Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan pembahasan seputar shulh, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Syarat Mushaalah ‘Anh (Hak yang Dipersengketakan)
Disyaratkan untuk mushalah ‘anh syarat-syarat berikut:
- Harta tersebut bernilai atau ada manfaatnya, dan tidak disyaratkan mengetahuinya, karena tidak butuh diserahkan.
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ أَبَاهُ قُتِلَ يَوْمَ أُحُدٍ شَهِيدًا وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَاشْتَدَّ الْغُرَمَاءُ فِي حُقُوقِهِمْ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُمْ أَنْ يَقْبَلُوا تَمْرَ حَائِطِي وَيُحَلِّلُوا أَبِي فَأَبَوْا فَلَمْ يُعْطِهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَائِطِي وَقَالَ سَنَغْدُو عَلَيْكَ فَغَدَا عَلَيْنَا حِينَ أَصْبَحَ فَطَافَ فِي النَّخْلِ وَدَعَا فِي ثَمَرِهَا بِالْبَرَكَةِ فَجَدَدْتُهَا فَقَضَيْتُهُمْ وَبَقِيَ لَنَا مِنْ تَمْرِهَا ” . وفي لفظ ” أَنَّ أَبَاهُ تُوُفِّيَ وَتَرَكَ عَلَيْهِ ثَلَاثِينَ وَسْقًا لِرَجُلٍ مِنْ الْيَهُودِ فَاسْتَنْظَرَهُ جَابِرٌ فَأَبَى أَنْ يُنْظِرَهُ فَكَلَّمَ جَابِرٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَشْفَعَ لَهُ إِلَيْهِ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَلَّمَ الْيَهُودِيَّ لِيَأْخُذَ ثَمَرَ نَخْلِهِ بِالَّذِي لَهُ فَأَبَى فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّخْلَ فَمَشَى فِيهَا ثُمَّ قَالَ لِجَابِرٍ جُدَّ لَهُ فَأَوْفِ لَهُ الَّذِي لَهُ فَجَدَّهُ بَعْدَمَا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَوْفَاهُ ثَلَاثِينَ وَسْقًا وَفَضَلَتْ لَهُ سَبْعَةَ عَشَرَ وَسْقًا
Dari Jabir, bahwa ayahnya terbunuh dalam peperangan Uhud sebagai syahid dan ia memiliki utang, lalu para penagihnya meminta haknya dengan keras, (Jabir berkata), “Lalu saya mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta mereka untuk menerima buah yang ada di kebunku dan menghalalkan ayahku, namun mereka enggan, sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan kepada mereka kebunku, Beliau bersabda (kepadaku), “Besok pagi, kami akan menemuimu,” maka Beliau pun menemui kami di pagi harinya, lalu Beliau mengelilingi pohon kurma dan mendoakan keberkahan untuk buahnya. Aku pun memetiknya dan membayar utang itu dan masih tersisa buahnya.”
Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Bahwa ayahnya wafat dengan meninggalkan utang sebanyak 30 wasq (1 wasq = 60 sha’) kepada seorang yahudi, lalu Jabir meminta orang itu untuk menunggu tetapi ia tidak mau menunggu, maka Jabir berbicara dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Beliau untuk membantu, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan berbicara dengan orang Yahudi agar ia mau mengambil buah yang ada di pohon kurma, namun ia tetap saja menolak, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk (ke kebun) kurma dan berjalan di dalamnya, kemudian Beliau bersabda kepada Jabir, “Petiklah buah itu dan bayarkanlah kepadanya.” Maka Jabir memetiknya sepulang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia membayarkan 30 wasq dan masih tersisa 17 wasq lagi.” (HR. Bukhari)
Imam Syaukani berkata, “Dalam hadis tersebut menunjukkan bolehnya shulh untuk hal yang ma’lum (diketahui) dengan sesuatu yang masih majhul (belum jelas).
- Berupa hak di antara hak-hak hamba, di mana boleh diganti dengannya meskipun selain harta seperti halnya qishas.
