Segala puji bagi Allah Rabbul ‘aalamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarganya, sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan tentang fiqh jihad yang telah dibahas sebelumnya, dan pada kali ini kita akan membahas tentang hukum para tawanan kafir, pembagian ghanimah, dan tempat pengalihan harta fai’.
A. Hukum Tawanan Orang-Orang Kafir
Kebanyakan Ahli Ilmu berpendapat, bahwa tawanan orang-orang kafir yang laki-laki diserahkan urusannya kepada imam (pemimpin) kaum muslimin, ia tinggal memilih yang bermaslahat bagi Islam dan kaum muslimin, yaitu antara membunuh, menjadikan budak, membebaskan tanpa tebusan, atau menerima tebusan baik berupa harta, manfaat (jasa) atau menebus dirinya dengan tawanan yang muslim. Adapun wanita dan anak-anak mereka, maka dijadikan budak karena tertawan dan menjadi seperti harta yang lain yang disatukan dengan ghanimah. Imam tidak memberikan pilihan kepada mereka (wanita dan anak-anak), dan tidak boleh membunuh mereka karena ada larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalil pilihan membunuh tawanan orang-orang kafir yang laki-laki adalah firman Allah Ta’ala:
“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi.” (QS. Al Anfaal: 67)
Di ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, bahwa membunuh kaum musyrik dalam perang Badar adalah lebih utama daripada menawan dan menebus diri mereka. Demikian juga berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk (Mekah) pada tahun penaklukkannya, sedangkan Beliau memakai topi besi, saat Beliau melepasnya, lalu datang seseorang dan berkata, “Sesungguhnya Ibnu Khathl bergantungan di tirai Ka’bah.” Maka Beliau bersabda, “Bunuhlah dia.” (HR. Bukhari)
Dalil untuk menjadikannya budak adalah hadits Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu tentang kisah Bani Quraizhah ketika mereka turun (dari bentengnya) dengan syarat yang memberikan keputusan adalah Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, maka ia memutuskan bahwa yang berperang dibunuh dan anak-anak ditawan (HR. Bukhari).
Sedangkan dalil membebaskan tanpa tebusan atau membebaskan dengan tebusan adalah firman Allah Ta’ala
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka, sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan setelah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir.” (QS. Muhammad: 4)
Dan sepatutnya bagi imam melakukan yang lebih bermaslahat bagi kaum muslimin di antara beberapa perkara tersebut karena tindakannya adalah untuk orang lain, oleh karenanya ia hendaknya memilih yang lebih bermaslahat.
B. Membagikan Ghanimah
Ghanimah artinya harta rampasan perang, disebut juga Anfaal (bentuk jama’ dari kata nafl yang artinya tambahan), karena ghanimah menambah harta kaum muslimin.
Dasar disyariatkan membagikan harta ghanimah adalah firman Allah Ta’ala:
“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Anfaal: 69)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan ghanimah untuk umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saja; tidak umat-umat terdahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ وَلَمْ تُحَلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي
“Dihalalkan ghanimah untukku, dan dia tidak dihalalkan untuk seorang pun sebelumku.” (HR. Muslim)
Ghanimah mencakup harta yang dapat dipindahkan, para tawanan dan tanah. Jumhur ulama berpendapat, bahwa harta ghanimah dibagi kepada lima bagian:
Bagian pertama, bagian imam, yaitu 1/5 dari ghanimah, dikeluarkan oleh imam atau wakilnya, dan seperlima ini dibagikan sesuai yang diterangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil,” (QS. Al Anfaal: 41)
Maksudnya: seperlima dari ghanimah itu dibagikan kepada:
a. Allah dan Rasul-Nya. Bagian ini menjadi fai’ yang dimasukkan ke dalam Baitulmal dan dibelanjakan untuk maslahat kaum muslimin. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah yang diriku di Tangan-Nya, hartaku dari yang diberikan Allah hanya seperlima, dan seperlima itu dikembalikan kepada kamu.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa’ul Ghalil no. 1240). Beliau menjadikannya untuk semua kaum muslimin.
b. Kerabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Bani Hasyim dan Bani Muthalib, dan seperlima ini dibagikan di antara mereka sesuai kebutuhan.
c. Anak yatim, yaitu orang yang ayahnya meninggal sebelum ia baligh, baik laki-laki maupun wanita, baik yang kaya maupun yang miskin.
d. Fakir miskin.
e. Ibnussabil, yaitu musafir yang terputus di tengah perjalanannya, sehingga diberikan kepadanya harta untuk menyampaikannya ke tempat tujuan.
Adapun empat-perlima dari ghanimah itu, maka dibagikan kepada yang ikut bertempur, yang terdiri dari laki-laki yang baligh, merdeka, dan berakal, dimana mereka mempersiapkan diri untuk perang, baik melakukan pertempuran secara langsung maupun tidak, baik orang yang kuat maupun lemah. Hal ini berdasarkan perkataa Umar radhiyallahu ‘anhu, “Al Ghanimah lima syahidal waq’ah.” (artinya: Ghanimah itu untuk orang yang menghadiri peperangan.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan isnad yang shahih, dan Abdurrazzaq dalam Mushannafnya).
