Jama’ah dan Imamah

61- الجماعة: في هذا الباب هم أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم والتابعون لهم بإحسان، المتمسكون بآثارهم إلى يوم القيامة، وهم الفرقة الناجية . وكل من التزم بمنهجهم فهو من الجماعة، وإن أخطأ في بعض الجزئيات .

62- لا يجوز التفرق في الدين: ولا الفتنة بين المسلمين، ويجب رد ما اختلف به المسلمون إلى كتاب الله، وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم، وما كان عليه السلف الصالح.

63- من خرج عن الجماعة وجب نصحه، ودعوته، ومجادلته بالتي هي أحسن، وإقامة الحجة عليه، فإن تاب وإلا عوقب بما يستحق شرعاً .

64- إنما يجب حمل الناس على الجمل الثابتة بالكتاب والسنة، والإجماع، ولا يجوز امتحان عامة المسلمين بالأمور الدقيقة، والمعاني العميقة .

65- الأصل في جميع المسلمين سلامة القصد والمعتقد، حتى يظهر خلاف ذلك، والأصل حمل كلامهم على المحمل الحسن، ومن ظهر عناده وسوء قصده فلا يجوز تكلف التأويلات له.

66- فرق أهل القبلة الخارجة عن السنة متوعدون بالهلاك والنار، وحكمهم حكم عامة أهل الوعيد، إلا من كان منهم كافراً في الباطن، أو كان خلافه في أصول العقيدة التي أجمع عليها السلف . والفرق الخارجة عن الإسلام كفار في الجملة، وحكمهم حكم المرتدين.

67- الجمعة والجماعة من أعظم شعائر الإسلام الظاهرة، والصلاة خلف مستور الحال من المسلمين صحيحة، وتركها بدعوى جهالة حالة بدعة .

68- لا تجوز الصلاة خلف من يظهر البدعة، أو الفجور من المسلمين مع إمكانها خلف غيره، وإن وقعت صحت، ويأثم فاعلها إلا إذا قصد دفع مفسدة أعظم، فإن لم يوجد إلا مثله أو شر منه جازت خلفه، ولا يجوز تركها . ومن حُكم بكفره فلا تصح الصلاة خلفه .

69- الإمامة الكبرى تثبت بإجماع الأمة، أو بيعة ذوي الحل والعقد منهم، ومن تغلب حتى اجتمعت عليه الكلمة وجبت طاعته بالمعروف، ومناصحته، وحرم الخروج عليه إلا إذا ظهر منه كفر بواح فيه من الله برهان .

61. Jamaah dalam masalah ini, yaitu para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dan berpegang teguh dengan jejak mereka sampai hari kiamat. Merekalah yang dimaksud dengan Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat). Orang yang senantiasa menerapkan manhaj mereka, maka dia termasuk dalam jamaah, sekali pun melakukan kesalahan dalam sebagian masalah kecil.

62. Tidak boleh berselisih dalam agama, juga tidak boleh memfitnah (menguji) sesama kaum muslimin. Segala masalah yang mengandung perbedaan pendapat di antara umat Islam wajib dikembalikan kepada Kitabullah, sunnah Rasulullah dan kesepakatan para Salafush Shalih.

63. Orang yang keluar dari jamaah wajib diberi nasehat. Kita wajib menyampaikan dakwah kepadanya. Dia harus diajak berdiskusi dengan cara yang baik dan menjelaskan hujjah (dalil, bukti, argumentasi) kepadanya. Apabila dia tidak mau bertobat, maka dia diberi hukuman yang layak sesuai dengan syara’.

64. Wajib membawa umat Islam kepada ungkapan dan kalimat yang tersebut di dalam Al Qur’an, sunnah dan ijma’. Kita tidak boleh menguji orang-orang awam dari kaum muslimin dengan perkara-perkara yang pelik dan pengertian-pengertian yang mendalam.

65. Pada dasarnya seluruh kaum muslimin mempunyai tujuan dan keyakinan yang baik, kecuali jika tampak sesuatu yang bertentangan dengan hal tersebut. Pada dasarnya ucapan mereka pun harus dipahami dengan pemahaman yang baik, tetapi barang siapa yang menampakkan kedurhakaan dan tujuan jahatnya maka tidak boleh dicari penafsiran yang dibuat-buat terhadap dirinya.

