Abu Ayyub al-Anshari رضي الله عنه
Sahabat yang mulia ini bernama Khalid bin Zaid bin Kulaib dari Bani an-Najjar. Adapun kun-yahnya maka dia adalah Abu Ayyub dengan penisbatan kepada Anshar.
Siapa di antara kita kaum muslimin yang tidak mengenal Abu Ayyub al-Anshari?
Allah telah meninggikan namanya di timur dan barat, mengangkat kedudukannya di antara kaum muslimin ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih rumahnya di antara rumah-rumah kaum muslimin seluruhnya sebagai tempat tinggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia manakala beliau tiba di Madinah sebagai muhajir. Cukuplah hal itu sebagai sebuah kebanggaan.
Dipilihnya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam rumah Abu Ayyub mempunayi kisah manis untuk dikenang dan nikmat untuk diulang.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, hati penduduknya menyambut beliau dengan penuh suka cita dan kemuliaan yang belum pernah diberikan kepada pendatang.
Mata mereka berbinar-binar, memancarkan cinta orang yang mencintai kepada kekasihnya.
Mereka membuka hati untuk beliau agar pribadi beliau bersemayam di dalam lubuk hati yang paling dalam.
Mereka membuka pintu rumah-rumah mereka dengan harapan beliau berkenan tinggal dan mendapatkan perlakuan paling mulia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam singgah di Quba di pinggiran Madinah selama empat belas hari, selama itu beliau membangun masjid pertama yang didirikan di atas ketakwaan. Kemudian beliau meninggalkannya dengna mengendarai unta beliau, para pemuka Yatsrib pun berdiri di jalannya, setiap orang ingin meraih kemuliaan, ingin agar rumah mereka disinggahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka berdiri di depan unta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, satu per satu, mereka berkata, “Tinggallah bersama kami wahai Rasulullah, kami mempunyai kekuatan orang, kekuatan senjata dan kesanggupan untuk melindungimu.”
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka, “Biarkanlah unta ini berjalan karena dia mengikuti perintah.”
Unta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus berjalan menuju tujuan akhirnya, mata orang banyak mengikutinya, hati mereka mengelilinginya.
Setiap unta itu melewati sebuah rumah, pemiliknya pasti bersedih, penghuninya merasa kehilangan sesuatu, sementara pemilik rumah berikutnya berharap dengan cemas. Unta pun terus berjalan demikian, orang banyak berjalan mengikutinya, mereka sangat berkeinginan untuk mengetahui siapa gerangan yang berbahagia meraih karunia besar, sampai unta itu tiba di sebuah halaman kosong di depan rumah Abu Ayyub al-Anshari dan menderum di sana. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak turun darinya.
Tidak lama berselang, tiba-tiba unta itu bangkit dan berjalan sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepaskan tali kekangnya. Namun setelah itu ia kembali ke tempat semula dan dia menderum lagi di sana. Pada saat itu kebahagiaan memayungi hati Abu Ayyub al-Anshari, dia bergegas mendekat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyambutnya, membawa perlengkapan beliau di depannya, seolah-olah dia membawa harta perbendaraan dunia seluruhnya dan membawanya ke dalam rumahnya.
Rumah Abu Ayyub terdrii dari dua lantai. Abu Ayyub mengosongkan bagian atas dari semua keperluan pribadinya dan keperluan istrinya agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di sana.
Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih memilih tinggal di bawah, maka Abu Ayyub menuruti kemauan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membiarkan beliau tinggal sesukanya.
Malam pun tiba, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak ke tempat tidur beliau, Abu Ayyub dan istrinya naik ke lantai atas, begitu Abu Ayyub menutup pintu, dia menoleh kepada istrinya dan berkata, “Celaka kita, apa yang kita lakukan? Pantaskah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah sedangkan kita di atas? Apakah kita patut berjalan di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah kita berada di antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan wahyu? Kalau begini niscaya kita binasa.”
Suami istri itu terdiam kebingungan, keduanya tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya bisa sedikit lega manakala keduanya menepi ke sisi lain di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berada bawahnya, mereka berdua tetap di tempat itu tidak meninggalkannya kecuali dalam keadaan berjalan di pinggir menjauhi bagian tengah.
Pagi tiba Abu Ayyub berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah ya Rasulullah, semalam kami tidak bisa tidur, tidak saya dan tidak pula Ummu Ayyub.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Kenapa?”
Abu Ayyub berkata, “Aku teringat bahwa aku berada di atas rumah di mana engkau berada di bawahnya, jika aku bergerak maka debu-debu akan berhamburan menimpamu, di samping itu aku berada di antara dirimu dengan wahyu.”
