Pada dasarnya, membersihkan najis tidak membutuhkan amal tertentu. Artinya, benda suci yang terkena najis akan menjadi suci kembali, selama najisnya telah dihilangkan dari benda tersebut, dengan cara apapun. Dengan demikian, membersihkan najis tidak memerlukan amal khusus.

Namun ada beberapa benda yang statusnya najis dan tata cara menyucinya khusus, diantaranya adalah sebagai berikut:

1 – Menyucikan kulit bangkai dengan disamak

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ

“Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah suci.”

(HR. Nasa`i 4241, Ibnu Majah 3609 dan dinilai sahih oleh al-Albani)

Catatan:

Ditinjau dari kehalal-annya, binatang ada dua macam:

  1. Binatang yang halal dimakan: Binatang yang halal dimakan, jika menjadi bangkai, dengan cara apapun, maka kulit bangkai tersebut bisa menjadi suci jika disamak. Seperti bangkai kambing, bangkai sapi atau yang lainnya.
  2. Binatang yang haram dimakan: Binatang yang haram dimakan, jika mati dengan cara apapun maka kulit bangkai tersebut tidak menjadi suci meskipun disamak. Seperti bangkai anjing, atau bangkai macan.

2 – Menyucikan bejana yang dijilat anjing

Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” (Muttafaq `alaihi)

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa hadis yang menerangkan cara membersihkan jilatan anjing ada beberapa riwayat. Ada riwayat yang menyebut “سَبْع مَرَّات”, (tujuh kali). Ada riwayat lain menyebut “سَبْع مَرَّات أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ”, (tujuh kali dan awalnya dengan tanah). Ada lagi yang menyebut “أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ”, (yang terakhir atau pertamanya). Ada riwayat menyebut, “سَبْع مَرَّات السَّابِعَة بِالتُّرَابِ”, (tujuh kali dan yang ketujuh dengan tanah). Ada yang menyebut, “سَبْع مَرَّات وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَة بِالتُّرَابِ”, (tujuh kali dan yang kedelapan dilumuri dengan tanah).

Selanjutnya An Nawawi mengatakan, “Al Baihaqi dan ulama lainnya telah membawakan seluruh riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa penggunaan kata “yang pertama” atau “yang terakhir” dan penyebutan urutan lainnya bukanlah syarat, namun yang dimaksudkan adalah “salah satunya dengan tanah”. Adapun riwayat terakhir yang menyatakan “yang terakhir dilumuri tanah, maka menurut madzhab Syafi’iyah dan madzhab mayoritas ulama bahwa yang dimaksud adalah cucilah tujuh kali, salah satu dari yang tujuh itu dengan tanah bersama air. Maka seakan-akan tanah tadi mengganti cara mencuci sehingga disebut kedelapan. Wallahu a’lam. ” [an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Dar Ihya’ at Turats, Beirut, 1392 H, 3/185]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud “pertamanya dengan tanah” ada tiga pilihan:

[1] Awalnya disiram air, lalu dilumuri tanah

[2] Dilumuri tanah terlebih dahulu, lalu disiram air, atau

[3] Mencampurkan tanah dengan air, lalu dilumurkan pada bejana yang dijilat anjing

[Ibnu Utsaimin, Fathu Dzil Jalaali wal IkrAm Syarh Bulughil Maram, 1/95]

3 – Menyucikan pakaian yang terkena darah haidh

Dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia berkata, “Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّى فِيهِ

“Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan air, lalu cucilah. Kemudian shalatlah dengannya.” (HR. Bukhari 225)

Jika masih ada bekas darah haidh yang tersisa setelah dibersihkan maka hal ini tidak menjadi masalah. Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Khaulah binti Yasar berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian, sementara ketika haid saya menggunakannya?” beliau bersabda:

« فَإِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِى مَوْضِعَ الدَّمِ ثُمَّ صَلِّى فِيهِ »

“Jika engkau telah suci, cucilah bagian pakaianmu yang terkena darah lalu shalatlah dengannya.”

