Di antara bukti lengkapnya agama Islam adalah dibahas juga masalah seputar air serta pembagiannya, dan bahwa air itu ada yang suci dan ada yang najis. Berikut ini penjelasan lebih rincinya.

Pembagian air

Air terbagi menjadi empat bagian sbb:

1. Air Mutlak

Air mutlak adalah air yang masih asli tidak ada warnanya (masih alami), tidak bau dan tidak ada rasanya. Hukumnya adalah thahur, yakni air tersebut adalah suci dan dapat menyucikan yang lain. Termasuk ke dalam air mutlak adalah air-air berikut ini:

– Air hujan, air es dan air salju.

Dalilnya adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala:

“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu.” (QS. Al Anfaal: 11)

Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah yang menerangkan doa istiftah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum membaca Al Fatihah, di bagian akhir disebutkan:

اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرْدِ

“Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, air es dan air salju.” (HR. Jama’ah selain Tirmidzi)

Hadits ini menunjukkan sucinya air-air tersebut karena dapat dipakai untuk membersihkan.

– Air laut

Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang berwudhu’ menggunakan air laut:

هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. lima orang ahli hadits, Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)

– Air Zamzam

Hal ini berdasarkan hadits hasan yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’idnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta dibawakan setimba air Zamzam, lalu Beliau meminumnya dan berwudhu’ darinya.

– Air yang sudah berubah disebabkan sudah lama atau karena tidak mengalir atau karena bercampur sesuatu yang biasa ikut menyatu seperti lumut, dedaunan dsb. Para ulama sepakat bahwa air ini tergolong air mutlak.

Termasuk air mutlak juga adalah air sumur, air embun dan air mata air. Semua air di atas adalah thahur, yakni suci lagi dapat dipakai untuk bersuci (berwudhu’ dan mandi) serta dapat menyucikan (membersihkan najis). Dalil umumnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ اَلْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

“Sesungguhnya air itu suci, tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu.” (Diriwayatkan oleh tiga orang ahli hadits dan dishahihkan oleh Ahmad)

2. Air Musta’mal

Air Musta’mal adalah air yang bekas dipakai oleh orang yang bersuci (berwudhu’ atau mandi). Hukumnya juga thahur, yakni suci lagi menyucikan. Di antara dalilnya adalah hadits berikut:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَسَحَ رَأْسَهُ مِنْ فَضْلِ مَاءٍ كَانَ بِيَدِهِ

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dengan sisa air yang ada di tangannya.” (HR. Abu Dawud)

Ibnul Mundzir berkata, “Telah diriwayatkan dari Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, ‘Athaa’, Al Hasan, Makhul dan An Nakha’i bahwa mereka berpendapat bagi orang yang lupa mengusap kepalanya, lalu didapati janggutnya masih basah, maka ia cukup mengusap kepalanya dengan basahnya (di janggut) tersebut”, Ibnul Mundzir juga berkata, “Ini menunjukkan bahwa mereka berpendapat air musta’mal itu dapat menyucikan, dan inilah yang saya pegang.”

Dalil lain yang menjelaskan sucinya air musta’mal adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan Abu Hurairah di suatu jalan di kota Madinah dalam keadaan junub, lalu Abu Hurairah menghindar pergi dan mandi, lalu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Pergi ke mana tadi kamu, wahai Abu Hurairah?” ia menjawab: “Tadi aku junub, aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak suci.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سُبْحانَ اللهِ ، إِنَّ المُؤْمِنَ لايَنْجُسُ

“Subhaanallah, sesungguhnya orang mukmin tidak najis.” (HR. Jama’ah)

Wajhud dilaalah (sisi pengambilan dalilnya) adalah jika seorang mukmin tidak najis, bagaimana mungkin menjadikan air yang dipakainya menjadi najis.

3. Air yang Bercampur dengan Sesuatu yang Suci.

Sesuatu yang suci ini bisa berupa sabun, za’faran (tumbuhan seperti kunyit), tepung dsb. Hukum air yang tercampur barang-barang suci adalah thahur; suci lagi menyucikan selama masih tetap mutlak, dalam arti belum berubah. Jika sudah berubah dari asalnya sehingga tidak disebut air mutlak lagi, misalnya warnanya berubah, menjadi bau atau berubah rasanya maka keadaan air itu tetap suci dan bisa dipakai untuk membersihkan najis, namun tidak bisa dipakai untuk bersuci (wudhu’ dan mandi). Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada beberapa wanita yang memandikan puterinya yang wafat:

اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا, أَوْ خَمْسًا, أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ، إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ, بِمَاءٍ وَسِدْرٍ, وَاجْعَلْنَ فِي الْأَخِيـْرَةِ كَافُورًا, أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُورٍ

“Basuhlah tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian memandang perlu dengan air dan daun bidara, serta jadikanlah basuhan terakhir dicampur kafur (kapur barus) atau sedikit kafur.” (HR. Jama’ah)

Sudah maklum bahwa mayit itu tidak dimandikan kecuali dengan sesuatu yang bisa dipakai bersuci oleh orang yang hidup.

