Belajar Ilmu Waris (Fiqh Fara’idh) bag. 1
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:
Waris-mewarisi hukumnya wajib berdasarkan Alquran dan sunah. Dalam Alquran, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An Nisaa’: 7)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
“Hubungkanlah fara’idh (bagian warisan) kepada orang yang berhak. Selebihnya kepada laki-laki yang terdekat.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap yang memiliki hak. Oleh karena itu, tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Syaikh al-Albani berkata, “Hasan shahih,” dalam Shahih Abi Dawud (2870) -Maktabah Syamilah)
I. Ta’rif (definisi) Ilmu Fara’idh
Fara’idh adalah bentuk jamak dari kata fariidhah, yang artinya fardh (ketentuan). Fardh secara syara’ artinya bagian yang ditentukan secara syara’ untuk mustahik (orang yang berhak menerimanya).
Dengan demikian, ilmu Fara’idh adalah ilmu tentang harta warisan, hukum-hukum yang berkenaan dengannya dan mengetahui perhitungan yang dapat mencapai kepada pembagiannya sesuai syariat.
II. Tarikah (Harta warisan)
Tarikah mencakup harta yang berupa uang, benda atau barang maupun hak-hak yang dimiliki si mati.
Harta warisan terbagi dua:
– Harta warisan yang dapat dibagi. Misalnya uang, tanah yang harga dan isinya sama, dsb.
– Harta yang tidak bisa dibagi sama rata. Misalnya bangunan, tanah yang berbeda isinya, barang perkakas, kendaraan, dan lainnya.
Harta yang dapat dibagi, bisa langsung diberikan berdasarkan bagiannya masing-masing. Akan tetapi, harta yang tidak bisa dibagi, harus diuangkan terlebih dahulu. Kalau tidak, maka hanya akan diperoleh angka bagian di atas kertas dalam bentuk nisbah (persentase). Artinya masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya, memiliki saham atas harta tersebut.
Ada empat hal yang perlu diambil dari tarikah:
- Biaya mengurus jenazahnya, seperti biaya kafan, hanuth (benda pengawet mayit), biaya memandikan, menguburkan, dsb.
- Melunasi utang. Tentunya utang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala harus didahulukan (seperti zakat, zakat fitri, kaffarat dan nadzar), kemudian utang kepada manusia.
- Menunaikan wasiat dengan syarat tidak melebihi 1/3.
- Waris-mewarisi, yakni berpindahnya harta si mati kepada orang yang hidup sepeninggalnya sesuai pembagian yang diterangkan dalam Alquran dan sunah.
Catatan: Terkadang ada hak orang lain pada harta si mati yang berupa ‘aini (barang atau benda), seperti hak pembeli untuk menerima barang yang dibelinya dan hak penggadai pada barang gadainya yang ada di tangan si mati. Hak-hak ini harus didahulukan sebelum pengurusan jenazah karena terkait dengan benda itu sebelum menjadi harta warisan (tarikah).
III. Sebab Saling Waris-mewarisi
Sebab saling mewarisi ada tiga:
- Nasab (kerabat/keluarga). Misalnya ahli waris adalah ushul (kerabat pihak atas si mati, seperti bapak, kakek, dst. ke atas), atau furu’ (kerabat pihak bawah si mati seperti anaknya, cucunya, dst. ke bawah) dan hawasyinya (kerabat garis menyimpang, seperti saudara dan anak-anaknya dst. ke bawah, paman dan anak-anaknya dst. ke bawah). Lihat dalilnya di surah An Nisaa’: 33.
- Menikah. Maksudnya ‘akad yang sah terhadap istri meskipun belum digauli atau belum berduaan dengannya (lihat dalilnya di surah An NIsaa’: 12). Demikian pula terjadi saling waris-mewarisi dalam thalaq raj’i, dan dalam talak ba’in ketika suami mentalaknya pada saat ia sakit yang membawa kepada kematiannya.
- Hubungan walaa’ (karena pemerdekaan budak). Misalnya seseorang memerdekakan seorang budak laki-laki atau wanita, sehingga ia mempunyai hubungan dengannya. Oleh karena itu, jika orang yang dimerdekakan itu meninggal dan tidak meninggalkan ahli waris, maka yang memerdekakan dapat mewarisinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Al Walaa’ liman a’taqa” (Wala’ itu untuk orang yang memerdekakan).” (HR. Bukhari, Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Namun orang yang dimerdekakan tidaklah mewarisi harta orang yang memerdekakan berdasarkan ijma’.
IV. Penghalang Waris-mewarisi
Terkadang ada sebab waris-mewarisi, namun ada penghalang yang menghalanginya, sehingga ia tidak mendapatkan harta warisan. Penghalang itu adalah:
1. Kafir. Oleh karena itu, kerabat yang muslim tidak mewarisi kerabat yang kafir, demikian pula sebaliknya, kerabat yang kafir tidak mewarisi kerabat yang muslim. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad, Daruquthni dan Hakim)
2. Pembunuhan. Oleh karena itu, orang yang membunuh tidaklah mewarisi orang yang dibunuhnya sebagai hukuman terhadap kejahatannya jika pembunuhan yang dilakukan atas dasar kesengajaan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمِيْرَاثِ شَيْئٌ
“Pembunuh tidaklah mendapatkan apa-apa dari harta warisan.” (HR. Daruquthni (4102), Baihaqi (6/220) dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa’ul Ghalil no. 1671).
