkan dengan proses yang normal.
Jika seorang muslimah terpaksa dibawa ke rumah sakit dalam kondisi telah kami sebutkan (melahirkan normal), saat di rumah sakit proses persalinannya tidak boleh ditangani oleh dokter laki-laki namun harus ditangani hanya oleh dokter perempuan. Jika tidak ada dokter wanita maka pada saat itu tidaklah mengapa bahkan wajib jika proses persalinannya dalam kondisi yang membahayakan untuk ditangani dokter laki-laki dengan syarat tidak ada dokter wanita.”
Oleh: Ust Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 1 Tahun Ke-11 1432 (dipublikasi dengan penyesuaian)