Kita semua mengetahui bahwa bulan Rajab termasuk bulan haram, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللهُ السَّموَاتِ وَاْلأَرْضِ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ .
“Sesungguhnya zaman itu berputar seperti biasanya sejak Allah menciptakan langit dan bumi, setahun ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram, tiga berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Sedangkan Rajab pertengahan antara Jumada (Tsaniyah) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari-Muslim)
Mengapa Bulan Rajab Dinamakan “bulan haram”?
Para ulama berselisih mengapa empat bulan itu dinamakan bulan haram, ada yang mengatakan, “Karena tingginya kemuliaan bulan itu dan haramnya melakukan dosa di bulan-bulan itu”,
Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan –dari Ibnu Abbas-, ia berkata, “Allah mengkhususkan empat bulan dan menjadikannya haram (terpelihara) serta meninggikan kemuliaannya, menjadikan berbuat dosa di bulan-bulan itu lebih besar (dosanya) dan menjadikan amal saleh (di bulan-bulan itu) lebih besar pahalanya.”
Di antara ulama ada juga yang mengatakan, bahwa dinamakan sebagai bulan haram, karena haramnya melakukan peperangan di bulan-bulan itu.
Mengapa Dinamakan “Rajab”?
Ibnu Rajab Al Hanbaliy pernah mengatakan –secara makna-, “Dinamakan bulan Rajab itu dengan “Rajab” karena bulan itu “Yurjab”, yakni dimuliakan, dikatakan “Rajaba fulaanun maulaah” yakni ‘azh-zhamah’ (si fulan memuliakan tuannya). Ada juga yang mengatakan bahwa hal itu karena para malaikat memuliakan dengan bertasbih dan bertahmid di bulan itu, namun hadits tentang hal ini palsu.”
Kaum Jahiliah Memuliakan Bulan Rajab
Kaum Jahiliah dahulu memuliakan bulan Rajab, terlebih kabilah Mudhar, oleh karena itu dalam hadits di atas disebutkan “Wa Rajab mudhara…dst”
Ibnul Atsir dalam An Nihayah berkata, “Diidhafatkan (disambung) kata-kata Rajab dengan Mudhar, karena mereka (kabilah Mudhar) memuliakannya berbeda dengan lainnya, dari situ seakan-akan mereka mengistimewakannya.”
Di antara bentuk penghormatan mereka terhadap bulan itu adalah dengan mengharamkan perang di bulan itu, sampai-sampai mereka menamakan perang yang terjadi di bulan itu dengan nama “Harbul fajaar” (perang pelanggaran).
Mereka juga melakukan penyembelihan di bulan itu dengan nama “Al ‘Atiirah”, berupa kambing yang mereka sembelih untuk berhala mereka lalu darah tersebut dituangakan ke kepalanya. Kemudian Islam datang membatalkan perbuatan itu sebagaimana dalam hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim,
لَا فَرَعَ وَلَا عَتِيْرَةَ
“Tidak ada lagi fara’ (penyembelihan kepada berhala) dan ‘Atiirah.”
Pendapat Seputar Bulan Rajab
Sebagaian kaum salaf berkata, “Bulan Rajab adalah bulan menanam, Sya’ban adalah bulan menyiram tanaman dan bulan Ramadhan adalah bulan memetik hasilnya.”
Dalam sebuah do’a yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal bukan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dha’if) disebutkan,
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada kami pada bulan Rajab dan Sya’ban serta sampaikanlah kami hingga bulan Ramadhan.”
Untuk lebih rincinya mari kita bedah hal-hal yang berkaitan dengan bulan Rajab.
Keutamaan bulan Rajab
Ibnu Hajar pernah mengatakan, “Tidak ada hadits shahih yang bisa dijadikan hujjah tentang keutamaan bulan Rajab, maupun berpuasa di bulan itu dan hari-harinya, demikian juga tidak ada (keutamaan) melakukan qiyamul lail khusus di bulan itu…(Tabyiinul ‘ajab fiimaa warada fii fadhli Rajab hal. 9)
Ia juga mengatakan di kitab yang sama hal. 8, “Adapun hadits-hadits tegas yang datang tentang keutamaan Rajab ataupun keutamaan berpuasa di bulan itu dan hari-harinya dapat disimpulkan menjadi dua bagian; bisa dha’if, bisa juga maudhu’ (palsu)…”
Demikian juga tentang Umrah di bulan Rajab, sama sekali tidak ada asal-usulnya tentang keistimewaan umrah di bulan ini, bahkan yang ada keterangannya adalah berumrah di bulan Ramadhan sebagaimana dalam hadits yang shahih,
عُمْرَةٌ فِي رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً
“Berumrah di bulan Ramadhan itu seperti hajji.”