Cara pembagiannya adalah pejalan kaki diberikan satu bagian, sedangkan orang yang berkuda diberikan tiga bagian (satu bagian untuknya dan untuk kudanya dua bagian). Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagikan dalam nafl (ghanimah), untuk kuda dua bagian dan untuk pejalan kaki satu bagian (HR. Bukhari dan Muslim), demikian pula karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan demikian dalam perang Khaibar, yaitu menjadikan untuk pejalan kaki satu bagian dan untuk pengendara kuda tiga bagian (HR. Bukhari) hal itu karena jasa pengendara kuda lebih besar daripada pejalan kaki.
Adapun wanita, budak dan anak-anak jika mereka menghadiri peperangan, maka menurut pendapat yang shahih adalah bahwa mereka diberi bagian sekedarnya (tidak banyak) dan tidak diberlakukan pembagian seperti di atas. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma kepada orang yang bertanya kepadanya, “Sesungguhnya engkau telah menulis surat kepadaku untuk bertanya tentang wanita dan budak yang menghadiri peperangan; apakah mereka berdua diberi bagian? Sesungguhnya keduanya tidak mendapatkan apa-apa, namun mereka diberikan sedikit (daripadanya).” (HR. Muslim)
Jika ghanimah berupa tanah, maka imam diberi pilihan antara membagikan kepada orang-orang yang mendapatkan ghanimah atau mewaqafkannya untuk maslahat kaum muslimin dan mengenakan pajak yang berkelanjutan padanya yang diambil dari orang yang memegangnya, baik orang muslim atau kafir dzimmiy, dimana pajak itu diambil setiap tahun. Pilihan ini juga memperhatikan maslahat.
C. Tempat Pengalihan Fai’
Fai’ adalah harta yang diambil dari kafir harbi secara hak (benar) tanpa melalui peperangan, seperti harta yang ditinggal lari oleh orang-orang kafir karena ketakutan ketika mereka mengetahui kedatangan kaum muslimin.
Tempat pengalihannya adalah untuk maslahat kaum muslimin sesuai yang dipandang oleh imam, seperti memberi rezeki kepada para qadhi (hakim), muazin, para imam masjid, para ahli fiqh, para pengajar dan lainnya yang termasuk maslahat bagi kaum muslimin. Hal ini beradasarkan riwayat yang sah dari Umar radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Harta Bani Nadhir termasuk harta fai’ yang Allah berikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perlu mengerahkan kuda dan unta oleh kaum muslimin, maka diperuntukkan khusus untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, oleh karenanya Beliau menafkahi keluarganya untuk nafkah setahun, sedangkan sisanya Beliau alihkan untuk (keperluan) kuda dan senjata sebagai persiapan (jihad) fii sabilillah (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan semua golongan dari kaum muslimin ketika menerangkan tempat pengalihan fai’, Dia berfirman:
“Harta rampasan fai’i[1] yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, rasul, kerabat (rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukumannya. (QS. Al Hasyr: 7)
Sehingga imam mengambilnya tanpa batasan dan memberikan kepada kerabat berdasarkan ijtihadnya dan memberikan sisanya untuk maslahat kaum muslimin.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man waalaah.
Oleh: Marwan bin Musa
Artikel www.Yufidia.com
Maraaji’: Al Fiqhul Muyassar, Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (penyusun) dll.
[1] Fai-i ialah harta rampasan yang diperoleh dari orang-orang kafir tanpa terjadinya pertempuran, misalnya harta yang mereka tinggal lari karena takut kepada kaum muslimin. Harta tersebut dinamakan fai’i yang artinya kembali, karena harta itu kembali dari orang-orang kafir yang tidak berhak memilikinya kepada kaum muslimin yang memiliki hak terhadapnya. Pembagian fa’i berlainan dengan pembagian ghanimah (harta rampasan yang diperoleh dari musuh setelah terjadi pertempuran). Pembagian Fai’i disebutkan pada ayat 7 surah ini, sedangkan pembagian ghanimah disebutkan dalam surah Al Anfaal ayat 41.
Pembagian fa’i, berdasarkan ayat ke-7 surah Al Hasyr ini adalah dibagi menjadi lima bagian:
– 1/5 untuk Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kemudian dialihkan untuk maslahat kaum muslimin secara umum,
– 1/5 untuk kerabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Bani Hasyim dan Bani Muththalib), dimana antara laki-laki dan perempuannya disamaratakan. Bani Muththalib mendapatkan 1/5 bersama Bani Hasyim sedangkan Bani Abdi Manaf yang lain tidak, karena mereka (Bani Muththalib) ikut serta dengan Bani Hasyim dalam masuknya mereka ke dalam satu suku besar ketika orang-orang Quraisy mengadakan kesepakatan untuk menjauhi dan memusuhi mereka; mereka menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbeda dengan selain mereka. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang Bani Muththalib, “Sesungguhnya mereka tidak berpisah denganku di masa Jahiliyyah maupun Islam.”
– 1/5 untuk anak-anak yatim yang fakir, yaitu anak-anak yang ditinggal wafat bapaknya sedangkan mereka belum baligh.
– 1/5 untuk orang-orang miskin, dan
– 1/5 lagi untuk Ibnus Sabil, yaitu orang asing yang terputus dalam perjalanan karena kehabisan bekal.