Berikut ini adalah beberapa adab yang selayaknya diperhatikan ketika buang hajat
Pertama: Menutup diri dan menjauh dari manusia
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَأْتِى الْبَرَازَ حَتَّى يَتَغَيَّبَ فَلاَ يُرَى
“Kami pernah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau tidak menunaikan hajatnya sampai beliau pergi terlebih dahulu ke tempat yang jauh sehingga tidak terlihat.”
(HR. Ibnu Majah 335 dan dinilai sahih oleh al-Albani)
Kedua: Tidak membawa sesuatu yang bertuliskan nama Allah
Bagian dari mengagungkan nama Allah adalah tidak menempatkan nama Allah di tempat yang tidak selayaknya. Seperti kamar mandi atau toilet. Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Qs. Al Hajj: 32)
Terdapat sebuah riwayat dari Anas bin Malik, bahwa beliau mengatakan:
كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ وَضَعَ خَاتَمَهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki kamar mandi, beliau meletakkan cincinnya.”-
Hanya saja, hadits ini adalah hadits munkar yang diingkari oleh banyak peneliti hadits. Diantaranya Abu Daud dan Syaikh al-Albani.
Ketiga: Membaca basmalah dan meminta perlindungan pada Allah sebelum masuk tempat buang hajat
Do`a ini diucapkan jika seseorang memasuki tempat buang hajat yang berupa bangunan. Sedangkan ketika berada di tanah lapang, maka ia mengucapkannya di saat melepas pakaiannya.
Dalilnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِى آدَمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمُ الْخَلاَءَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ
“Penghalang antara pandangan jin dan aurat manusia adalah jika salah seorang di antara mereka memasuki tempat buang hajat, lalu ia ucapkan “Bismillah.”
Sedangkan do`a memohon perlindungan kepada Allah, adalah sebagai berikut: dari Anas bin Malik, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki jamban, beliau ucapkan:
« اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبثِ وَالْخَبَائِثِ »
(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan-).”
(Muttafaq `alaihi)
An Nawawi rahimahullah mengatakan: “Para ulama sepakat bahwa do`a ini dianjurkan untuk dibaca (ketika hendak buang air) baik di dalam ruangan (toilet) maupun di luar ruangan. (an-Nawawi, al-Majmu` Syarh Muhadzab, Mauqi` Ya`sub, 2/75)
Catatan: Kata: “الخُبثِ” ada dua cara membacanya:
Pertama, dibaca: al-khubutsi, dengan men-dhommah huruf ba`. Jika dibaca dengan huruf ba` di-dhommah maka kata ini merupakan bentuk jamak dari kata al-khobits, yang artinya setan laki-laki. Sementara al-khabaits merupakan bentuk jamak dari al-khobitsah yang artinya setan perempuan. Sehingga doa “Allahumma inni a`udzu bika min al-khubutsi wa al-khabaits” artinya Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan.
Kedua, dibaca: al-khubts, dengan men-sukun huruf ba`. Jika dibaca dengan ba` disukun maka ada beberapa arti: keburukan, kekafiran, atau setan. Sementara al-khabaits artinya maksiat. Sehingga pasangan “Allahumma inni a`udzu bika min al-khubutsi wa al-khabaits” artinya Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari segala keburukan, setan, kekafiran, dan segala bentuk kemaksiatan.
Karena itu, sebagian ulama menganjurkan untuk membaca do`a ini dengan mensukun huruf ba`. Karena makna do`anya lebih luas.
(an-Nawawi, al-Majmu` Syarh Muhadzab, Mauqi` Ya`sub, 2/74 – 75)
Keempat: Masuk ke tempat buang hajat dengan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan yang kanan dalam perkara yang baik-baik seperti masuk masjid, berwudhu, mandi, memakai sandal, menyisir, atau yang lainnya. Sebaliknya, dalam hal yang buruk, beliau mendahulukan yang kiri. Seperti keluar masjid, melepas sandal atau pakaian, masuk toilet, dan yang lainnya. A`isyah radhiallahu ‘anha mengatakan:
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, ketika bersuci dan dalam semua kegiatannya (yang baik-baik).” (HR. Bukhari 166)
As-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Mendahulukan yang kanan hukumnya dianjurkan dalam segala kegiatan, tanpa pengecualian. Sebagaimana yang ditunjukkan pada pernyataan dalam hadis: “dalam semua kegiatannya”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan untuk hal-hal yang baik-baik. Hanya saja dikecualikan: masuk toilet dan keluar masjid.” (As-Syaukani, Nailul Authar, Iadarah Tiba`ah al-Muniriyah, 1/212)
An-Nawawi mengatakan, “Kaidah yang berlaku dalam syariat adalah dianjurkannya mendahulukan yang kanan dalam segala hal yang termasuk kegiatan yang baik dan berdandan. Sedangkan sebaliknya, dianjurkan untuk mendahulukan yang kiri.” (Nailul Authar, Iadarah Tiba`ah al-Muniriyah, 1/212)
Kelima: Tidak menghadap kiblat atau pun membelakanginya.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا » . قَالَ أَبُو أَيُّوبَ فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ الْقِبْلَةِ ، فَنَنْحَرِفُ وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى
“Jika kalian buang air, janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat.”