66. Golongan-golongan lain dari Ahlul Qiblat (kaum muslimin) yang menyimpang dari Sunnah berhak mendapatkan ancaman siksaan dan neraka. Hukum mereka adalah sebagaimana hukum orang-orang yang berhak mendapatkan ancaman pada umumnya, kecuali mereka yang kafir dalam batinnya atau menyelisihi dasar-dasar ‘aqidah yang telah disepakati kaum salaf. Golongan-golongan yang keluar dari agama Islam secara mutlak adalah kafir, dan hukum bagi mereka adalah hukum bagi orang-orang yang murtad.

67. Shalat Jum’at dan jamaah termasuk syi’ar Islam terpenting yang tampak dan shalat bermakmum kepada seorang muslim yang tidak diketahui hal-ikhwalnya adalah sah, sedangkan tidak bermakmum kepadanya dengan dalih tidak mengetahui hal-ikhwalnya adalah bid’ah.

68. Tidak boleh shalat bermakmum kepada orang yang menampakkan bid’ah atau kefasikan, selama bisa bermakmum kepada yang lain. Akan tetapi jika hal itu terjadi, maka shalatnya sah dan berdosa orang yang melakukannya, kecuali jika tujuannya adalah untuk menghindari mafsadah (bahaya) yang lebih besar. Andaikan tidak ada orang lain kecuali dia atau ada yang lebih jahat lagi, maka boleh shalat bermakmum kepadanya dan kita tidak boleh meninggalkannya. Barang siapa yang dihukumi sebagai kafir maka tidak sah bermakmum kepadanya.

69. Imamah Kubra (pengangkatan khalifah atau pemimpin) terjadi dengan kesepakan umat atau bai’at[1] dari wakil-wakil umat yang disebut ahlu al halli wal ‘aqd[2]. Barang siapa yang memperoleh kemenangan sehingga terjadilah kesepakatan terhadap dirinya, maka dia wajib ditaati dengan baik, wajib dibela dan kita tidak boleh keluar dari kepemimpinannya, kecuali jika dia secara terang-terangan menampakkan kekafiran dan dapat terbukti dari nash yang jelas dari Allah Ta’ala.

Syarh/Keterangan:

No. 61: Jika seorang bertanya siapakah Ahlussunnah wal Jamaa’ah, maka jawabannya adalah apa yang disebutkan di nomor 61 di atas, lihat dalilnya di surat At Taubah: 100. Mereka disebut Ahlussunnah karena menisbatkan diri kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan disebut jamaah karena berkumpul di atas kebenaran yang tetap berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah, dimana mereka ini adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik meskipun jumlah mereka sedikit sebagaimana yang dikatakan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ”Jamaah itu adalah yang sesuai dengan kebenaran meskipun engkau sendiri, maka sesungguhnya engkau termasuk jamaah ketika itu.

Imam Syathibi dalam Al I’tisham berkata, ”Sesungguhnya jamaah adalah apa yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.”

Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’aala menjadikan kita sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, Allahumma aamiin.

Faedah:

Nama lain Ahlussunnah wal Jama’ah adalah Ahlussunnah, Ahlul jamaa’ah, Al Jamaa’ah, As Salafush Shalih, Ahlul Atsar, Ahlul Hadits, Al Firqatun Najiyah, Ath Thaa’ifatul Manshuurah dan Ahlul Ittiba’.

No. 62: Dalil tidak boleh berpecah belah ada di surat Ali Imran: 103, sedangkan dalil yang memerintahkan mengembalikan perselisihan kepada Al Qur’an dan As Sunnah, serta kepada para ulama ada di surat An Nisaa’: 59 dan 83.

Adapun larangan menguji kaum muslimin dengan perkara-perkara rumit adalah berdasarkan perkataan Ali radhiyallahu ‘anhu, “Berbicaralah dengan manusia sesuai yang mereka pahami. Sukakah kamu jika Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (Diriwayatkan oleh Bukhari).  Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga berkata, “Engkau tidaklah menyampaikan suatu hadits kepada kaum yang tidak dicapai oleh akal mereka kecuali akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka.” (Diriwayatkan oleh Muslim).

No. 63: Berdasarkan prinsip ini, jika imam mendapatkan di antara rakyatnya ada yang hendak keluar atau memberontak dari kepemimpinannya, maka hendaknya imam melakukan surat-menyurat atau berkomunikasi dengan kelompok yang hendak memberontak itu, menyingkirkan syubhat yang menimpa mereka dan menegakkan hujjah kepada mereka dengan menyebutkan dalilnya. Jika mereka mau kembali kepada kebenaran, maka diterima dan jika tidak mau maka mereka diperangi (lihat surat Al Hujurat: 9) jika imam tidak sanggup menerangkan hujjah, maka ia bisa meminta ulama untuk menjelaskannya.