3. Perbudakan. Oleh karena itu, seorang budak tidak mewarisi harta kerabatnya, karena harta itu akan menjadi milik tuannya. Ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi, baik sebagai budak sempurna atau kurang (seperti separuhnya budak[1], budak mukatab (yang hendak memerdekakan dirinya dengan membayar biaya tertentu kepada tuannya) serta ummul walad (budak wanita yang melahirkan anak bagi tuannya)), semua ini masih berlaku hukum budak.
4. Zina. Anak zina tidaklah mewarisi harta bapaknya dan bapaknya juga tidak mewarisi hartanya, tetapi yang mewarisinya adalah ibunya dan ahli waris yang lain selain bapaknya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Al Walad lil firaasy walil ‘aahir al hajar.” (artinya: Anak itu untuk kasur (ibunya), dan bagi pezina adalah batu).
5. Li’aan. Anak dari suami-istri yang saling me-li’an tidaklah mewarisi bapaknya yang bapaknya menolak anak itu sebagai anaknya, demikian pula bapak itu tidaklah mewarisi anak ini karena diqiaskan dengan anak zina.
6. Tidak menangis sewaktu lahir si anak. Oleh karena itu, jika seorang anak yang dilahirkan ibunya dalam keadaan mati, ia tidak menangis ketika lahirnya, maka ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi karena tidak adanya kehidupan yang dilanjutkan oleh kematian setelahnya sehingga terjadi saling waris-mewarisi.
V. Syarat Waris-mewarisi
Syarat sahnya waris-mewarisi adalah sebagai berikut:
- Tidak adanya penghalang yang telah disebutkan.
- Matinya orang yang akan diwarisi meskipun secara hukmi (dihukumi mati). Misalnya hakim memutuskan matinya orang yang hilang.
- Ahli waris hidup pada hari matinya muwarrits (orang yang akan diwarisi hartanya).
Oleh karena itu, jika seorang wanita yang salah salah seorang anaknya ada yang meninggal, sedangkan si wanita ini memiliki janin di perutnya, maka janin ini berhak mendapat warisan dari saudaranya jika ketika lahir berteriak, karena hidupnya terwujud ketika saudaranya meninggal. Tetapi jika wanita ini hamil setelah wafat saudaranya, maka janin ini tidak memiliki hak waris dari saudaranya yang meninggal itu karena dia belum tercipta sebelumnya.
VI. Laki-laki dan Wanita yang Menjadi Ahli Waris
A. Laki-laki yang menjadi ahli waris ada tiga golongan:
- Suami. Suami mewarisi istrinya yang wafat, meskipun istrinya ditalak apabila belum habis masa ‘iddahnya. Tetapi apabila sudah habis masa ‘iddahnya, maka suami tidak mewarisinya.
- Orang yang memerdekakan, atau ‘ashabahnya yang laki-laki ketika tidak ada orang yang memerdekakan.
- Kerabat. Mereka ini terdiri dari ushul, furu’ dan hawasyi.
Ushul (keluarga pihak atas/leluhur) yaitu bapak, kakek, dst. ke atas. Furu’ (keluarga pihak ke bawah/turunan) yaitu anak, cucu, dst. ke bawah. Hawasyi (keluarga garis menyimpang), yaitu saudara dan anak-anaknya, saudara seibu, paman dan anak-anaknya baik paman tersebut sekandung maupun sebapak.
Mereka yang menjadi ahli waris ini tidak mungkin mewarisi bersama-sama harta peninggalan si mati, karena sebagian mereka memahjub (baca: menghalangi) yang lain. Misalnya bapak menghalangi kakek dan saudara seibu, anak menghalangi saudara, dan saudara menghalangi paman, dst. Oleh karena itu, jika mereka semua berkumpul, maka yang mewarisi dari kalangan laki-laki hanyalah tiga orang saja; suami, anak dan bapak.
B. Wanita yang menjadi ahli waris ada tiga golongan:
- Istri,
- Wanita yang memrdekakan,
- Kerabat. Mereka ini terdiri dari ushul, furu’ dan hawasyi.
Ushul (kerabat ke atas dari pihak wanita) di sini yaitu ibu dan nenek, baik bagi ibu maupun bagi bapak.
Furu’ yaitu puteri, cucu perempuan dari anak laki-laki, dst. ke bawah.
Hawasyi yaitu saudari secara mutlak (sekandung, seayah dan seibu).
Catatan:
Bibi dari pihak bapak (‘ammah) maupun dari pihak ibu (khaalah) tidaklah mewarisi. Demikian pula cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan, puteri saudara dan puteri paman tidaklah mewarisi.
Bersambung….
Marwan bin Musa
Artikel www.Yufidia.com
Maraaji’: Minhaajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iriy), Al Fiqhul Muyassar, Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Saabiq), Al Fara’idh (A. Hassan), Belajar Mudah Ilmu Waris (Anshari Taslim, Lc) dll.
[1] Sebagian ahli ilmu mengecualikan untuk yang separuh dirinya budak dan separuhnya lagi merdeka, menurut mereka, ia dapat mewarisi dan diwarisi sesuai bagian dirinya yang merdeka berdasarkan riwayat Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang budak yang separuhnya merdeka, “Ia mewarisi dan diwarisi sesuai bagian yang merdeka dari (diri)nya.” Sebagaimana disebutkan dalam Al Mughni, namun kami belum mengetahui derajat hadits tersebut, wallahu a’lam.