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan dipikirkan wahai Abu Ayyub, lebih mudah bagiku kalau aku di bawah, karena banyaknya orang-orang yang hendak menemuiku.”
Abu Ayyub berkata, aku menuruti perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun di suatu malam yang dingin, sebuah gentong air kami pecah, airnya berceceran di lantai atas, maka aku dan Ummu Ayyub mengambil selembar kain yang selama ini kami gunakan sebagai selimut, kami tidak memiliki selainnya, kami berusaha mengelap dan mengeringkan air dengan kain itu, kami khawatir ia akan menetes kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di pagi hari aku menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata kepada beliau, “Aku korbankan bapak dan ibuku demi dirimu ya Rasulullah, aku tetap tidak suka beada di atasmu dan engkau berada di bawahku.” Kemudian aku menceritakan berita gentong yang pecah, maka beliau menyanggupi dan beliau naik ke atas, aku dan Ummu Ayyub turun ke bawah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di rumah Abu Ayyub selama kurang lebih tujuh bulan sampai rampungnya pembangunan masjid di tanah kosong di mana unta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di sana. Beliau pindah ke kamar-kamar yang dibangun di sekitar masjid untuk beliau dan istri-istri beliau, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menjadi tetangga bagi Abu Ayyub. Dua orang mulia yang saling bertetangga.
Abu Ayyub mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepenuh cinta yang telah meresap ke dalam akal dan hatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mencintai Abu Ayyub dengan cinta yang mengangkat sekat di antara beliau dengannya sehingga beliau melihat keluarga Abu Ayyub seperti keluarganya sendiri.
Ibnu Abbas berkisah, dia berkata, Abu Bakar keluar masjid di suatu siang, Umar melihatnya, dia berkata, “Wahai Abu Bakar, apa yang membuatku keluar di saat-saat seperti ini?” Abu Bakar menjawab, “Yang membuatku keluar tidak lain kecuali rasa lapar yang melilit perutku.” Umar berkata, “Sama dengan diriku, aku juga tidak keluar kecuali karena rasa lapar yang berat.”
Ketika keduanya dalam keadaan demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan bertemu dengan mereka berdua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang membuat kalian keluar di saat-saat seperti ini?” Keduanya menjawab, “Demi Allah, yang membuat kami keluar tidak lain kecuali rasa lapar berat yang mendera perut kami.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar kecuali karena itu pula. Bangkitlah bersamaku.”
Maka mereka berangkat dan mendatangi Abu Ayyub al-Anshari. Abu Ayyub sendiri selalu menyimpan makanan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak datang kepadanya maka dia akan memberikannya kepada keluarganya.
Manakala mereka mendekati pintu, Ummu Ayyub menyambut mereka. Dia berkata, “Selamat datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang bersamanya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Di mana Abu Ayyub?” Abu Ayyub yang sedang bekerja di kebun yang tidak jauh dari rumah mendengar suara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia bergegas datang dan berkata, “Selamat datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang bersamanya.” Kemudian Abu Ayyub menambahkan, “Wahai Nabiyullah, ini bukan waktu di mana engkau biasa datang.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kamu benar.”
Lalu Abu Ayyub pergi ke sebuah pohon kurma dan memotong salah satu janjang yang berisikan kurma segar, yang sudah matang dan kurma setengah matang (yang sudah enak dimakan). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku tidak ingin kamu memotongnya, mengapa kamu tidak memetik buahnya saja.”
Abu Ayyub menjawab, “Ya Rasulullah, aku ingin engkau memakan buahnya, kurma segar yang sudah matang dan kurma setengah matang (yang sudah enak dimakan). Aku juga akan menyembelih kambing untukmu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan menyembelih hewan perahan.”
Maka Abu Ayyub pun menyembelih kambing muda dan dia berkata kepada istrinya, “Buatlah adonan dan roti untuk tamu kita. Kamu lebih tahu bagaimana membuatnya.” Abu Ayyub sendiri mengambil setengah dari kambing yang disembelihnya untuk kemudian memasaknya dan setengahnya lagi dia panggang. Manakala makanan sudah matang, dihidangkan di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua sahabatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sepotong daging dan meletakkannya di atas sepotong roti, beliau bersabda, “Wahai Abu Ayyub, berikanlah ini dengan segera kepada Fatimah, karena dia tidak pernah makan seperti ini beberapa hari lamanya.” Lalu mereka makan sampai kenyang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Roti, daging, kurma, kurma segar dan kurma setengah matang.”