4. Air yang Terkena Najis.

Air yang terkena najis ada dua keadaan:

Pertama, jika najis merubah rasanya, warnanya atau baunya, maka dalam keadaan seperti ini, air tersebut tidak dapat dipakai bersuci berdasarkan kesepakatan para ulama sebagaimana telah dinukil oleh Ibnul Mundzir dan Ibnul Mulaqqin.

Kedua, Air tersebut masih tetap mutlak, yakni tidak berubah warnanya, rasanya maupun baunya, maka hukum air ini adalah tetap suci lagi menyucikan banyak atau sedikit. Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al Khudriy radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berwudhu’ dengan menggunakan air dari sumur Bidhaa’ah?” Beliau menjawab:

اَلْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

“Air itu suci, tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu.” (HR. Ahmad, Syafi’i, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi dan ia menghasankannya. Imam Ahmad berkata, “Hadits sumur Bidha’ah adalah hadits shahih”, dishahihkan juga oleh Yahya bin Ma’in dan Ibnu Hazm)

Sumur Bidha’ah adalah sumur yang kadang kemasukan banjir dari lembah, bahkan kemasukan banyak kotoran, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghukuminya sebagai air yang suci, karena kemutlakannya belum berubah oleh kotoran. Wallahu a’lam.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa air suci terbagi menjadi dua:

Air yang suci lagi menyucikan (thaahir muthahhir), yaitu air suci yang belum berubah warna, rasa dan baunya. Air ini bisa digunakan untuk menghilangkan najis dan bisa dipakai bersuci.
Air yang suci tetapi tidak menyucikan, yaitu air suci yang berubah warna atau rasa atau pun baunya (sudah tidak mutlak lagi), karena terkena sesuatu yang suci seperti terkena teh, kopi, sari buah dsb. Sehingga salah satu sifat airnya berubah. Air ini hanya bisa digunakan untuk menghilangkan najis, tetapi tidak bisa dipakai bersuci (berwudhu dan mandi).

Sedangkan air najis adalah air yang dirubah kemutlakannya oleh najis, dalam arti berubah warnanya, rasanya atau pun baunya (seperti air got). Bila najis itu tidak merubah salah satu sifat air tersebut (warna, rasa atau baunya) maka air tersebut tidak najis (tetap suci).

Faedah (tambahan)

Apa hukum mengolah air kotor menjadi air bersih, apakah air tersebut bisa menjadi suci atau tetap kotor seperti pada awalnya?

Jawab: Jumhur ulama memandang bahwa air kotor bisa menjadi suci dengan dituangkan air yang thahur (suci dan menyucikan) kepadanya, bisa juga dengan tersaring dan bisa juga dengan dibiarkan berubah sendiri (seperti karena terkena sinar matahari atau lainnya). Dari sini kita mengetahui bahwa air olahan bisa menjadi suci jika hilang najisnya secara sempurna dengan hilangnya rasa, warna atau baunya sehingga seperti aslinya.

Hukum Seputar Su’ur

Su’ur artinya sisa minuman, termasuk air liurnya. Su’ur terbagi menjadi beberapa bagian:

1. Su’ur manusia

Su’ur manusia adalah suci, baik muslim maupun non muslim, yang junub maupun yang haidh. Adapun firman Allah Ta’ala “Innamal musyrikuunan najas” (sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis), maksudnya adalah najis maknawi, yakni dari sisi keyakinan mereka yang batil dan keengganan mereka bersuci dari kotoran dan najis, bukan karena badan mereka yang najis, karena mereka terkadang bergaul dengan kaum muslimin, utusan mereka datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sampai masuk ke masjid Beliau, namun Beliau tidak menyuruh membersihkan bagian yang disentuh oleh badan mereka.

