Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Termasuk masalah yang dibahas dalam sebagian kitab fiqh adalah masalah itlaafat (pengrusakan atau pembinasaan), berikut ini pembahasannya. Semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amiin.
Allah Subhaanahu wa Ta’aala mengharamkan kita berbuat zalim terhadap harta orang lain serta merampas hartanya, dan mensyariatkan kita untuk menanggung barang mereka yang binasa tanpa alasan yang benar meskipun tidak sengaja. Oleh karena itu siapa yang membinasakan harta milik orang lain, dan harta tersebut terpelihara, lalu dibinasakan tanpa izin pemiliknya, maka wajib ditanggung. Imam Muwaffaq mengatakan, “Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang masalah ini, baik dilakukan sengaja, lupa, terbebani maupun tidak.”
Orang yang menjadi sebab binasanya sesuatu, maka dia wajib menanggung
Demikian juga orang yang menjadi sebab harta orang lain binasa wajib menanggung, misalnya ia buka pintu lalu hilanglah harta di balik pintu yang sebelumnya terkunci atau yang membuka pengikat wadah, sehingga makanan yang ada di wadah jadi mencair. Dan orang yang melepas ikatan dari hewan yang terikat, lalu hewan itu kabur.
Demikian juga jika seseorang memberhentikan mobil di sebuah jalan, sehingga mengakibatkan tabrakan atau ada seorang yang tertabrak, maka ia (yang memparkirkan mobil di jalan) wajib menanggung.
Termasuk wajib menanggung pula adalah orang yang meletakkan di jalan tumpukan tanah, kayu, atau batu atau menggali suatu galian di jalan, kemudian ada seorang yang binasa karenanya atau tertimpa bahaya, maka orang yang meletakkan itu dan yang menggali itu wajib menanggung.
Demikian juga jika seseoprang memelihara anjing yang suka menggigit, lalu anjing itu menggigit orang yang lewat, maka ia wajib menanggung.
Jika seseorang memiliki hewan ternak, maka ia wajib menjaganya di malam hari agar tidak merusak tanaman milik orang lain atau mengganggu diri mereka. Jika ia malah meremehkannya, lalu terjadi kebinasaan, maka ia harus menanggung. Hal itu, karena Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam telah memutuskan, bahwa pemilik harta harus menjaga hartanya di siang hari dan pemilik ternak harus menjaganya di malam hari, sehingga jika binatang itu melakukan perusakan di malam hari, maka pemiliknya harus menanggung karena harta kaum muslim dan jiwa mereka terpelihara, sehingga tidak boleh dizalimi atau menjadi sebab rusak dan binasanya milik mereka.
Imam Baghawiy berkata, “Ahli ilmu berpendapat bahwa harta orang lain yang dirusak oleh hewan yang dilepas di siang hari, maka pemiliknya tidak menanggung. Namun jika hewan itu merusak di malam hari, maka pemiliknya wajib menanggung. Karena secara uruf (kebiasaan yang berlaku) bahwa pemilik dinding dan kebun biasanya menjaga di siang hari, sedangkan pemilik hewan menjaganya di malam hari. Jika ternyata menyalahi kebiasaan ini, maka ia keluar dari ‘uruf. Hal ini ketika pemilik hewan tidak bersamanya, jika pemilik hewan bersamanya, maka ia wajib menanggung harta yang dirusak hewannya.”