Tiba-tiba kedua mata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meneteskan air mata, kemudian beliau bersabda, “Demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya ini adalah kenikmatan di mana kalian akan ditanya tentangnya di hari Kiamat. Jika kalian mendapatkan seperti ini lalu kalian hendak menyantapnya maka ucapkanlah, ‘Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.’ Jika kalian sudah kenyang maka ucapkanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang telah membuat kami kenayang dan memberikan nikmat dengan melimpah’.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bankit dan berkata kepada Abu Ayyub, “Datanglah kepada kami besok.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah diberi sebuah kebaikan oleh seseorang kecuali beliau ingin membalasnya. Namun Abu Ayyub tidak mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, maka Umar berkata kepadanya, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memintamu untuk hadir kepada beliau besok wahai Abu Ayyub.”
Maka Abu Ayyub berkata, “Aku mendengar dan menaati undangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Besoknya Abu Ayyub datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya seorang hamba sahaya kecil yang biasa membantu beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Berbaik-baiklah kepadanya wahai Abu Ayyub, kami tidak melihat darinya kecuali kebaikan selama dia bersama kami.”
Abu Ayyub pulang ke rumah dengan membawa seorang hamba sahaya. Manakala Ummu Ayyub melihatnya dia bertanya, “Milik siapa dia wahai Abu Ayyub?”
Abu Ayyub menjawab, “Milik kita, hadiah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita.”
Istrinya berkata, “Hadiah yang sangat berharga dan pemberian yang sangat mulia.”
Abu Ayyub berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memintaku untuk berbuat baik kepadanya.”
Ummu Ayyub bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan sehingga kamu bisa melaksanakan permintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut?”
Abu Ayyub menjawab, “Demi Allah, tidak ada cara yang lebih baik untuk melaksanakan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selain memerdekakannya.”
Ummu Ayyub menjawab, “Demi Allah, tidak ada cara yang lebih baik untuk melaksanakan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selain memerdekakannya.”
Ummu Ayyub berkata, “Kamu telah dibimbing kepada kebenaran, kamu telah diberi taufik.” Kemudian Abu Ayyub memerdekakannya.
Ini adalah sebagian dari kehidupan Abu Ayyub al-Anshari dalam kesehariannya. Kalau Anda mempunyai kesempatan untuk melihat sebagian kehidupannya di medan perang niscaya Anda akan melihat keajaiban.
Dia tidak pernah tertinggal dalam satu peperangan pun sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai zaman Mu’awiyah kecuali jika dia mempunyai kesibukan yang lainnya (yang syar’i harus didahulukan).
Perang terakhir yang diikuti oleh Abu Ayyub adalah ketika Mu’awiyah menyiapkan bala tentara dengan komando putranya Yazid untuk menaklukkan Konstantinopel. Pada saat itu Abu Ayyub sudah menjadi seorang laki-laki tua berumur lanjut, usianya mendekati delapan puluh. Namun hal itu bukan penghalang baginya untuk bergabung di bawah panji-panji Yazid dan meretas ombak lautan sebagai seorang mujahid di jalan Allah.
Namun tidak lama berselang setelah peperangan dimulai, Abu Ayyub sakit yang membuatnya tidak kuasa untuk meneruskan peperangan. Yazid datang kepadanya untuk menjenguknya. Yazid bertanya, “Apakah engkau mempunyai suatu permintaan wahai Abu Ayyub?”
Abu Ayyub menjawab, “Sampaikan salamku kepada bala tentara kaum muslimin dan katakan kepada mereka, “Abu Ayyub mewasiatkan kepada kalian agar kalian masuk ke bumi musuh sejauh mungkin, membawa jasadnya bersama mereka lalu menguburkannya di bawah telapak kaki kalian di pagar kota Konstantinopel.”
Lalu dia menghembuskan nafas terakhirnya. Bala tentara kaum muslimin melakukan permintaan Abu Ayyub seorang shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menyerang pasukan musuh berkali-kali sampai mereka tiba di benteng kota Konstantinopel dalam keadaan membawa jasad Abu Ayyub.
Di sana mereka mengali dan menguburkannya.
Semoga Allah merahmati Abu Ayyub al-Anshari, dia menolak wafat kecuali di atas punggung kuda yang kuat sebagai seorang mujahid di jalan Allah dalam usia mendekati delapan puluh tahun.
Sumber: Mereka adalah Para Shahabat, Dr. Abdurrahman Rafat Basya, Pustaka At-Tibyan