Adapun jika terkait dengan hak Allah Ta’ala maka tidak bisa diadakan shulh. Oleh karena itu, jika seorang pezina, pencuri atau peminum minuman keras mengadakan shulh kepada orang yang menangkapnya agar tidak melaporkan kepada hakim dengan membayar sekian harta agar dilepaskan, maka shulh tersebut tidak boleh. Karena tidak sah mengambil ganti (upah) terhadap hal tersebut. Bahkan mengambil ganti dalam keadaan seperti ini merupakan risywah (sogok). Demikian juga tidak sah shulh terhadap had qadzaf, karena had tersebut disyari’atkan agar membuat orang lain jera dan mencegah orang lain agar tidak mengganggu kehormatan seseorang. Hal tersebut, meskipun terdapat hak hamba, akan tetap haki Allah lebih besar di sana. Kalau ada yang mengadakan shulh dengan memberi uang terhadap seorang saksi agar ia menyembunyikan persaksian, baik terkait dengan Allah Ta’ala atau hak Anak Adam, maka shulh tersebut tidak sah karena haramnya menyembunyikan persaksian. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
“Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Baqarah: 283)
Allah Ta’ala juga berfirman:
“Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. ” (Ath Thalaaq: 2)
Demikian juga shulh tidak sah untuk meninggalkan hak syuf’ah, yakni seorang pembeli membujuk syafi’ (sekutu barang milik bersama) agar ia mau meninggalkan syuf’ahnya, (Tetapi di antara ulama ada yang berpendapat bahwa shulh seperti ini boleh jika disetujui oleh syafii).
Demikian juga tidak sah shulh di atas dakwaan perkawinan.
Pembagian Shulh
Shulh ada yang berupa shulh ‘an iqraar, shulh ‘an inkaar atau shulh ‘an sukut.
Pertama, Shulh ‘an iqraar adalah seseorang mendakwakan ada utang pada orang lain atau barang atau manfaat, lalu si terdakwa mengakuinya, kemudian keduanya mengadakan shulh dengan syarat si pendakwa mengambil sesuatu dari si terdakwa. Hal itu, karena biasanya seseorang mau menggugurkan haknya atau sebagiannya karena shulh. Imam Ahmad berkata, “Kalau seandainya di sana ada seorang yang memberikan syafa’at (pembelaan), maka ia tidaklah berdosa, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara kepada para penagih Jabir, lalu mereka menurunkan separuh utangnya, Beliau juga pernah berbicara dengan Ka’ab bin Malik, hingga akhirnya utangnya dikurangi separuh.”
Imam Ahmad mengisyaratkan hal itu dengan hadis yang diriwayatkan oleh Nasa’i dan lainnya dari Ka’ab bin Malik sbb.:
أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِي حَدْرَدٍ دَيْنًا كَانَ عَلَيْهِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ فِي بَيْتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا فَكَشَفَ سِتْرَ حُجْرَتِهِ فَنَادَى: «يَا كَعْبُ» قَالَ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «ضَعْ مِنْ دَيْنِكَ هَذَا» وَأَوْمَأَ إِلَى الشَّطْرِ، قَالَ: قَدْ فَعَلْتُ قَالَ: «قُمْ فَاقْضِهِ»
“Bahwa ia pernah menagih utang kepada Ibnu Abi Hadrad (ketika di masjid), suara keduanya pun mengeras sehingga terdengar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ketika itu Beliau berada di rumahnya, maka Beliau pun keluar dan membuka tirai kamarnya dan memanggil, “Wahai Ka’ab!” Ia menjawab, “Ya, wahai Rasulullah,” Beliau bersabda, “Turunkanlah utangmu.” Beliau berisyarat agar sampai separuh. Maka Ka’ab menjawab, “Saya akan lakukan wahai Rasulullah.” Lalu Beliau bersabda kepada yang berutang, “Bangun dan bayarlah utangmu.” (Hadis ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani)
Di samping itu, si terdakwa jika mengakui uang itu lalu ia mengadakan shulh dengan uang juga, maka ini merupakan sharf (penukaran uang) dan diperhatikan syarat-syaratnya. Namun, jika ia mengakui uang itu, lalu mengadakan shulh dengan barang atau kebalikannya, maka hal ini merupakan jual beli yang berlaku hukum-hukum jual beli di sana.
