Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut ini merupakan pembahasan seputar shulh, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.

Hukum-hukum Seputar Shulh (Pendamaian)

Shulh secara bahasa artinya melerai permusuhan. Sedangkan secara syara’ artinya ‘akad untuk mengakhiri pertengkaran antar kedua pihak yang saling bertengkar. Shulh adalah akad yang paling besar faedahnya, oleh karena itu dibolehkan berdusta apabila dibutuhkan.

Para pelaku shulh disebut mushaalih, sedangkan hak yang direbutkan sebagai mushaalah ‘anh. Adapun yang diberikan oleh salah satunya kepada yang lain untuk melerai permusuhan disebut mushaalah ‘alaih atau badalush shulh.

Dalil Disyari’atkan Shulh

Shulh disyari’atkan berdasarkan Alquran, As Sunnah dan ijma’ agar terwujud persamaan setelah sebelumnya berselisih dan agar tidak ada lagi permusuhan antara kedua orang yang bersengketa.

Dalam Alquran Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka, kecuali bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An Nisaa’: 114)

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tetapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Hujurat: 9)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً

“Shulh itu dibolehkan antara kaum muslimin, kecuali shulh yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban dari ‘Amr bin ‘Auf, Tirmidzi menambahkan “Wal muslimuun ‘alaa syuruuthihim” (kaum muslimin sesuai syarat yang mereka buat), Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Hadits tersebut juga dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah (1905)).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam prakteknya juga memberlakukan shulh terhadap manusia.

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kembalikanlah orang-orang yang bertengkar agar kembali damai, jika keputusan diselesaikan malah akan mengakibatkan dendam.”

Kaum muslimin juga sepakat bahwa shulh disyari’atkan antara kedua pihak yang betengkar.

Ketahuilah, bahwa derajat orang yang mendamaikan dua orang yang bertengkar melebihi derajat orang yang berpuasa sunat dan qiyamul lail. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلاَةِ وَالصَّدَقَةِ ». قَالُوا بَلَى. قَالَ « إِصْلاَحُ ذَاتِ الْبَيْنِ وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ الْحَالِقَةُ

Maukah kalian aku beritahukan amalan yang lebih utama dari derajat puasa (sunat), shalat (sunat) dan bersedekah?” Para sahabat menjawab, “Ya.” Beliau menjawab, “Yaitu mendamaikan dua pihak yang bertengkar, dan rusaknya hubungan dapat memangkas agama.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi dari Abud Darda’, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2595).

Orang yang melakukan islah hendaknya mengetahui realita yang ada, mengenal kewajiban dan bermaksud adil.

Shulh hanyalah dalam hak makhluk yang sebagiannya memiliki hak pada sebagian yang lain, yakni dalam hal yang siap diterima adanya pengguguran dan pemberian ganti.

Adapun dalam hak Allah seperti hudud dan zakat, maka tidak bisa berlaku shulh, karena shulh dalam hak Allah harus dipenuhi secara sempurna.

Macam-Macam Shulh

Shulh antar manusia ada lima macam:

  1. Shulh antar kaum muslimin dan kaum kafir yang diperangi.
  2. Shulh antar kaum yang adil dan kaum yang memberontak (lhat Al Hujurat: 9).
  3. Shulh antar suami dan istri, jika dikhawatirkan terjadi perselisihan (lihat An Nisaa’: 35 dan 138).
  4. Shulh antara dua pihak yang bertengkar dalam selain harta.
  5. Shulh antar dua pihak yang bertengkar dalam hal harta.

Shulh yang kelima inilah yang akan dibahas secara panjang lebar di sini, insya

Rukun Shulh

Rukun shulh itu ijab dan qabul dengan semua lafaz yang menunjukkan shulh. Misalnya si terdakwa berkata, “Saya mengajakmu melakukan shulh (damai) dengan memberikan kepadamu 100.000,- yang sebelumnya 50.000,-“, lalu yang lain berkata: “Saya terima.” Dsb.

Jika shulh telah sempurna, maka:

  • Ia menjadi ‘akad yang lazim (harus) berlaku antara kedua belah pihak, sehingga tidak sah membatalkan secara sepihak tanpa ada keridhaan dari yang lain.
  • Pendakwa memiliki hak menerima badal shulh dan si terdakwa tidak berhak menarik lagi.
  • Dakwaan pendakwa tidak didengar lagi setelahnya.

Syarat Shulh

Syarat shulh ada yang terkait dengan pelaku shulh (mushalih), ada yang terkait dengan sesuatu atau harta yang dipakai untuk melakukan shulh (mushaalah bih/badal shulh) dan ada yang terkat dengan hak yang yang dipersengketakan (mushaalah ‘anh).

