Kaidah:

“Asal setiap muamalah adalah adil dan larangan berbuat zalim serta memperhatikan kemaslahatan kedua belah pihak dan menghilangkan kemudharatan.”

Pengertian Kaidah

Islam dan semua syariat Allah mewajibkan keadilan dan mengharamkan kezaliman dalam segala sesuatu dan kepada segala sesuatu. Allah mengutus para rasul-Nya dengan membawa kitab-kitab suci dan neraca keadilan, agar manusia menegakkan keadilan pada hak-hak Allah dan makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-butki yang nyata, serta telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)

Untuk menegaskan perintah adil dan pengharaman kezaliman Allah, pertama adalah Allah mengharamkan atas diri-Nya, kemudian Allah menjadikannya terlarang di antara makhluk-Nya, sebagaimana tertuang dalam hadis qudsi yang berbunyi:

Sungguh Allah Tabraka wa Ta’ala telah berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, sungguh Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan menajdikannya terlarang di antara kalian, maka janganlah saling menzalimi!’” (HR. Muslim)

Hal ini karena kezaliman adalah sumber kerusakan, sedang keadilan adalah sumber kesuksesan yang menjadi tonggak kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, manusia sangat membutuhkan keadilan dalam segala kondisi. Ketika perniagaan dan muamalah adalah pintu yang besar bagi kezaliman manusia dan pintu untuk memakan harta orang lain dengan batil, maka larangan zalim dan pengharamannya termasuk maqashid syar’iyyah terpenting dalam muamalah. Kewajiban berbuat adil dan larangan berbuat zalim menjadi kaidah terpenting dalam muamalah.

Dasar Kaidah

Banyak nash (dalil) Alquran dan sunah yang memerintahkan berbuat adil dan melarang berbuat zalim, di antaranya adalah:

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) untuk menetapkan dengan adil apabila menetapkan hukum di antara manusia.” (QS. An-Nisa: 58)

Ayat di atas berisi perintah merealisasikan dan menegakkan keadilan di antara manusia, karena seluruh larnagan Allah kembali kepada kezaliman.

Adapun hadis-hadis larangan dan pengharaman kezaliman dan muamalah sangat banyak, di antaranya:

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kaian diharamkan di antara kalian seperti keharaman hari kalian ini, bulan kalian, di negeri kaian ini.”

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Atas setiap muslim terhadap muslim lainnya diharamkan darah, harta, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)

Di antara dalil kewajiban berbuat adil dan larangan zalim adalah ijma (kesepakatan) ulama tentang pengharaman mengambil harta orang lain dengan zalim dan permusuhan.

Urgensi Kaidah

Melalui hal ini, telah jelaslah bahwa keadilan dan larangan zalim adalah pokok wajib dalam muamalah, karena hanya dengannya muamalah manusia akan baik dan langgeng.

Ibnu Taimiyah menyatakan, “Wajib mengadili manusia dalam permasalah harta dengan adil sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, seperti pembagian warisan kepada ahli waris sesuai dengan tuntunan Alquran dan sunah. Demikian juga dalam muamalah, berupa jual beli, sewa-menyewa, wakalah, syarikat, pemebrian, dan sejenisnya dari muamalah yang berhubungan dengan akad transaksi dan serah terima, maka bersikap adil dalam masalah tersebut adalah tonggak alam semesta yang mejadi dasar baiknya dunia dan akhirat.”

Di antara bentuk sikap adil dalam muamalah ada yang sudah jelas, semua orang mengetahuinya dengan akal mereka, seperti kewajiban membayar bagi pembeli, kewajiban penjual menyerahkan barang kepada pembeli, pengharaman mengurangi timbangan dan takaran, kewajiban jujur dan menjeaskan keadaan barangnya, pengharaman dusta, khianat, dan bohong, balasan utang adalah penunaiannya (pada temponya), serta pujian.

Ada juga yang tidak jelas dan dijelaskan syariat kita karena seluruh muamalah yang dilarang oleh Alquran dan sunah kembali kepada realisasi keadilan dan larangan berbuat zalim.”

