Pemerintah dan Rakyat
Pokok landasan mengenai hal ini adalah ilmu. Keadilan dan kezaliman hanya bisa diketahui dengan ilmu. Jadi, agama itu seluruhnya adalah ilmu dan keadilan, yang lawannya adalah kezaliman dan ketidaktahuan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)
Karena manusia banyak berlaku zalim dan emosional –yang terkadang dilakukan oleh para pemimpin, terkadang juga oleh bawahan/rakyat, dan pada tempo yang lain terjadi pada selainnya- maka ilmu dan keadilan yang diperintahkan ialah bersabar terhadap kezaliman dan kediktatoran para pemimpin, sebagaimana salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya dalam hadis-hadis yang masyhur, tatkala beliau bersabda,
“Sepeninggalku nanti, kalian akan menjumpai para pemimpin yang mementingkan diri sendiri; maka bersabarlah, hingga kalian bertemu denganku di telaga (dalam surga).”
Beliau bersabda,
“Barangsiapa melihat sesuatu dari pemimpinnya yang tidak disukainya, maka hendaklah ia bersabar terhadapnya.”
Dan hadis-hadis serupa lainnya. Beliau juga bersabda,
“Tunaikanlah kepada mereka apa yang menjadi hak mereka, dan memohonlah kepada Allah apa yang menjadi hakmu.”
Mereka dilarang memerangi para pemimpin selama pemimpin-pemimpin tersebut mengerjakan shalat. Sebab, mereka memiliki pokok agama yang dimaksud, yaitu metauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya, dan mereka memiliki kebajikan-kebajikan dan meninggalkan keburukan cukup banyak.
Adapun kezaliman dan perbuatan dosa yang mereka lakukan karena ta’wil (interpretasi/penafsiran) yang diperkenankan, atau tidak diperkenankan, maka tidak boleh dihilangkan, dirubah dan dilawan, karena perubahan atau penolakan tersebut mengakibatkan kezaliman dan kedurhakaan lain –sebagaimana kebiasaan manusia menghilangkan keburukan dengan suatu yang lebih buruk darinya dan menghilangkan kezaliman dengan suatu yang lebih zalim darinya-. Sebab, keluar untuk memerangi (berontak) kepada penguasa akan menyebabkan kezaliman dan keburukan yang lebih besar daripada kezaliman mereka. Karena itu, harus bersabar terhadapnya sebagaimana bersabar, ketika memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran, terhadap kezaliman “Obyek dakwah:” (pihak yang diperintahkan dan dilarang). Allah berfirman,
“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.” (QS. Luqman: 17)
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang telah bersabar.” (QS. Al-Ahqaf: 35)
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami.” (QS. Ath-Thur: 48)
Ini berlaku umum untuk para pemimpin dan rakyat. Jika mereka menyuruh kebajikan dan mencegah kemungkaran, maka harus bersabar atas apa yang mereka alami di jalan Allah, seperti halnya mujahidin bersabar atas segala yang dikorbankan berupa jiwa dan harta mereka, maka bersabar terhadap celaan yang menimpa diri (kehormatan) adalah lebih utama. Sebab, karena kemaslahatan beramar ma’ruf nahi munkar tidak akan sempurna melainakn dengan kesabaran, dan suatu kewajiban tidak sempurna melainkan dengan melakukan amalan tertentu, maka amaln tersebut pun menjadi wajib.
Dan masuk dalam kategorinya adalah para waliyul amri. Sebab mereka wajib memiliki kesabaran yang tidak berlaku bagi selainnya, sebagaimana halnya mereka wajib memiliki keberanian dan kedermawanan yang tidak berlaku atas selainnya; karena kemaslahatan pemerintahan tidak sempurna melainkan dengannya. Seperti halnya wajib bagi para pemimpin untuk bersabar atas keburukan rakyat dan kezaliman mereka, jika kemaslahatan tidak sempurna melainkan dengannya, sebab apabila ditinggalkan akan menyebabkan kerusakan yang lebih banyak darinya, maka –demikian pula- wajib atas rakyat untuk bersabar terhadap kesalahan dan kezaliman para pemimpin, jika meninggalkan kesabaran tersebut tidak mengandung kerusakan yang dominan.
Karena itu, wajib atas masing-masing pemimpin dan rakyat untuk memperhatikan hak satu sama lain, sebagiannya telah disebutkan dalam Kitab al-Jihad wal Qadha (Masalah Jihad dan Peradilan). Satu sama lain juga harus bersabar dan santun dalam berbagai urusan. Karena itu, sifat toleran dan penyabar adalah suatu keharusan dalam diri masing-masing keduanya, sebagaimana firman-Nya,
“Dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (QS. Al-Balad: 17)
Dalam hadis disebutkan,
“Seutama-utama iman ialah sifat pemurah dan bersabar.”
Dan di antara nama-nama Allah adalah: al-Ghafur ar-Rahim. Dengan sifat penyantun itulah seorang pemimpin memaafkan kesalahan-kesalahan rakyatnya, dan dengan sifat pemurah dia memberikan berbagai kemanfaatan kepada mereka. Sehingga terhimpunlah dua hal: Mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudharatan.
Adapun menahan diri dari menzalimi para pemimpin dan berlaku adil terhadap mereka, sedangkan kewajiban itu lebih jelas daripada penuntutan hak- maka tidak memerlukan penjelasan. Wallahu a’lam.
Sumber: Kumpulan Fatwa Ibnu Taimiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Haq
Artikel www.Yufidia.com