Syarat Mushalih

Disyaratkan untuk pelaku shulh harus orang yang memang sah bertabarru’ (merelakan sesuatu), jika mushalih termasuk orang yang tidak sah tabarru’nya misalnya orang gila, anak kecil, wali anak yatim atau nazhir (pengawas) waqaf, maka shulhnya tidak sah, karena shulh merupakan tabarru’ (memberi secara sukarela), sedangkan mereka tidak memiliki hak terhadapnya. Namun shulh yang dilakukan anak kecil yang sudah tamyiz, wali anak yatim dan nazhir waqf sah jika ada manfaat bagi si anak, si yatim maupun bagi waqaf. Misalnya ada hutang yang ditanggung orang lain, dan ternyata tidak ada bukti yang menunjukkan hutangnya, lalu ia mengadakan shulh dengan hanya mengambil sebagian hutangnya dan membiarkan sebagiannya lagi.

Syarat Barang yang Dipakai Shulh (mushaalah bih/badal shulh)

  1. Harta tersebut bernilai, bisa diserahkan atau ada manfaatnya.
  2. Diketahui dengan pengetahuan yang meniadakan kemajhulan (ketidakjelasan) yang besar sehingga menimbulkan pertengkaran, jika butuh serah-terima.

Ulama madzhab Hanafi berkata, “Jika tidak butuh serah terima, maka tidak disyaratkan harus diketahui, sebagaimana jika masing-masing dari dua orang mendakwakan memiliki sesuatu pada yang lain, lalu keduanya sama-sama melakukan shulh di mana keduanya menjadikan haknya sebagai badal shulh namun tanpa diketahui oleh yang lain. Imam Syaukani menguatkan bolehnya melakukan shulh dengan barang yang majhul.

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ جَاءَ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ يَخْتَصِمَانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَوَارِيثَ بَيْنَهُمَا قَدْ دُرِسَتْ لَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ أَوْ قَدْ قَالَ لِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَإِنِّي أَقْضِي بَيْنَكُمْ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلَا يَأْخُذْهُ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ النَّارِ يَأْتِي بِهَا إِسْطَامًا فِي عُنُقِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَبَكَى الرَّجُلَانِ وَقَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَقِّي لِأَخِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا إِذْ قُلْتُمَا فَاذْهَبَا فَاقْتَسِمَا ثُمَّ تَوَخَّيَا الْحَقَّ ثُمَّ اسْتَهِمَا ثُمَّ لِيَحْلِلْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْكُمَا صَاحِبَهُ

Dari Ummu Salamah  radhiyallahu ‘anha ia berkata, Ada dua orang yang datang mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah warisan antara keduanya yang tidak jelas lagi ciri-cirinya, dan masing-masing tidak memiliki bukti, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian mengadukan kepadaku, padahal aku hanyalah manusia, mungkin saja salah seorang di antara kamu lebih pandai beralasan daripada yang lain. Saya memutuskan hanyalah berdasarkan yang saya dengar, siapa saja yang telah saya tetapkan sehingga memperoleh hak saudaranya, maka janganlah mengambil, karena sebenarnya saya memberikan kepadanya sepotong api yang akan dibawanya besi itu di lehernya pada hari kiamat.” Lalu keduanya menangis dan masing-masingnya berkata kepada yang lain, “Hak saya untuk saudara saya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun jika kamu berdua berkata begitu, maka pergilah dan bagilah berdua dan niatkanlah mencari yang hak dan lakukanlah undian (setelah dilakukan pembagian), lalu masing-masing hendaknya menghalalkan saudaranya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkata, “Isnadnya hasan.”)

Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud disebutkan:

وَإِنَّمَا أَقْضِي بَيْنَكُمْ بِرَأْيِيْ فِيْمَا لَمْ يَنْزِلْ عَلَيَّ فِيْهِ

Sesungguhnya yang saya putuskan merupakan pendapat saya karena tidak turun ayat tentangnya.”

Imam Syaukaani berkata, “Di sana terdapat dalil sahnya merelakan yang masih majhul, karena tanggungan yang ada pada masing-masingnya tidaklah maklum (diketahui). Di sana juga menunjukkan sahnya shulh dengan yang ma’lum (diketahui) terhadap yang majhul (belum jelas), akan tetapi harus adanya tahlil (yakni syarat menghalalkan). Dalam al-Bahr disebutkan dari An Naashir dan Imam Syaafi’I, Bahwa tidak sah mengadakan shulh dengan sesuatu yang ma’lum terhadap sesuatu yang majhul.”

Bersambung…

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.

Oleh: Marwan bin Musa

Artikel www.yufidia.com

Maraji’: Fiqh Muyassar Fii Dhau’il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At Tirmidzi, Al Maktabatusy Syamilah dll.

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28