Adapun tentang sucinya su’ur orang berhadats besar, dalilnya adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

كُنْتُ أَشْرَبُ وَأَنَا حَائِضٌ ، فَأُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ

“Aku pernah minum saat sedang sedang haidh, lalu aku berikan minuman itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau pun menaruh mulutnya di tempat mulutku menaruh.” (HR. Muslim)

2. Su’ur hewan yang boleh dimakan dagingnya

Su’ur tersebut juga suci, karena air liurnya berasal dari dagingnya yang suci, maka hukumnya juga suci. Disebutkan dalam hadits ‘Amr bin Khaarijah, ia mengatakan:

خَطَبَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِنًى, وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ, وَلُعَابُهَا يَسِيلُ عَلَى كَتِفَيَّ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah kepada kami di Mina, ketika itu Beliau berada di atas untanya, air liur untanya mengalir di atas bahuku.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi, ia (Tirmidzi) menshahihkannya, dan dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani dalam Shahih At Tirmidzi)

Ibnul Mundzir berkata, “Ahli ilmu sepakat bahwa su’ur hewan yang boleh dimakan dagingnya adalah boleh diminum dan dipakai wudhu’.”

3. Su’ur bighal (hewan yang lahir dari perkawinan keledai dan kuda), keledai dan burung pencakar.

Su’ur binatang-binatang tersebut adalah suci, karena memang hukum asalnya adalah suci sampai ada dalil yang menerangkan kenajisannya. Adapun su’ur binatang buas para ulama berbeda pendapat, yang raajih –insya Allah- adalah bahwa su’ur binatang buas adalah najis berdasarkan jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada seorang yang bertanya tentang air yang sering didatangi binatang buas dan binatang lainnya berikut:

إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ – وَفِي لَفْظٍ: , لَمْ يَنْجُسْ –

“Apabila air itu sebanyak dua qullah maka tidak mengandung kotoran”. Dan dalam sebuah lafaz disebutkan: “Tidak najis” (Diriwayatkan oleh empat orang ahli hadits, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, Ibnu Hibban dan Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud)

Ibnut Turkumaaniy dalam Al Jauharun Naqiy (1/250) berkata: “Zhahirnya menunjukkan najisnya su’ur binatang buas, karena jika tidak demikian tentu syarat tersebut (lih. Hadits di atas) tidak ada faedahnya dan membatasi dengannya (dengan dua qullah) akan menjadi sia-sia.”

[Dua qullah artinya dua tong besar, dikatakan qullah karena orang dewasa dapat mengangkatnya bila dipenuhi air. Beratnya menurut fuqaha Syaafi’i adalah 500 rithl Baghdadiy. Ukuran airnyanya jika di suatu kolam berbentuk persegi empat, maka panjangnya, lebar dan tingginya 1 ¼ hasta (1 hasta panjangnya dari ujung jari tengah sampai ke ujung siku tangan)]. Wallahu a’lam.

4. Su’ur kucing

Su’ur kucing juga suci, dalilnya adalah hadits Kabsyah binti Ka’ab bin Malik –Ia adalah istri putera Abu Qatadah-, bahwa Abu Qatadah pernah masuk menemuinya, Kabsyah berkata, “Lalu aku menuangkan kepadanya air wudhu, kemudian datang seekor kucing hendak meminum airnya, lalu Abu Qatadah memiringkan (tempat air wudhu’) sehingga kucing itu dapat meminumnya, Kabsyah berkata, “Abu Qatadah lalu melihatku karena aku memperhatikannya, ia berkata: “Apa kamu heran, hai puteri saudaraku?” Aku menjawab, “Ya”, ia pun berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّمَا هِيَ مِنَ الطَوَّافِينَ عَلَيكُمْ أَوِ الطَّوَّافَاتِ.

“Sesungguhnya kucing itu tidak najis, ia termasuk binatang yang biasa mengelilingimu.” (Diriwayatkan oleh lima orang ahli hadits, Tirmidzi mengatakan, “Hadits hasan shahih”, dishahihkan oleh Bukhari dan yang lainnya).

5. Su’ur anjing dan babi

Su’ur keduanya adalah najis dan wajib dijauhi, Najisnya su’ur anjing adalah berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا شَرِبَ اْلكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا

“Apabila seekor anjing minum di bejana milik salah seorang di antara kamu, maka cucilah bejana itu tujuh kali.”

Adapun najisnya su’ur babi karena kotornya dan karena min bab Aulaa (fahwal khithab), yakni jika anjing saja najis apalagi babi. Wallahu a’lam.

Artikel www.Yufidia.com

Marwan bin Musa

Maraaji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh sayyid Saabiq), Tamaamul Minnah (Syaikh Al Albani), Al Ghaayah wat Taqrib (Abu Syuja’ Asfahaaniy), Mu’jam Lughatil Fuqaha’, Al Wajiiz (Abdul ‘Azhim bin Badawi), Buhuts liba’dhin nawaazil dll.

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28