Abu Ayyub mengatakan, “Dulu kami pernah tinggal di Syam. Kami jumpai jamban-jamban dibangun menghadap ke arah kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon ampun pada Allah Ta’ala.” (Muttafaq `alaihi)
Beliau memerintahkan agar orang yang buang air menghadap ke timur atau ke barat, dikarenakan kiblat kota Madinah berada di arah selatan. Karena kota Mekah berada di sebelah selatan kota Madinah.
Akan tetapi, disebutkan dalam riwayat lain, Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma yang mengatakan,
ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِى ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقْضِى حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ
“Aku pernah menaiki rumah Hafshoh, karena ada sebagian keperluanku. Lantas aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang hajat dengan membelakangi kiblat dan menghadap Syam.”
(HR. Bukhari 147)
Bagaimana jika buang air di dalam ruangan?
Ulama sepakat bahwa buang hajat dengan menghadap dan membelakangi kiblat di tempat terbuka tanpa penutup hukumnya haram. Sementara mereka berbeda pendapat tentang buang hajat di dalam ruangan atau di tempat terbuka namun diberi penghalang.
Pertama, larangan buang hajat dengan menghadap atau membelakangi kiblat ini berlaku umum, baik di dalam maupun di luar ruangan. Ini adalah pendapat sahabat Abu Ayyub Al Anshori, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan As-Syaukani.
Kedua, dilarang buang hajat dengan menghadap kiblat, sedangkan membelakangi kiblat hukumnya makruh. Baik di tempat tertutup maupun tempat terbuka. Karena kiblat adalah arah yang paling mulia, sehingga harus dihormati. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah.
Ketiga, dibolehkan buang hajat dengan menghadap atau membelakangi kiblat di tempat tertutup. Ini adalah pendapat madzhab Malikiyah, Syafi`iyah, dan Hambali. Hanya saja, syafi`iyah menambahkan bahwa hendaknya seseorang meninggalkan hal ini, sebagai bentuk adab sopan santun, hanya saja itu tidak haram.
(Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementrian Wakaf dan Urusan Islam, Kuwait, 1427 H, 16/208)
Keenam: Larangan berbicara ketika di dalam toilet atau kamar mandi
Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata:
أَنَّ رَجُلاً مَرَّ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَبُولُ فَسَلَّمَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ
“Ada seseorang yang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang kencing. Ketika itu, orang tersebut mengucapkan salam, namun beliau tidak membalasnya.” (HR. Muslim 370)
Syaikh Abdullah Ali Basam mengatakan, “Diharamkan berbicara dengan orang lain ketika buang hajat karena perbuatan semacam ini adalah suatu yang hina, menunjukkan kurangnya rasa malu dan merendahkan murua’ah (harga diri).” Kemudian beliau berdalil dengan hadits di atas.
Ketujuh: Tidak buang hajat di jalan atau di tempat yang sering dikunjungi manusia
Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ ». قَالُوا وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الَّذِى يَتَخَلَّى فِى طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِى ظِلِّهِمْ »
“Hati-hatilah dengan al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia)!” Para sahabat bertanya, “Siapa itu al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia), wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia.” (HR. Muslim 269 & Ahmad 8840)
Kedelapan: Tidak buang hajat di air yang tergenang.
Dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِى الْمَاءِ الرَّاكِدِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di air tergenang.” (HR. Muslim 281)
Salah seorang ulama besar Syafi’iyah, Ar Rofi’i mengatakan, “Larangan di sini berlaku untuk air tergenang yang sedikit maupun banyak karena sama-sama dapat mencemari.” (Ar-Rafi`i, Syarh al-Wajiz, Mauqi` Ya`sub, 1/464)
Kesembilan: Adab ketika membersihkan sisa kotoran setelah buang hajat (istinja`), di antaranya sebagai berikut.
1. Tidak menyentuh kemaluan dengan tangan kanan.
Dalilnya: dari Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فِى الإِنَاءِ ، وَإِذَا أَتَى الْخَلاَءَ فَلاَ يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ ، وَلاَ يَتَمَسَّحْ بِيَمِينِهِ
“Jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah ia bernafas di dalam bejana.
Jika ia buang hajat, janganlah ia memegang kemaluan dengan tangan kanannya.
