Pengertian Aib
Secara bahasa, aib artinya cacat dan kekurangan. Bentuk jamaknya: uyub. Sesuatu yang memiliki aib, dalam bahasa arab, disebut ma`ib. (al-Fairuz Abadzi, al-Qomus al-Muhith, kata: العيب).
Sebagian ulama mazhab Hanafi menjelaskan aib dengan pengertian:
مَا يَخْلُو عَنْهُ أَصْل الْفِطْرَةِ السَّلِيمَةِ مِمَّا يُعَدُّ بِهِ نَاقِصًا
Suatu bagian yang tidak ada dari asal penciptaanya dan hal itu dianggap sebagai
bentuk kekurangan. (Al-Hasfaki, ad-Dur al-Mukhtar, Dar al-Fikr, Beirut)
Sebagai contoh, seekor kambing memiliki organ tubuh lengkap. Kemudian kakinya pincang disebabkan kecelakaan. Pincangnya kambing ini dianggap sebagai aib karena ini merupakan bagian yang kurang dilihat dari kondisi awalnya. Berbeda dengan kambing yang sejak dilahirkan tidak punya telinga. Tidak ada telinga pada kambing ini bukan termasuk aib, karena sejak awal tidak memiliki telinga. (lihat Hasyiyah Ibnu Abidin, Dar al-Fikr, Beirut, 1415 H, jilid 5, hlm. 117)
Sedangkan pengertian `aib secara istilah batasannya berbeda-beda, tergantung dari objek yang mengalami cacat. Karena itu, tidak bisa dipastikan dengan difinisi tertentu. Imam an-Nawawi mengatakan, “Batasan aib berbeda-beda. Aib yang diakui dalam barang dagangan, yang menyebabkan pembeli dibolehkan untuk khiyar (memilih melanjutkan beli atau dikembalikan adalah setiap cacat yang mengurangi harta atau mengurangi keinginan seseorang untuk memilikinya atau cacat pada barang dagangan tersebut …. Aib dalam kurban dan aqiqah adalah segala cacat yang mengurangi kadar dagingnya. Aib dalam pernikahan adalah segala cacat yang menyebabkan seseorang enggan untuk melakukan hubungan badan dan hilangnya keranjingan untuk mendekati ….” (An-Nawawi, Tahdzib al-Asma wa al-Lughah, tahqiq: Musthafa Abdul Kadir Atha’, Syamilah, 4/96)
Macam-macam Aib
Pertama, macam-macam ditinjau dari sifatnya
Ditinjau dari jelas dan tidaknya, aib dibagi menjadi dua:
1. Aib yang dzahir, adalah aib yang bisa diketahui ketika objek diperhatikan. Misalnya, cacat pada kondisi fisik barang dagangan, dan seterusnya.
2. Aib tersembunyi, merupakan kebalikan dari aib dzahir. Aib ini tidak kelihatan ketika objek diperhatikan. Seperti aib yang tersimpan di dalam objek dan benda tertentu.
Kedua, macam-macam aib ditinjau dari objeknya
Ada beberapa rincian hukum aib terkait dengan objeknya. Imam an-Nawawi menyebutkan bahwa aib ada enam macam. Sementara al-Qolyubi menyatakan bahwa aib ada delapan macam. Berikut beberapa jenis aib ditinjau dari objeknya:
Pertama, Aib dalam barang dagangan
Ulama berselisih pendapat tentang batasan aib dalam barang dagangan (Hasyiyah Ibnu Abidin, Dar al-Fikr, Beirut, 1415 H, jilid 5, hlm. 117):
a. Hanafiyah dan Hanabilah
Menurut dua mazhab ini, aib barang dagangan diakui jika aib tersebut menyebabkan kurangnya harga menurut umumnya pedagang.
b. Syafi`iyah
Aib yang diakui adalah aib yang umumnya tidak ada, yang mengurangi barang dagangan atau harganya, sampai pada tingkatan kekurangan yang menghilangkan tujuan yang benar (dalam berdagang). Baik sudah ada ketika akad atau baru muncul setelah akad namun belum ada serah terima barang.
c. Malikiyah
Aib yang diakui adalah adanya kekurangan dalam barang dagangan atau harganya, padahal umumnya tidak ada. (Ahmad ad-Dardir al-Maliki, as-Syarh as-Shaghir, 3/152. Dinukil dari al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf danUrusan Islam Kuwait, 31/83)
Kesimpulan pendapat terkuat dalam hal ini, bahwa batasan aib pada benda dikembalikan kepada urf (pemahaman) masyarakat. Selama masyarakat menganggap hal itu sebagai aib maka dianggap sebagai aib yang wajib untuk diterima.
Kedua, Aib dalam transaksi
Yang dimaksud aib dalam transaksi adalah aib dalam tata cara transaksi atau aib yang terdapat pada alat yang digunakan untuk transaksi. Misalnya, cacat yang terdapat dalam uang yang digunakan untuk bertransaksi.
Ketiga, Aib dalam pembagian.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika salah satu diantara peserta pembagian mendapatkan adanya cacat dalam jatah bagiannya maka dia berhak mengembalikannya, sebagaimana dalam jual beli.
Keempat, Aib dalam binatang qurban dan aqiqah
Cacat hewan yang menyebabkan tidak sah untuk dijadikan hewan qurban ada empat: buta sebelah matanya dan jelas butanya, sakit dan jelas sakitnya, pincang dan jelas pincangnya, dan sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.