Penerapan Kaidah

1. Larangan Riba

Syariat melarang riba karena berisi kezaliman dan ketidakadilan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 2750

2. Larangan Perjudian

Allah melarang perjudian karena termasuk memakan harta orang lian dengan batil. Allah berfirman,

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90)

Bahkan, seluruh muamalah yang dilarang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah karena di dalamnya terdapat kezaliman dan untuk meralisasikan keadilan.

3. Disyariatkannya “Khiyar Majlis

Syariat Islam juga memperhatikan kemaslahatan kedua pihak transaktor dengan mensyariatkan beberapa aturan, seperti khiyar majlis (hak pilih di majelis), ini disyariatkan untuk mewujudkan keadilan dan memperhatikan kemaslahatan dua pihak pelaku transaki. Dasar aturan ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Apabila dua orang berjual beli, maka setiap orang memiliki hak pilih selama belum berpisah dan keduanya bersepakat, atau (bila) salah satunya memberikan pilihan kepada yang lainnya lalu terjadi jual beli atas hal itu, maka wajib terjadi jual beli. (Dan) bila telah berpisah setelah akad jual beli dan tidak ada yang menggagalkannya, maka wajib jual belinya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Ibnul Qayyim meyatakan, “Syariat menetapkan khiyar majelis dalam jual beli untuk hikmah dan maslahat kedua pelaku transaksi, serta untuk mendapatkan kesempurnaan ridha yang Allah syariatkan dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

Kecuali perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka.”
Akad transaksi terkadang ada dengan mendadak tanpa diteliti secara seksama dalam nilainya. Oleh karena itu, keindahan syariat Islam yang sempurna menjadikan akad berjangka waktu untuk kedua pelaku transaksi mencermati dan meneliti sehingga setiap orang mengetahui keadaan secara utuh.

4. An-Najasy

An-Najasy didefinisikan sebagai tambahan pada harga satu barang dagangan dari orang yang tidak ingin membelinya agar orang lain terjebak padanya. Seseorang yang tidak ingin membeli barang, datang dan meninggikan harga barang agar pembeli mengikutinya, lalu menyangka bahwa ia tidak meninggikan harta barang tersebut kecuali memang pantas, sehingga ia terperdaya dengannya. Jual beli ini diharamkan karena berisi kezaliman. Dalilnya adalah hadis Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu yang berbunyi:

Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang an-najasy.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

5. Tas’ir

Yaitu intervensi otoritas dalam pengendalian dan pematokan harga. Hal ini dengan memaksa transaksi jual beli dengan harga tertentu dan tidak boleh dilanggar.

Pada asalnya, muamalah ini dilarang dengan kesepakatan ahli fiqih yang berdasarkan pada dalil-dalil di bawah ini:

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 29)

Tas’ir ini tidak dapat mewujudkan taradi (saling ridha).

Dari sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadis dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang berbunyi:

“Harga-harga barang mahal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, patoklah harga untuk kami!’ Lalu beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Allah-lah pematok harga yang menyepitkan dan melapangkan serta Maha Pemberi rezeki, dan sungguh aku berharap menjumpai Rabbku, dalam keadaan tidak seorang pun dari kalian yang menuntut dengan sebab kezaliman dalam darah dan harta’.” (HR. Abu Dawud)

Dalam hadis ini Nabi tidak melakukan tas’ir karena berisi kezaliman.

Demikianlah, hukum asal tas’ir adalah haram, namun para ulama mengecualikannya dengan beberapa keadaan di antaranya:

– Kebutuhan manusia terhadap barang tersebut.

– Adanya ihtikar (penimbunan) oleh produsen atau pedagng.

– Penjualan terbagi milik sekelompok orang saja.

Bahkan ada juga tas’ir yang diwajibkan karena ketiga hal di atas.

Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 8 Tahun Ke-11 1433 H

Artikel www.Yufidia.com

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28