Janganlah pula ia beristinja’ dengan tangan kanannya.” (Muttafaq `alaihi)
2. Beristinja’ diutamakan menggunakan air
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
كَانَ رَسول الله يَدْخُلُ الخلاء، فَأحْمِلُ أنَا وَغُلام نَحوِى إدَاوَةً مِنْ ماء وَعَنَزَةَ فَيَسْتَنْجِي بِاْلمَاء
“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang hajat, kemudian saya dan seorang anak sebaya saya membawakan seember air dan tongkat pendek. Ternyata beliau beristinja` dengan air”.
(Muttafaq `alaihi)
3. Jika hendak membersihkan kotoran dengan menggunakan tiga batu maka minimal tiga kali usapan
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا اسْتَجْمَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَجْمِرْ ثَلاَثاً
“Jika kalian ingin beristijmar (istinja’ dengan batu), maka gunakanlah tiga batu.”
(HR. Ahmad 15331 dan dinilai sahih oleh Syau`aib al-Arnauth)
Dibolehkan lebih dari tiga batu, dan dianjurkan jumlahnya ganjil. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا اسْتَجمَرَ أَحَدُكُم فَليَستَجمِر وِترًا
“Jika kalian ingin beristijmar (istinja’ dengan batu), maka hendaknya dengan bilangan ganjil”
(HR. Muslim 237)
Catatan:
Dibolehkan beristijmar dengan batu meskipun ada air. An-Nawawi mengatakan, “Pendapat yang dipegangi para ulama terdahulu dan sekarang dan disepakati para ulama senior di zaman ini, bahwa yang utama adalah menggabungkan istinja dengan menggunakan batu dan air. Digunakan batu terlebih dahulu, untuk menghilangkan najis yang menempel, sehingga tidak banyak yang terkena tangan ketika dibersihkan, kemudian menggunakan air. Jika ingin beristinja dengan salah satu saja maka dibolehkan memilih salah satunya, baik ada alat bersuci yang lain maupun tidak. Namun jika ingin menggunakan salah satu alat bersuci, lebih diutamakan menggunakan air dari pada batu.” (Taisir Allam Syarh Umdah al-Ahkam, Abdullah Ali Bassam, 1/23)
4. Memerciki kemaluan dan celana dengan air setelah kencing untuk menghilangkan was-was.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً وَنَضَحَ فَرْجَهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan sekali– sekali basuhan, kemudian beliau memerciki kemaluannya.” (HR. Ad-Darimi 711 dan dinilai sahih oleh Husain Salim Asad)
Catatan:
Jika tidak mendapatkan batu untuk istinja’, maka bisa digantikan dengan benda lainnya, asalkan memenuhi tiga syarat:
(1) Benda tersebut suci, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau beristijmar dengan kotoran keledai kering yang najis
(2) Bisa menyerap dan menghilangkan najis, seperti tissu dan semacamnya
(3) Bukan barang berharga seperti uang atau makanan
Kesepuluh: Keluar dengan menggunakan kaki kiri
Kesebelas: Mengucapkan do’a “ghufronaka” setelah keluar kamar mandi.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa setelah beliau keluar kamar mandi beliau ucapkan:
« غُفْرَانَكَ ».
Ya Allah, aku memohon ampun pada-Mu. (HR. Abu Daud 30, Turmudzi 7 dan dinilai sahih oleh al-Albani)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan:
“Keterkaitan seseorang dianjurkan mengucapkan “ghufronaka” ketika keluar dari kamar kecil, adalah karena seseorang ketika dimudahkan untuk menghilangkan kotoran pada dirinya maka dia akan teringat dengan kotoran dosanya. Kemudian dia berdoa kepada Allah agar diringankan kotoran dosanya, sebagaimana Allah telah meringankan kotoran dari badannya. Kaitan hal ini, termasuk mengingatkan sesuatu dengan kejadian yang dialami. (Ibnu al-Ustaimin, Majmu` wa Rasail, Dar al-Wathan, 1413 H, 11/107)
Referensi ADAB BUANG HAJAT:
- An-Nawawi, al-Majmu` Syarh Muhadzab, Mauqi` Ya`sub, 2/74 – 75.
- Nailul Authar, Iadarah Tiba`ah al-Muniriyah, 1/212.
- Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Kuwait, 1427 H, 16/208.
- Ar-Rafi`i, Syarh al-Wajiz, Mauqi` Ya`sub, 1/464.
- (Ibnu al-Ustaimin, Majmu` wa Rasail, Dar al-Wathan, 1413 H, 11/107.
- (Taisir Alam Syarh Umdah al-Ahkam, Abdullah Ali Bassam, 1/23.
Artikel www.Yufidia.com