No. 64: Untuk penjelasan no. 64 ini sebagiannya sudah diterangkan di no. 62, sebagai tambahan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Bahwa yang wajib adalah menjadikan firman Allah dan sabda Rasul-Nya sebagai asal dan mentadabburi maknanya, memahami dan mengetahui bukti dan dalilnya, baik (dalil) ‘aqli maupun sam’i (naqli) serta mengetahui dilalah Al Qur’an terhadap ini dan itu, dan menjadikan ucapan manusia yang terkadang sesuai dengannya dan terkadang tidak sebagai sesuatu yang mutasyabihat (samar) yang masih mujmal, sehingga dikatakan kepada orang-orang yang menggunakan lafaz-lafaz tertentu, mungkin maksudnya ini dan itu dan maksudnya ini dan itu, jika maksud mereka sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diterima, dan jika maksud mereka menyelisihinya, maka ditolak. Contohnya adalah lafaz murakkab, jism, mutahayyiz, jauhar, jihat, ‘ardh dan semisalnya.” (Majmu’ Fatawa di juz 3, pasal Ahludhdhalal alladziina farraquu diinahum)

No. 66: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dan tidak semua yang menyelisihi sesuatu dari akidah (Ahlussunnah wal Jamaaah) ini mesti binasa (masuk neraka), karena yang menyelisihinya bisa saja berijtihad namun salah yang Allah Subhaanahu wa Ta’aala mengampuni kekeliruannya, bisa juga tidak sampai ilmu kepadanya sehingga hujjah tegak atasnya, dan bisa juga ia mempunyai kebaikan yang dengannya Allah hapuskan kesalahannya…dst.” (Majmu’ Fatawa juz 1, dari Maktabah Syamilah).

No. 69: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya As Siyaasah Asy Syar’iyyah, “Wajib diketahui, bahwa memimpin urusan manusia termasuk kewajiban agama yang besar, bahkan agama tidak dapat tegak kecuali dengannya. Hal itu, karena anak cucu Adam (manusia) tidak akan sempurna maslahatnya kecuali jika bersatu-padu karena butuhnya antara yang satu dengan yang lain, dan ketika mereka berkumpul, maka harus ada pemimpinnya, sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

“Apabila tiga orang keluar untuk safar, maka hendaknya mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud dari Abu Sa’id Al Khudriy, dan dinyatakan “Hasan shahih” oleh Syaikh Al Albani).

Oleh karena itu, para sahabat segera memilih Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu untuk menjadi khalifah pengganti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, pengangkatan imam hukumnya wajib, yang telah jelas kewajibannya berdasarkan syara’ dan ijma’ para sahabat radhiyallahu ‘anhum sebagaimana yang dikatakan Ibnu Khaldun.

Wallahu a’lam, wa shallallahu ’alaa Muhammad wa ’alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Oleh: Marwan bin Musa

Artikel www.Yufidia.com

Maraji’: Mujmal Ushul Ahlissunnah (Dr. Nashir Al ’Aql), Syarah ’Aqidah Wasithiyyah (Syaikh Shalih Al Fauzan), Kitab Tauhid (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab), Mukhtashar ’Aqidati Ahlis Sunnah wal Jama’ah (Syaikh M. Bin Ibrahim Al Hamd) dll.


[1] Faedah: Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya sebagai berikut:

 Kita sering mendengar jama’ah-jama’ah kecil mengadakan bai’at kepada imam yang mereka tunjuk, masing-masing jama’ah memiliki imam, sehingga terjadi banyak bai’at, lantas apakah yang demikian dibenarkan? »

Syaikh Shalih Al Fauzan berkata, “Bai’at hanya boleh diberikan kepada penguasa (pemerintah) kaum muslimin. Bai’at-bai’at yang berbilang-bilang dan bid’ah itu merupakan akibat perpecahan. Setiap kaum muslimin yang berada dalam satu pemerintahan dan satu kekuasaan wajib memberikan satu bai’at kepada satu orang pemimpin. Tidak dibenarkan memunculkan bai’at-bai’at yang lain. Bai’at-bai’at tersebut merupakan hasil perpecahan kaum muslimin pada zaman ini dan akibat kejahilan terhadap agama.”

[2] Ahlu al hal wal ‘aqd adalah dewan yang mewakili kaum muslimin yang berhak mengeluarkan keputusan, tentunya keputusan yang tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28