Saya bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau masih ada bekas darahnya?” beliau menjawab,

« يَكْفِيكِ الْمَاءُ وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ »

“Air tadi sudah menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah menjadi masalah bagimu.” (HR. Ahmad 8752 dan dihasankan Syu`aib al-Arnauth)

Membersihkan bekas darah haid dengan menggunakan sabun adalah lebih baik. Dalilnya hadits Ummu Qois binti Mihshon, beliau mengatakan: “Aku bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai darah haidh yang mengenai pakaian”. Beliau menjawab,

« حُكِّيهِ بِضِلْعٍ وَاغْسِلِيهِ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ »

“Gosoklah dengan tulang hean dan cucilah dengan air dan daun bidara”. (HR. Abu Daud 363, Nasa`i 292, dan dinilai sahih oleh al-Albani)

Keterangan: Dalam konteks ini, daun bidara statusnya menggantikan sabun.

4 – Menyucikan ujung pakaian wanita

Dari budak wanita milik Ibrohim bin Abdur Rahman bin ‘Auf bahwasanya beliau bertanya pada Ummu Salamah –salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau berkata: “Aku adalah wanita yang berpakaian panjang. Bagaimana kalau aku sering berjalan di tempat yang kotor?” Ummu Salamah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ

“Tanah yang berikutnya akan menyucikan najis yang mengenai pakain.” (HR. Abu Daud 383, Turmudzi 143 dan dinilai sahih oleh al-Albani)

Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud najis dalam hadits di atas adalah najis yang sifatnya kering, seperti Imam Ahmad1 dan Imam Malik. Menurut mereka, jika ujung pakaian wanita terkena najis yang sifatnya basah, maka tidak bisa disucikan dengan tanah berikutnya, namun harus dengan cara dicuci. Sementara itu, ulama lain berpendapat bahwa najis yang dimaksud dalam hadis mencakup najis kering maupun basah. Pendapat kedua ini dinilai lebih kuat, sebagaimana penjelasan Imam Muhammad al-Mubarokfuri yang mengatakan:

Ulama yang memahami bahwa najis yang dimaksud dalam hadits ini adalah najis yang sifatnya kering, yang mengenai pakaian kemudian setelah itu menyebar. Ini pendapat yang perlu dikritisi. Karena najis yang mengenai pakaian wanita ketika berjalan di tempat kotor, pada umumnya adalah basah. Inilah yang biasa kita jumpai dalam keseharian. Sehingga, memahami maksud hadis di luar makna yang telah terbukti secara pasti dan umumnya hal itu terjadi adalah pemahaman yang terlalu jauh. [al-Mubarakfuri, Tuhfaul ahwadzi syarh at-Turmudzi, Dar al-Kutub Ilmiyah, Beirut, 1/372]

5 – Membersihkan pakaian dari kencing bayi yang belum mengonsumsi makanan

Dari Abu Samhi –pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ

“Membersihkan kencing bayi perempuan adalah dengan dicuci, sedangkan bayi laki-laki dengan diperciki.” (HR. Abu Daud 376, Nasa`i 304 dan dinilai sahih oleh al-Albani)

Keterangan:

  1. Yang dimaksudkan di sini adalah bayi yang masih menyusu dan belum mengonsumsi makanan. Ini adalah pendapat Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, Atha bin Abi Rabah, Hasan al-Bashri, Imam Syafi`i dan Imam Ahmad. Dibolehkannya membersihkan kencing bayi laki-laki dengan cukup diperciki air, bukanlah dikarenakan kecing bayi ini tidak najis, namun sebagai bentuk keringanan. [Abu Thayib, Aunul Ma`bud syarh sunan Abi Daud, Dar al-Kutub Ilmiyah, Beirut, 1415 H, 2/28]
  2. Batasan dianggap : “belum mengonsumsi makanan”