Shalat Raghaa’ib
Memang ada hadits yang menjelaskan tentang sifat shalat Raghaa’ib dan keutamaannya seperti yang disebutkan dalam kitab Ihyaa’ Uluumiddiin karya Al Ghazaaliy 1/202 berikut:
عن أنس عن النبي -صلى الله عليه وسلم- أنه قال: “ما من أحد يصوم يوم الخميس (أول خميس من رجب) ثم يصلي فيما بين العشاء والعتمة يعني ليلة الجمعة اثنتي عشرة ركعة ، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرة و((إنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ القَدْرِ)) ثلاث مرات، و((قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ)) اثنتي عشرة مرة ، يفصل بين كل ركعتين بتسليمة ، فإذا فرغ من صلاته صلى عليّ سبعين، فيقول في سجوده سبعين مرة: (سبوح قدوس رب الملائكة والروح) ، ثم يرفع رأسه ويقول سبعين مرة: رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم ، إنك أنت العزيز الأعظم ، ثم يسجد الثانية فيقول مثل ما قال في السجدة الأولى ، ثم يسأل الله (تعالى) حاجته ، فإنها تقضى”.. قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: “والذي نفسي بيده ، ما من عبد ولا أَمَة صلى هذه الصلاة إلا غفر الله له جميع ذنوبه ، ولو كانت مثل زبد البحر ، وعدد الرمل ، ووزن الجبال ، وورق الأشجار ، ويشفع يوم القيامة في سبعمئة من أهل بيته ممن قد استوجب النار
Dari Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda, “Tidak ada seorang pun yang berpuasa pada hari Kamis (Kamis pertama bulan Rajab), kemudian melakukan shalat antara setelah Isya dengan permulaan malam yakni pada malam Jum’at sebanyak 12 rak’at, di mana pada setiap rakaat dibacanya Al Fatihah sekali, Innaa anzalnaahu fii lailatil qadr 3x, Qulhuwallahu ahad 12x, setiap antara dua rak’at dipisah dengan salam, setelah selesai shalat bershalawat kepadaku 70x, ketika sujudnya mengucapkan “Suubuhun qudduusun Rabbul malaaikati war ruuh” 70x, lalu mengangkat kepalanya dan membaca sebanyak 70x “Rabbighfir warham, wa tajaawaz ‘ammaa ta’lam, innaka antal ‘aziizul a’zham”, kemudian sujud kedua dan mengucapkan seperti di sujud pertama. Setelah itu, ia meminta kepada Allah Ta’ala hajatnya, maka akan ditunaikan…Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan (sabdanya): “Demi Allah, yang diriku di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba laki-laki maupun wanita melakukan shalat ini sekali saja kecuali Allah akan mengampuni semua dosanya meskipun sebanyak buih di lautan, sebanyak jumlah pasir, seberat gunung, sebanyak daun di pohon dan akan diberikan syafa’at untuk 700 orang keluarganya yang seharusnya masuk neraka.”
Namun hadits ini menurut para ulama adalah hadits yang maudhu’ (palsu).
Ibnun Nuhaas mengatakan, “Perbuatan itu adalah bid’ah, hadits yang menyebutkan tentang hal itu palsu dengan kesepakatan ahli hadits.” (Tanbiihul Ghaafiliin hal. 496)
Di antara ulama lain yang menjelaskan kepalsuan hadits di atas adalah Ibnul Jauziy dalam Al Maudhuu’aat, Al Haafizh Abul Khaththab dan Abu Syaamah (lihat kitab Al Baa’its ‘alaa inkaaril bida’ wal hawaadits)
Demikian juga Ibnul Haaj dalam Al Madkhal (1/211), juga Ibnu Rajab dan para ulama lainnya.
Oleh karena itu Imam Nawawi berkata, “Perbuatan itu adalah bid’ah yang buruk, perlu diingkari dengan keras, isinya mengandung banyak kemungkaran, sudah tentu harus ditinggalkan dan dijauhi serta mengingkari pelakunya.” (Fatawa Al Imam An Nawawiy hal. 57)
Pencantuman hadits tersebut di kitab Ihyaa’ Uluumiddin, karena Imam Al Ghazaali -rahimanillah wa iyyah- memang mengakui bahwa dirinya tidak ahli dalam masalah hadits, ia sendiri berkata:
اَنَا مُزْجَى اْلبِضَاعَةِ فِيْ عِلْمِ الْحَدِيْثِ
“Perbendaharaan saya dalam ilmu hadits sangat kurang.”
Demikian juga tidak ada dasarnya shalat “Alfiyyah” yang dilakukan pada hari pertama bulan Rajab dan pada pertengahan bulan Sya’ban. Termasuk juga shalat “Ummu Daawud” yang dilakukan pada pertengahan Rajab, ini semua adalah diada-adakan, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ
“Barang siapa yang mengerajakan amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)
Israa’ dan Mi’raaj
Termasuk mukjizat besar Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah diperjalankan Beliau dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha kemudian dinaikkan ke langit, namun di zaman sekarang terjadi keganjilan yaitu diadakannya peringatan khusus berkenaan dengan Israa’-Mi’raaj pada tanggal 27 bulan Rajab, padahal riwayat tentang kejadian Israa’-Mi’raaj itu terjadi pada tanggal 27 bulan Rajab tidak shahih, Ibnu Hajar mengatakan –dari Ibnu Dihyah-, “Sebagian tukang cerita menyebutkan bahwa kejadian Israa’ itu pada bulan Rajab”, lalu ia mengomentari dengan mengatakan, “Itu adalah dusta.” (Tabyiinul ‘Ajab hal.6)
Ibnu Rajab berkata, “Diriwayatkan pernyataan itu dengan isnad yang tidak shahih dari Al Qaasim bin Muhammad bahwa Isra’nya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tanggal 27 Rajab, namun hal itu diingkari oleh Ibrahim Al Harbiy dan lainnya.” (Zaadul Ma’aad karya Ibnul Qayyim 1/275)
Kalau pun diketahui kapan terjadinya, namun tetap tidak dibenarkan memperingatinya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan para tabi’in tidak memperingatinya.