Disebutkan dalam Alquran tentang kisah Dawud dan Sulaiman serta keputusan mereka berdua, “Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu,–Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)[1]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan Hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. dan kamilah yang melakukannya.” (QS. Al Anbiyaa’: 78-79)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Telah sah berdasarkan nash Alquran pujian terhadap Sulaiman karena diberikan pemahaman untuk mengganti barang yang dirusak dengan yang serupa, karena rusaknya tanaman itu dilakukan ketika membiarkan kambingnya menggembala di malam hari. Ketika itu di kebun ada anggur. Lalu Dawud memutuskan agar nilainya yang rusak berapa agar diganti rugi, kemudian diperhatikanlah kambing itu, ternyata sesuai dengan nilai tanaman yang rusak, maka diberikanlah kambing itu kepada pemilik tanaman. Namun Sulaiman memutuskan agar pemilik kambing menanggung saja, yakni ia menanggung dengan mengganti yang serupa; yaitu dengan merawat kebunnya sampai seperti sedia kala. Ia pun tidak tinggal diam begitu saja, yakni tidak memberikan susu kambing itu sejak rusaknya sampai kebunnya seperti sebelumnya, tetapi ia berikan kepada pemilik kebun hewan ternak itu untuk mengambil bagian yang berkembang dari hewan ternak itu seukuran berkembangnya kebun, sehingga mereka memperoleh manfaat dari kambing itu sebagai ganti manfaat yang hilang yang diperoleh dari kebun mereka. Lalu diperhatikan kedua tanggungan itu, ternyata sama, inilah ilmu yang diberikan khusus oleh Allah kepadanya dan dipuji-Nya karena mengetahuinya.”
Pengrusakan yang dilakukan hewan
Jika seekor hewan di tangan penunggangnya atau pengarahnya, maka ia wajib menanggung jinayat (tindak pengrusakan) yang dilakukan oleh bagian depan hewannya seperti kaki depan (yad) dan mulutnya, tidak bagin belakangnya seperti kaki belakangnya (rijl).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Semua hewan yang bisu seperti sapi, kambing dsb. jinayatnya tidak ditanggung jika hewan itu melakukannya atas kehendak sendiri. Sebagaimana halnya jika hewan yang di tangannya lepas lalu merusak, maka seseorang tidak menanggung, selama hewan itu bukan hewan yang galak dan pemiliknya tidak meremehkannya dalam menjaganya baik di malam hari maupun di pasar-pasar kamum muslimin serta tempat pertemuan mereka. Demikianlah yang dikatakan oleh lebih dari seorang; yakni tidak ditanggung jika hewan itu lepas sendiri tanpa penyetir dan penggiring kecuali yang memang membahayakan (dhaarriyyah).”
Orang atau hewan yang menyerang[2], jika tidak dapat dihentikan kecuali dengan dibunuh, lalu orang yang membela diri ini membunuhnya, maka ia tidak menanggung apa-apa, karena ia membunuh untuk membela dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أُرِيدَ مَالُهُ بِغَيْرِ حَقٍّ فَقَاتَلَ فَقُتِلَ فَهُوَ شَهِيدٌ
“Barangsiapa yang ingin diambil hartanya dengan cara yang tidak dibenarkan, lalu ia melawan, tetapi terbunuh, maka dia syahid.” (HR. Tirmidzi no. 1420, ia berkata, “Hadis hasan shahih.” Dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih At Tirmidzi no. 1147).
Namun perlu diketahui, bahwa barangsiapa yang membinasakan barang-barang yang diharamkan Allah, seperti alat music, salib, wadah-wadah khamr (arak), buku-buku sesat dan bid’ah, vcd dan majalah porno, maka orang ini tidak menanggung. Akan tetapi, pembinasaan tidak dilakukan secara bebas, bahkan harus ada perintah dari hakim dan di bawah pengawasannya untuk menjaga maslahat, menolak mafsadat serta menghindari fitnah.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Oleh: Marwan bin Musa
Artikel www.Yufidia.com
Maraji’: Fiqh Muyassar Fii Dhau’il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Mulakhkhash Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Maktabah Syamilah, Sunan At Tirmidzi dll.
[1] Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di waktu malam. Maka yang punya tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Dawud ‘alaihis salam, lalu Nabi Dawud memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang punya tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi Sulaiman ‘alaihis salam memutuskan agar kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang punya tanaman untuk diambil manfaatnya, dan orang yang punya kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang mepunyai kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. putusan Nabi Sulaiman ‘alaihis salam ini adalah keputusan yang tepat.
[2] Yang menyerang ini menginginkan dirinya, kehormatannya, atau hartanya.