Fiqh Darah Kebiasaan Wanita

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Islam adalah agama yang lengkap, dimana bukti lengkapnya adalah dibahas pula oleh Islam tentang darah kebiasaan wanita. Berikut ini pembahasannya.

A. Definisi Haidh dan Nifas

Haidh secara bahasa artinya mengalir, sedangkan secara syara’ artinya darah yang biasa (terjadi pada wanita) yang keluar dari bagian dalam rahim pada waktu-waktu tertentu ketika wanita dalam keadaan sehat bukan karena sebab melahirkan.

Nifas adalah darah yang keluar dari wanita ketika melahirkan.

B. Awal Waktu Haidh dan Akhirnya

Tidak ada haidh sebelum wanita sempurna berusia sembilan tahun, karena tidak ada wanita yang haidh sebelum berusia sembilan tahun. Telah diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata, “Jika seorang anak gadis telah berusia sembilan tahun, maka dia adalah wanita (dewasa).”(Disebutkan oleh Tirmidzi dan Baihaqi dengan tanpa isnad). Oleh karena itu, apabila seorang wanita melihat darah sebelum usia tersebut, maka berarti darah itu adalah darah penyakit.

Demikian pula tidak ada haidh setelah wanita berusia lima puluh tahun menurut pendapat yang shahih. Telah diriwayatkan pula dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Jika seorang wanita telah mencapai lima puluh tahun, maka ia telah keluar dari batasan haidh.” (al-Mughni, 1:406)

C. Batas Minimal dan Maksimal Haidh

Yang shahih, bahwa tidak ada batasan minimalnya dan batasan maksimalnya, bahkan dalam hal ini dikembalikan kepada uruf atau kebiasaan[1].

D. Lama Haidh pada Umumnya

Lama haidh pada umumnya enam atau tujuh hari sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hamnah binti Jahsy, “Maka jadikanlah yang menjadi ukuran haidlmu selama enam atau tujuh hari berdasarkan ilmu Allah, kemudian mandilah. Sehingga apabila kamu tahu bahwa kamu benar-benar telah suci dan telah bersuci, maka kerjakanlah shalat selama dua puluh tiga atau dua puluh empat malam dan harinya, serta berpuasalah. Yang demikian itu telah mencukupkan bagimu. Dan demikian pula, kerjakanlah seperti itu setiap bulan, sebagaimana wanita lain haidh dan suci pada waktunya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, ia berkata, “Hasan shahih.” Dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 110)

E. Larangan bagi Wanita Haidh dan Nifas

Ada beberapa hal yang dilarang bagi wanita haidh dan nifas, yaitu:

1. Menjima’inya (lihat surat Al Baqarah: 222). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ

“Perbuatlah segala sesuatu selain nikah (jima’).” (HR. Muslim)

2. Mentalaknya, sampai ia suci dan sebelum digauli (dijima’i). (lihat surat Ath Thalaq: 1). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada Umar ketika anaknya yaitu Abdullah mentalak istrinya ketika haidh, “Perintahkanlah kepadanya untuk merujuk.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Melakukan shalat. Hal ini beradasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy, ia berkata:

فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي

“Apabila haid datang, hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah haid berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Berpuasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah jika salah seorang di antara kamu haidh tidak berpuasa dan tidak shalat?” Kami menjawab, “Ya.” (HR. Bukhari)

5. Thawaf. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Aisyah ketika ia haidh, “Lakukanlah apa yang dilakukan orang yang berhaji kecuali thawaf di Ka’bah sehingga kamu suci.” (HR. Bukhari dan Muslim)

6. Membaca Al Qur’an. Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in serta para ulama setelah mereka. Akan tetapi, ketika butuh membaca, seperti butuh muraja’ah hapalan agar tidak dilupakan atau butuh mengajarkan kepada anak-anak putri di sekolah, atau membaca wirid hariannya, maka tidak mengapa. Jika tidak dibutuhkan, maka hendaknya ia tidak membaca sebagaimana difatwakan oleh sebagian Ahli ilmu.

7. Menyentuh mushaf (lihat surat Al Waqi’ah: 79)

8. Masuk masjid dan menetap di dalamnya. Oleh karena itu, Aisyah radhiyallahu ‘anha menyisir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di luar masjid ketika Beliau mengeluarkan kepalanya dari masjid, sedangkan Aisyah berada di kamarnya yang berdampingan dengan masjid dalam keadaan haidh (lihat Shahih Bukhari no. 296). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kepada wanita yang haidh untuk menghadiri pelaksanaan shalat ‘Ied, tetapi mereka harus menjauhi tempat shalat. Demikian pula diharamkan bagi wanita lewat di masjid jika dikhawatirkan darahnya mengotori masjid, jika ia merasakan aman, maka tidak mengapa sekedar lewat.

F. Konsekwensi dari Haidh

1. Mengharuskan mandi setelah selesai haidh. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tingalkanlah shalat seukuran hari yang kamu biasa haidh, lalu mandi dan shalatlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Menjadi baligh.