Jika ia mengakui uang atau barang lalu mengadakan shulh dengan memberikan manfaat seperti memberikan kesempatan untuk menempati sebuah rumah atau memberikan pelayanan, maka hal ini merupakan ijarah yang berlaku hukum ijarah di sana. Jika seseorang telah berhak memperoleh hak yang dipersengketakan itu, maka termasuk hak si terdakwa menarik kembali badal shulh, karena ia tidaklah memberikan kecuali untuk diserahkan kepadanya apa yang ada di tangannya.
Jika ia telah berhak menerima badal shulh, maka pendakwa beralih kepada si terdakwa, karena ia tidaklah meninggalkan dakwaan kecuali karena akan diserahkan badal shulh.
Shulh ‘an Iqraar ini terbagi dua:
- Ada yang terjadi sesuai jenis hak (disebut juga shulhul ibraa’).
- Ada yang terjadi pada selain jenisnya (disebut juga shulhul mu’awadhah).
Pertama, yang terjadi sesuai jenisnya, misalnya seseorang mengakui bahwa orang lain memiliki utang yang ada padanya atau barang pada tangannya, lalu diadakan shulh dengan mengambil sebagian utang dan menggugurkan sebagiannya lagi, atau menghibahkan sebagian barang dan mengambil sebagiannya lagi. Shulh ini dianggap sah jika tidak disyaratkan dalam iqrar, misalnya orang yang berkewajiban membayar mengatakan, “Ya saya akui, dengan syarat anda memberiku atau memberi gantiku barang ini,” atau pemilik hak mengatakan, “Saya bebaskan kamu dari membayar dengan syarat kamu harus memberiku barang ini.” Jika disyaratkan seperti ini, maka tidak sah, karena sama saja memakan harta orang lain dengan jalan yang haram. Di samping itu seharusnya orang yang berkewajiban menyerahkannya tanpa syarat. Untuk keabsahannya juga disyaratkan bahwa pemilik hak termasuk orang yang sah tabarru'(memberi secara sukarela)nya melakukan infaq. Jika tidak demikian, maka tidak sah. Misalnya adalah wali bagi harta anak yatim atau orang gila, padahal dia tidak memilikinya.
Kesimpulannya boleh melakukan shulh pada hak yang memang tsabit (tetap) dengan sesuatu yang sejenisnya, dengan syarat orang yang berkewajiban tidak menolak membayar dengan selain shulh ini dan pemilik hak termasuk orang yang sah sikap tabarru’nya. Jika syarat ini terpenuhi, maka shulh diperbolehkan karena termasuk tabarru’, dan seseorang tidak dihalangi untuk menggugurkan sebagian haknya sebagaimana tidak dihalangi untuk meminta semua haknya.
Kedua, yang terjadi pada selain jenisnya, misalnya seseorang mengakui suatu utang atau barang, kemudian melakukan shulh dengan mengambil ganti yang berbeda jenisnya. Jika melakukan shulh karena sebuah uang, lalu diganti dengan uang yang lain sejenis, maka ini masuknya ke dalam masalah sharf, berlaku padanya hukum sharf. Namun jika shulh karena sebuah uang, lalu diminta ganti dengan selain uang, maka ini dianggap jual beli, yang berlaku padanya hukum jual beli. Dan jika melakukan shulh dengan ganti memanfaatkan, misalnya menempati rumahnya, maka ini dianggap ijarah, berlaku padanya hukum ijarah. Dan jika melakukan shulh pada selain uang dengan ganti harta yang lain, maka itu adalah jual beli.
Kedua, Shulh ‘an inkaar adalah seorang mendakwaan barang atau utang atau manfaat pada orang lain, lalu dakwaannya diingkari kemudian keduanya mengadakan shulh.
Ketiga, Shulh ‘an sukuut adalah seorang mendakwakan adanya hak pada orang lain seperti di atas, namun si terdakwa diam saja, tidak mengakui maupun mengingkari.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Oleh: Marwan bin Musa
Artikel www.Yufidia.com
Maraji’: Fiqh Muyassar Fii Dhau’il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At Tirmidzi, Al Maktabatusy Syamilah dll.