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Bukanlah yang dimaksud bahwa bayi tersebut tidak mengonsumsi makanan sama sekali. Karena seandainya kita katakan  demikian, bayi ketika awal-awal lahir, ia pun sudah mencicipi sedikit makanan. Akan tetapi yang dimaksudkan tidak mengonsumsi makanan adalah makanan sudah menjadi pengganti dari ASI atau ia mengonsumsi makanan sudah lebih banyak dari ASI. Namun jika ASI masih jadi konsumsi utamanya, maka sudah jelas. Adapun jika makanan sudah menjadi mayoritas yang ia konsumsi, maka kita menangkan mayoritasnya. [Ibnu Utsaimin, Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/214]

6 – Membersihkan pakaian yang terkena madzi

Dari Sahl bin Hunaif, beliau berkata, “Dulu aku sering terkena madzi sehingga aku sering mandi. Lalu aku menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kejadian yang menimpaku ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda:

« إِنَّمَا يُجْزِيكَ مِنْ ذَلِكَ الْوُضُوءُ »

“Cukup bagimu berwudhu ketika mendapati seperti ini”

Aku lantas berkata lagi: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika ada sebagian madzi yang mengenai pakaianku?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

« يَكْفِيكَ بِأَنْ تَأْخُذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَتَنْضَحَ بِهَا مِنْ ثَوْبِكَ حَيْثُ تُرَى أَنَّهُ أَصَابَهُ »

‘Cukup bagimu mengambil air seukuran telapak tangan, lalu engkau perciki pada pakaianmu ketika engkau terkena madzi.” (HR. Abu Daud 210, Turmudzi 115 dan dihasankan al-Albani)

Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan,

Hadits ini menunjukkan bahwa dengan semata diperciki sudah bisa untuk menghilangkan najisnya madzi….sehingga memercikinya hukumnya wajib, sementara madzi adalah najis yang cara membersihkannya ringan. [as-Syaukani, as-Sail al-Jarar, Dar al-Kutub Ilmiyah, Beirut, 1405 H., 1/35]

7 – Menyucikan bagian bawah alas kaki (sandal)

Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama para sahabatnya. Tiba-tiba beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya, tatkala para sahabat melihat hal itu, mereka pun ikut mencopot sandal mereka. Ketika selesai shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Kenapa kalian melepas sandal kalian?”. Mereka menjawab, “Kami melihat engkau mencopot sandalmu, maka kami juga ikut mencopot sandal kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memberitahu mereka, “Sesungguhnya Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangiku dan memberitahu aku bahwa di sandalku itu terdapat kotoran.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

« إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِى نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا »

“Apabila salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, maka lihatlah, jika terdapat kotoran (najis) atau suatu gangguan di sandal kalian, maka usaplah sandal tersebut (ke tanah) dan shalatlah dengan keduanya.” (HR. Abu Daud 650, Ahmad 11895 dan dinilai sahih oleh al-Albani)

8 – Membersihkan tanah yang terkena najis

Dari Abu Hurairah, beliau radhiallahu ‘anhu berkata, seorang arab badui pernah kencing di masjid, lalu para sahabat ingin menghardiknya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ ، أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ ، وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ »

“Siramlah kencing tersebut dengan seember air. Kalian itu diutus untuk mendatangkan kemudahan dan bukan bukan untuk mempersulit.” (HR. Bukhari 217)

Pada dasarnya, selama najis yang mengenai tanah itu hilang dengan cara apapun maka status tanah tersebut telah kembali suci. Misalnya menguap karena kepanasan atau sebab yang lainnya. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

كَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِى الْمَسْجِدِ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ

Dulu anjing-anjing sering kencing dan keluar-masuk masjid pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya) tidak mengguyur kencing anjing tersebut.” (HR. Ibnu Hibban 1683 )

Artikel www.Yufidia.com

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28