3. Menjalani ‘iddah dengan haidh sebanyak tiga kali. Wanita yang ditalak menjalani masa ‘iddah dengan haidh jika ia wanita yang biasa haidh (lihat Al Baqarah: 228).

4. Dianggap telah kosong rahimnya ketika haidh.

Faedah:

Apabila wanita haidh atau nifas telah suci sebelum tenggelam matahari, maka ia harus kerjakan shalat Zhuhur dan Ashar hari itu. Demikian pula apabila ia suci dari haidh atau nifas sebelum terbit fajar, maka ia wajib mengerjakan shalat Maghrib dan Isya malam itu. Hal itu, karena waktu shalat kedua merupakan waktu shalat pertama di saat uzur, dan inilah yang dipegang uleh jumhur ulama, yaitu Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.

G. Batas Minimal dan Maksimal Masa Nifas

Tidak ada batas minimal masa nifas, sehingga kembali kepada ada dan tidaknya, dimana terkadang lama dan terkadang sebentar. Maksimal masa nifas adalah 40 hari[2]. Imam Tirmidzi berkata, “Ahli Ilmu dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelah mereka sepakat, bahwa wanita-wanita yang nifas meninggalkan shalat selama 40 hari, kecuali jika mereka melihat suci sebelum itu, maka ia mandi dan shalat. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiiyallahu ‘anha ia berkata: Wanita yang nifas di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya duduk (tidak shalat) sampai 40 hari.” (HR. Lima orang selain Nasa’i).

H. Darah Istihadhah

Istihadhah maksudnya mengalirnya darah secara deras pada bukan waktunya dari urat yang disebut ‘Adzil.

Darah istihadhah berbeda dengan darah haidh dalam hukum dan sifatnya. Wanita yang terkena darah istihadhah ini wajib shalat, puasa dan boleh dijima’i, karena ia tergolong wanita suci. Dalilnya adalah hadits Fathimah binti Abi Hubaisy ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya terkena darah istihadhah sehingga aku tidak suci, maka apakah aku boleh meninggalkan shalat? Beliau menjawab, “Tidak boleh, itu adalah darah urat dan bukan haidh…dst.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, bagi wanita hendaknya mandi ketika telah selesai haidh yang memang dianggap, namun untuk istihadhah ia cukup mencuci farjinya dan menaruh kapas atau semisalnya (seperti pembalut) di farjinya agar darah tidak mengalir, lalu ia berwudhu’ ketika masuk waktu shalat.

Wanita istihadhah ada tiga keadaan:

1)   Ia memiliki kebiasaan yang sudah maklum, yakni lamanya haidhnya sudah ia ketahui sebelum terkena istihadhah, maka untuk wanita ini hendaknya diam (tidak shalat dan tidak puasa) selama waktu haidhnya dan ia dianggap wanita haidh. Ketika masa kebiasaan haidhnya telah selesai, maka ia mandi, shalat dan menganggap darah yang masih keluar sebagai darah istihadhah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Habibah:

امْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي

     “Tetap tahanlah dirimu selama kadar haidmu menahanmu, kemudian mandilah dan shalatlah.” (HR. Muslim)

2)   Ia tidak memiliki kebiasaan yang diketahuinya, tetapi darahnya berbeda dengan darah haidh. Jika haidh biasanya darahnya hitam, tebal, atau berbau, sedangkan darah lainnya (istihadhah) hanya berwarna merah dan tidak bau, maka dalam hal ini ia memberlakukan tamyiz (perbedaan). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy, “Jika darah haidh, maka ia berwarna hitam yang sudah dikenal. Oleh karena itu, berhentilah dari shalat. Tetapi jika selain itu, maka wudhu’ dan shalatlah, karena ia hanyalah darah urat.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Hakim, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 204)

3)   Jika ia tidak mempunyai kebiasaan dan sifat yang membedakan dengan darah haidh, maka ia duduk (tidak shalat dan puasa) mengikuti umumnya masa haidh, yaitu enam atau tujuh hari, karena masa tersebut adalah masa wanita haidh secara umum. Setelah hari-hari itu, maka darah tersebut berarti darah istihadhah, ia harus mandi sehabis haidh, lalu shalat dan puasa. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hamnah binti Jahsy, “Darah penyakit itu hanyalah salah satu hentakan setan saja. Maka jadikanlah yang menjadi ukuran haidhmu selama enam atau tujuh hari, kemudian mandilah. Sehingga apabila kamu tahu bahwa kamu benar-benar telah suci, maka kerjakanlah shalat dan berpuasalah. Yang demikian itu telah mencukupkan bagimu.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, ia berkata, “Hasan shahih.” Dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 205).