Ini berdasarkan hadis dari Al Barra’ bin Azib radliallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sambil berisyarat dengan tangannya demikian (empat jari terbuka): “Ada empat cacat yang tidak boleh dalam hewan qurban: buta sebelah matanya dan jelas butanya, sakit dan jelas sakitnya, pincang dan jelas pincangnya, dan sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.” Al Barra’ mengatakan: Apapun ciri binatang yang tidak kamu sukai maka tinggalkanlah dan jangan haramkan untuk orang lain. (HR. An Nasa’i, Abu Daud dan dishahihkan Al Albani)
Kelima, Aib dalam pernikahan
Empat imam mazhab sepakat bahwa diperbolehkan memisahkan antara suami-istri disebabkan adanya aib pada salah satu atau keduanya. Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang rincian dan batasan aib yang menyebabkan bolehnya suami istri dipisahkan. Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Abbas bahwasanya wanita tidak boleh dikembalikan ke walinya kecuali disebabkan empat aib: gila, lepra, kusta, dan cacat di farjinya… sebagian syafi`iyah berpendapat bahwa wanita boleh dipulangkan disebabkan karena aib yang menyebabkan seseorang boleh mengembalikan budak wanita yang dia beli. Ibnul Qoyyim menguatkan pendapat ini dan beliau berdalil dengan qiyas terhadap jual beli, sebagaimana keterangan dalam zadul ma`ad. (as-Syaukani, Nail al-Authar, Idarah at-Tiba`ah al-Muniriyah, jilid 6, hlm. 211)
Keenam, Aib dalam transaksi ijarah
Ijarah merupakan bentuk transaksi menyewa barang atau memperkerjakan orang lain selama waktu tertentu dengan upah tertentu. Cacat yang diakui dalam transaksi ijarah adalah semua cacat yang menyebabkan orang yang menyewa tidak mendapatkan manfaat dari barang yang disewa atau orang yang dia perkerjakan. Penyewa yang mendapatkan kondisi cacat semacam ini dibolehkan untuk membatalkan transaksi dan mendapatkan uangnya kembali.
Ketujuh, Aib dalam hewan zakat
Ulama berselisih pendapat tentang hewan zakat yang sudah mencapai nishab namun mengalami cacat sebagian atau semua hewannya. Apakah hewan ini boleh diambil zakatnya ataukah tidak. Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi`iyah, dan pendapat yang kuat dalam mazhab Hambali berpendapat bahwa hewan zakat yang telah mencapai nishab, apabila semuanya mengalami aib maka kewajiban zakatnya tetap diambil, meskipun hewannya cacat. Hanya saja dengan memperhatikan kondisi pertengahan. Artinya, diambil yang cacatnya tidak terlalu parah dan tidak juga yang paling bagus. Sementara pemilik hewan, tidak dibebani untuk membeli hewan sehat sebagai pengganti hewannya yang sakit. (Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 31/112)
Dampak Adanya Aib dalam Transaksi
Para ulama sepakat bahwa jika ditemukan aib dalam suatu transaksi dengan kadar aib yang diakui secara syariat dan urf maka pihak yang merasa dirugikan dibolehkan untuk membatalkan transaksi, dengan ketentuan tertentu. (Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf danUrusan Islam Kuwait, 31/87). Untuk mengetahui kadar aibnya, dikembalikan kepada ahli untuk masing-masing kasus. Dalilnya adalah firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِل إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu ….” (QS. An-Nisa: 29)
Sebagaian ulama memberikan ketentuan terkait aib yang ada dalam transaksi. Untuk memudahkan, diambil contoh transaksi jual-beli.
a. Jika pembeli telah mengetahui adanya aib pada barang dagangan dan dia rela untuk tetap membeli barang tersebut maka transaksi sah dan dia tidak memiliki hak untuk mengembalikan barang.
b. Jika pembeli tidak mengetahui adanya aib ketika transaksi dan baru diketahui setelah transaksi maka akadnya sah namun tidak lazim. Artinya pembeli memiliki hak pilih untuk mengembalikan barang dan dia mendapatkan uangnya kembali atau dia tetap membeli barang tersebut dan meminta ganti rugi untuk menutupi cacat barangnya. Akan tetapi jika dia ridha dengan adanya aib tersebut maka transaksi sah dan penjual berhak mendapatkan uang yang dibayarkan. (Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Dar at-Tsaqafah al-Islamiyah, jilid 3, hal 117)
Rujukan:
- Al-Qamus al-Muhith, al-Fairuz Abadzi, as-Syamilah
- Ad-Dur al-Mukhtar, al-Hasfaki, Dar al-Fikr, Beirut
- Fiqh Sunnah, Sayid Sabiq, Dar at-Tsaqafah al-Islamiyah
- Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf danUrusan Islam Kuwait
- Nail al-Authar, as-Syaukani, Idarah at-Tiba`ah al-Muniriyah
- Rad al-Muhtar (Hasyiyah Ibnu Abidin), Muhammad Amin Ibnu Abidin, Dar al-Fikr, Beirut, 1415 H
- Tahdzib al-Asma wa al-Lughah, an-Nawawi, tahqiq: Musthafa Abdul Kadir Atha’, Syamilah
Artikel www.Yufidia.com
Mukhli Zardy
Bagus banget artikel nya
Makasih 😀