Fiqh Seputar Jiwar (Bertetangga) dan Thuruqaat (Jalan)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Pada kesempatan ini kami hadirkan pembahasan seputar jiwar (bertetangga) dan thuruqat (jalan), semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amiin.
Hukum-hukum Seputar Jiwar
Sebagian fuqaha’ (para ahli fiqh) membahas masalah tetangga dan jalan karena masalah ini termasuk masalah penting.
Terkadang antar tetangga terjadi masalah yang bisa mengakibatkan pertengkaran dan permusuhan. Jalan keluarnya dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya dengan memberlakukan shulh yang bisa mewujudkan keadilan dan kemaslahatan.
Oleh karena itu, jika tetangga butuh mengalirkan air yang mengena kepada tanah tetangganya atau permukaannya lalu melakukan shulh dengan imbalan, maka shulh ini boleh karena dibutuhkan.
Jika imbalan ini diberikan karena memanfaatkan dengan masih tetapnya harta milik si pemilik tanah, maka akad ini dianggap ijarah. Tetapi jika sampai hilang kepemilikan, maka dianggap jual beli.
Dan jika tetangga butuh melewati milik tetangganya, sedangkan tetangga hanya mau memberikan jalan melalui jual beli atau dengan cara shulh, maka hukumnya boleh karena dibutuhkan. Bagi pemiliknya tidak patut memanfaatkan keadaan tetangganya yang butuh, sehingga ia memaksa tetangganya memberikan ganti/imbalan, dimana jika tidak diberi imbalan, maka ia enggan memberikan jalan, ia mempersempit tetangganya dan menghalangi maslahatnya.
Jika dahan pohon miliknya memanjang sampai ke bagian atas atau ke udara tetangganya atau ke tempat milik tetangganya, maka bagi pemilik dahan harus menghilangkan dahan itu, baik dengan dipotong atau dipindahkan ke arah lain agar tidak mengenai milik tetangganya. Jika ternyata pemilik dahan tidak mau berbuat itu, maka tetangganya berhak menghilangkan, karena hal ini ibarat penyerang, maka dicegah dengan cara yang mudah dilakukan.
Namun jika keduanya melakukan shulh agar dahannya tetap seperti itu, maka boleh dilakukan, baik dengan adanya bayaran atau dengan syarat buahnya dibagi dua.
Hukum akar pohon jika ada di tanah tetangga sama seperti hukum dahan pohon di atas.
Seseorang tidak boleh mengadakan pada miliknya sesuatu yang dapat membahayakan tetangganya seperti membuat pabrik yang suaranya mengganggu tetangga atau membuka jendela yang memanjang ke rumah tetangganya.
Jika antara tetangga ada tembok yang menjadi milik bersama, maka ia haram bertindak sendiri terhadapnya seperti dengan membuat lengkung bangunan atau menancapkan pasak kecuali dengan izinnya. Ia tidak boleh menaruh kayu ke atas dinding milik bersama atau milik khusus kecuali jika darurat; jika pemasangan atap tidak bisa tegak kecuali dengannya dan temboknya bisa diletakkan kayu. Ketika ini bisa ditaruh kayu berdasarkan hadis Abu Hurairah yang marfu’:
لاَ يَمْنَعْ جَارٌ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَهُ فِي جِدَارِه
“Janganlah sekali-kali seorang tetangga melarang tetangganya menaruh kayu di atas temboknya”[1],
lalu Abu Hurairah mengatakan, “Mengapa aku melihat kalian berpaling darinya? Demi Allah, saya akan letakkan kayu ini ke atas pundak-pundak kalian (melakukannya secara paksa).” (Muttafaq ‘alaih)
Hadis ini menunjukkan bahwa tetangga tidak boleh melarang tetangganya menaruh kayu di temboknya, dan hakim akan memaksa begitu jika ia tetap enggan, karena ini adalah hak yang tetap bagi tetangganya berdasarkan hukum bertetangga.