Beberapa Faedah:

  1. Jika datang haidh ketika sudah masuk waktu shalat –minimal mendapatkan seukuran satu rak’at– sedangkan ia belum melakukan shalat maka ia mengqadha’ shalat yang baru tiba waktunya itu setelah haidhnya selesai[3].
  2. Mayoritas ulama berpendapat bahwa bila wanita telah berhenti haidh maka belum halal dijima’i sampai ia mandi atau tayammum jika memenuhi syarat tayammum.
  3. Jika seorang wanita memiliki kebiasaan lama haidhnya, lalu ternyata suci sebelum lengkap bilangan hari itu, maka ia telah suci; apabila darah telah berhenti keluar dan dilihatnya sudah suci walaupun hari kebiasaan haidhnya belum habis.
  4. Wanita yang melihat hari ini darah, besoknya bersih, jika di masa-masa haidh maka terhitung masih haidh sampai 15 hari, selebihnya darah istihadhah.
  5. Warna kuning atau keruh (coklat) jika keluarnya bergandengan dengan haid sebelum sucinya maka dianggap haidh, namun jika keluar setelah suci maka bukan haidh, kecuali di akhir masa suci dan sudah didahului oleh tanda-tanda haidh seperti rasa sakit dan sebagainya maka itu adalah haidh.
  6. Wanita untuk mengetahui akhir masa haidh dengan dua cara:

a)   Dengan keluarnya cairan lengket/lendir putih seperti benang.

b)   Dengan keringnya darah dan bersihnya farjinya dari darah haidh, misalnya dengan memasukkan kapas ke dalam farji, lalu mengeluarkannya, jika ternyata kering dan bersih maka berarti sudah selesai.

  1. Jika wanita yang nifas itu telah berhenti darah nifasnya sebelum empat puluh hari dan ia mandi, shalat dan berpuasa, kemudian darah keluar lagi sebelum lewat empat puluh hari, maka darah ini dianggap darah nifas. Oleh karena itu, ia harus berdiam; tidak shalat dan puasa. Dan puasa yang dilakukannya di masa berhenti darah itu (antara berhenti dan keluar lagi darah itu) maka sah, tidak perlu diqadha’.
  2. Apabila umur janin yang keguguran 80 hari atau kurang, maka darah yang keluar adalah darah istihadhah, apabila setelah 90 hari, maka darah itu adalah darah nifas. Tetapi apabila masanya antara 80 dan 90 hari, maka hukumnya tergantung kepada bentuk fisik janin, jika lebih menyerupai bayi manusia, maka darah itu darah nifas, namun apabila belum berbentuk manusia, maka darah itu istihadhah (Dari Tafsir Al ’Usyril Akhir wa ahkaam tahumul muslim).
  3. Yang wajib bagi wanita yang kena darah istihadhah adalah wudhu’ untuk masing-masing shalat dan mandi itu lebih utama.

10. Cairan yang keluar dari farji wanita pada masa suci. Jika cairan itu bening atau putih berbentuk lendir (keputihan), maka cairan itu suci, namun membatalkan wudhu’. Tetapi, jika terus menerus keluar, maka tidak membatalkan wudhu’. Ia harus berwudhu’ untuk setiap shalat setelah tiba waktunya seperti halnya orang yang beser, ia kerjakan shalat fardhu itu dan shalat sunat dalam waktunya itu.

Wallahu a’lam.

Oleh: Marwan bin Musa

Artikel www.Yufidia.com

Maraji’: Al Fiqhul Muyassar, Hadits 9 Imam (Lidwa Pusaka), Fiqhus Sunnah, Tafsir Al ’Usyril Akhir wa Yaliihi  ahkaam tahummul muslim, Al Wajiz Fii Ushulil Fiqh (Dr. Abdul Karim Zaidan), dll.


[1] Ada yang mengatakan bahwa batas minimal jumlah hari haidh adalah sehari semalam (24 jam), kurang dari itu adalah darah istihadhah. Yang lain berpendapat, bahwa batas minimal darah haidh adalah tiga hari. Sedangkan batas maksimalnya adalah lima belas hari, selebihnya adalah darah istihadhah. Tetapi, tidak ada dalil yang dapat dijadikan hujjah dalam masalah ini.

[2] Dimulai hitungan dari sejak janin keluar dari perut ibunya.

[3] Dalam hal ini, para ulama berselisih. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa wanita tersebut tidak perlu mengqadhanya, karena wanita tersebut tidak meremehkannya dan ia pun tidak berdosa karena boleh baginya menta’khirkan shalat hingga akhir waktunya. Namun di antara mereka ada yang berpendapat bahwa wanita tersebut harus mengqadha’ shalat itu berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Man adraka rak’atam minash shalah faqad adrakash shalah.” (Artinya: “Barang siapa yang mendapatkan satu rak’at shalat, maka ia telah mendapatkan shalat.”) Oleh karena itu, yang lebih hati-hati adalah mengqadha’ shalat tersebut, karena hanya satu shalat saja dan tidak berat melakukannya (lihat buku 60 Su’alan fii Ahkamil Haidh wan Nifas karya Syaikh Ibnu Utsaimin).

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28