Mengapa Menolak Jenazah Covid-19?
Kewaspadaan berbeda dengan kepanikan. Sikap waspada dibangun di atas dasar ilmu yang jelas. Adapun kepanikan biasanya hanya berlandaskan rumor yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Mewaspadai penularan virus Covid-19 adalah sebuah keharusan. Sebab wabah tersebut memang amat membahayakan. Namun kewaspadaan itu tidak boleh kebablasan. Hingga menyeret kepada sikap panik berlebihan.
Contohnya: adalah menolak jenazah pasien Covid-19.
Fenomena yang terjadi di berbagai daerah ini, tidak bisa dibenarkan dari aspek manapun. Aspek sosial, kesehatan maupun agama.
Pertama: Aspek Sosial
Dalam kondisi wabah seperti ini, semestinya kepedulian antar masyarakat justru dihidupkan. Kita harus saling peduli, bahu membahu dan bantu membantu.
Para penderita Covid-19 adalah korban yang sepatutnya mendapatkan empati. Bukan malah dikucilkan, dibenci atau disakiti.
Saat mereka mengalami intimidasi sedemikian rupa, justru akan merugikan kita bersama.
Sebab dapat membuat orang yang mengalami gejala, merasa khawatir untuk melapor dan memeriksakan diri. Ini sangat berbahaya. Mengakibatkan virus tidak terdeteksi. Sehingga menyulitkan untuk memutus rantai penyebarannya. Berpeluang besar untuk menularkan virus tersebut kepada orang-orang di sekelilingnya. Tanpa disadari.
Apalagi bila penderita itu adalah tenaga medis dan para medis. Mereka adalah pahlawan kita saat ini. Mereka rela mempertaruhkan nyawa demi merawat para korban.
Pantaskah orang-orang yang telah berjasa besar, justru dikucilkan masyarakat, diusir dari kontrakan atau ditolak jenazahnya?
Bukankah itu adalah sikap membalas air susu dengan air tuba? Di mana hati nurani kita?
Kedua: Aspek Kesehatan
Banyak penolakan terjadi, dikarekan rumor yang berkembang, bahwa jenazah bisa menularkan virus. Sehingga membahayakan lingkungan sekitar.
Padahal para pakar kesehatan telah meluruskan pemahaman keliru tersebut.
- Edi Suyanto SpF, SH, MH, Kepala Departemen Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSU dr. Soetomo Surabaya mengatakan,
“Secara ilmiah ilmu kedokteran, korban atau jenazah kemungkinan menularnya sudah tidak ada. Apalagi virus corona. Dia (virus corona) harus hidup pada inangnya. Inangnya sudah mati, virusnya juga ikut mati. Sama dengan HIV/AIDS sama H5N1 (Flu Burung) “.
Hermawan Saputra, anggota Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menambahkan, “Corona ditularkan melalui batuk dan bersin. Kira-kira kalau orang meninggal apa bisa batuk dan bersin?”
Lantas bagaimana dengan cairan yang mungkin keluar dari jenazah?
Potensi penularan dari cairan tersebut, telah diantisipasi dengan protokol yang ketat.
Jenazah akan dibungkus plastik, lalu dikafani, kemudian dibungkus plastik lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam kantong jenazah. Lalu dimasukkan ke dalam peti yang tidak tembus air. Di setiap lapisan tadi dilakukan dekontaminasi. Terakhir jenazah sesegera mungkin dimakamkan. Di lokasi yang tidak dekat dengan sumber mata air.
Setelah berbagai prosedur cermat di atas, apalagi yang dikhawatirkan?
Alhamdulillah, hingga kini tidak ada laporan dari negara mana pun di seluruh dunia mengenai kasus penularan virus Corona melalui jenazah.
Ketiga: Aspek Agama
Dalam Islam, hukum memakamkan jenazah adalah fardhu kifayah. Demikian ijma’ para ulama. Bila tidak dilakukan, akibatnya semua orang bakal memikul dosanya.
Saking pentingnya hal ini, agama kita memberi aturan agar menyegerakan perawatan, pengantaran dan pemakaman jenazah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَسْرِعُوا بِالْجَنَازَةِ
“Segerakanlah (penanganan) jenazah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Manakala ada penolakan jenazah, itu akan berakibat tertundanya pemakaman. Bahkan di suatu wilayah, karena ditolak di mana-mana, jenazah sempat tertahan hingga dua hari!
Sudah matikah naluri kemanusiaan?
Keimanan seseorang tidak dianggap sempurna, kecuali manakala ia mencintai saudaranya, seperti ia mencintai dirinya sendiri.
Bila jenazah yang terkatung-katung tadi adalah orang tua kita, bagaimana gerangan perasaan kita?
Ingat, balasan yang akan didapatkan seseorang, adalah sesuai dengan perbuatan yang ia lakukan.
Pesantren Tunas Ilmu Kedungwuluh Purbalingga.
Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.