Kesimpulan Hukum Jiwar dan Thuruqat
Tetangga memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh tetangganya yang lain, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu diberi saran oleh malaikat Jibril agar memperhatikan tetangga. Beliau bersabda,
مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُه
“JIbril senantia berpesan kepadaku terhadap tetangga, sehingga aku mengira, bahwa ia akan menjadikannya sebagai ahli waris.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, barang siapa yang butuh kepada tetangganya, seperti butuh mengalirkan air ke tanahnya atau jalan miliknya, dan sebagainya, maka tetangganya harus memenuhi kebutuhannya, baik dengan bayaran maupun tidak.
Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mengadakan pada area miliknya sesuatu yang mengganggu tetangga, seperti membuka jendela yang menanungi rumahnya, atau pabrik yang mengganggu tetangganya karena suara kerasnya, dsb.
Jika antara keduanya ada dinding yang disekutui (dimiliki bersama), maka ia tidak bertindak dan meletakkan kayu di atasnya kecuali jika darurat, seperti butuh kepadanya untuk membuat atap, maka tetangganya yang lain tidak boleh menghalanginya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَمْنَعْ جَارٌ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَهُ فِي جِدَارِه
“Janganlah seorang tetangga menghalangi tetangganya yang lain menancapkan kayu (untuk atap rumahnya) di dindingnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hukum-hukum Seputar Jalan
1. Tidak boleh mempersempit jalan kaum muslim, bahkan harus melapangkan jalan dan menyingkirkan hal yang mengganggu darinya. Bahkan yang demikian termasuk bagian keimanan.
2. Tidak boleh mengadakan pada area miliknya sesuatu yang menyempitkan jalan.
3. Tidak diperbolehkan mengadakan pada miliknya sesuatu yang mempersempit jalan. Misalnya membangun atap di atas jalan yang membuat para pengendara susah lewat atau membuat tempat duduk di jalan.
4. Tidak boleh menjadikan sebuah tempat pemberhentian untuk hewan atau kendaraannya di jalan yang dipakai orang lewat, karena yang demikian dapat membuat jalan menjadi sempit dan menyebabkan kecelakaan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak boleh bagi seseorang mengeluarkan sesuatu dari bagian bangunan ke jalan kaum muslim …dst.”
5. Jalan adalah hak bersama, oleh karena itu harus menjaganya dari semua yang mengganggu orang yang lewat,seperti membuang sampah di jalan, karena menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan termasuk cabang keimanan.
6. Di jalan umum juga dilarang menanam, membuat bangunan, membuat galian, menaruh kayu, menyembelih binatang, membuang sampah dan menaruh sesuatu yang berhaya bagi orang yang lewat.
7. Bagi pihak berwenang juga harus mengatur kota dan mencegah hal-hal yang mengganggu jalan, menghukum orang yang menyalahi aturan agar berhenti dari perbuatannya itu.
Banyak orang meremehkan masalah ini, padahal penting. Sehingga kita lihat banyak orang yang membatasi jalan umum untuk kepentingan pribadi, dipakai buat menaruh kendaraan, menaruh batu-batu, besi dan semen untuk bangunannya dan dibuatkan galian. dsb.
Sedangkan yang lain ada yang membuang kotoran berupa sampah, barang najis maupun sisa-sia di pasar-pasar, tidak peduli akan bahayanya bagi kaum muslim. Hla ini adalah haram, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzaab: 58)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Orang muslim adalah orang yang dapat menjaga lisan dan tangannya dari mengganggu muslim yang lain.” (HR. Bukhari)
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ ».
“Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan Laailaahaillallah, sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan hadis-hadis lainnya yang mendorong menghormati hak kaum muslim dan tidak mengganggu mereka. Termasuk mengganggu mereka adalah mempersempit jalan kaum muslim dan meletakkan rintangan-rintangan di sana.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Artikel www.Yufidia.com
Maraji’: Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Fiqh Muyassar, dll.
[1] Para ulama berbeda pendapat tentang makna hadits ini, apakah ia adalah anjuran memberikan kesempatan kepada tetangga untuk meletakkan kayu di atas dinding tetangganya atau ia hukumnya wajib. Pendapat yang menyatakan wajib sesuai dengan zhahir hadits.