Adakah peristiwa besar di bulan Rajab?
Ibnu Rajab berkata, “Ada riwayat bahwa di bulan Rajab ada peristiwa-peristiwa besar, namun sama sekali tidak shahih, ada (juga) riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir di malam pertamanya, Beliau diutus pada malam ke-27-nya atau 25-nya, namun semua itu tidak ada yang shahih…” (Lathaa’iful Ma’aarif hal. 233)
Waqafat (renungan) Sejenak
Sufyan Ats Tsauriy pernah mengatakan,
كَانَ اْلفُقَهَاءُ يَقُوْلُوْنَ: لاَ يَسْتَقِيْمُ قَوْلٌ إِلاَّ بِعَمَلٍ ، وَلاَ يَسْتَقِيْمُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ إِلاَّ بِنِيَّةٍ ، وَلاَ يَسْتَقِيْمُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إِلاَّ بِمُوَافَقَةِ السُّنَّةِ
Dahulu kalangan para ahli fiqh berkata, “Ucapan itu tidak akan lurus tanpa amal, ucapan dan amal pun tidak akan lurus tanpa niat, demikian juga ucapan, amal dan niat tidak akan lurus tanpa sesuai dengan As Sunnah.” (Al Ibaanah Al Kubraa karya Ibnu Baththah 1/333)
Peringatan Israa’ dan Mi’raaj
Ketua majlis ulama Saudi Arabia Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baaz berkata:
وهذه الليلة التي حصل فيها الإسراء والمعراج لم يأتِ في الأحاديث الصحيحة تعيينها، لا في رجب ولا في غيره، وكلُّ ما ورد في تعيينها فهو غير ثابت عن النبي صلى الله عليه وسلم عند أهل العلم بالحديث ولله الحكمة البالغة في إنساء الناس لها، ولو ثبت تعيينها لم يجزْ للمسلمين أن يخصُّوها بشيء من العبادات، ولم يجزْ لهم أن يحتفلوا بها؛ لأنَّ النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه رضي الله عنهم لم يحتفلوا بها ولم يخصُّوها بشيء، ولو كان الاحتفال بها أمراً مشروعاً لبيَّنه الرَّسول صلى الله عليه وسلم للأُمّة، إما بالقول، وإما بالفعل، ولو وقع شيء من ذلك لعُرفَ واشتهر، ولَنَقَلهُ الصحابة رضي الله عنهم إلينا، فقد نقلوا عن نبيِّهم صلى الله عليه وسلم كلَّ شيء تحتاجه الأُمّة، ولم يُفرِّطوا في شيء من الدين، بل هم السابقون إلى كلِّ خير، ولو كان الاحتفال بهذه الليلة مشروعاً لكانوا أسبق إليه …
“Malam yang terjadi di sana Isra’ dan Mi’raj sama sekali tidak disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih kapan harinya, apakah bulan Rajab ataukah bulan lainnya, semua riwayat yang menjelaskan tentang kapannya tidak sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut ahli hadits. Allah memiiki hikmah yang dalam mengapa orang-orang melupakan (kapan hari)nya, kalaupun ada riwayat yang sah tentang kapan harinya, namun tetap tidak boleh bagi kaum muslimin mengkhususkannya dengan salah satu ibadah, juga tidak boleh memperingatinya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum tidak memperingatinya, juga tidak mengkhususkannya dengan satupun (ibadah), sekiranya memperingati hal itu masyru’ (disyari’atkan), tentu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada umat, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, dan jika memang demikian tentu hal tersebut akan dikenal dan masyhur, juga akan diriwayatkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum kepada kita, bukankah mereka telah menukilkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semua yang dibutuhkan umat, dan tidak meremehkan sedikit pun hal yang berkaitan dengan agama, bahkan mereka terdepan dalam kebaikan, sehingga jika memperingati malam ini (malam Israa’ Mi’raaj) masyru’ (disyari’atkan), tentu mereka sudah mendahuluinya…dst.”
Oleh: Marwan bin Musa
Artikel www.Yufidia.com
- Maraaji’: Al ‘Ajab mimmaa ahdatsan Naasu fii Rajab (Khaalid bin Ahmad Baabaathin), Fadhaa’il Syahri Rajab fil miizaan (Faishal bin Ali Al Ba’daaniy) dll.