Shalat Jum’at dalam Pandangan Fiqih

Hari Jum’at merupakan hari yang penting bagi kaum muslimin. Hari yang memiliki kekhususan dan keistimewaan yang tidak dimiliki hari-hari lain. Allah memerintahkan kaum muslimin untuk berkumpul pada hari itu untuk menunaikan ibadah shalat di masjid tempat berkumpulnya penduduk. Di sana kaum muslimin saling berkumpul dan bersatu, sehingga dapat terbentuk ikatan kecintaan, persaudaraan adn persatuan.

Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan berkata, “Hari Jum’at merupakan hari terbaik dan termulia, yang Allah khususkan untuk umat Islam. Pada hari itu Allah mensyari’atkan kaum muslimin untuk berkumpul di antara hikmahnya, yaitu menjadi sarana perkenalan, persatuan, saling mencintai dan kerjasama di antara mereka. Ajdilah hari Jum’at sebagai hari raya pekanan dan menjadi hari terbaik.” (Taisir Al Fiqh, karya Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan, Cetakan Kedua, Tahun 1417-1997 H, Riyadh, hlm. 53)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata, “Jum’at –dengan didhammahkan huruf jimnya dan disukunkan huruf min-nya- berasal dari kata al-Jam’u. Dinamakan demikian, karena Allah telah mengumpulkan beberapa perkara kauniyah dan syar’iyah yang tidak ada di hari lainnya. Terdapat padanya penyempurnaan penciptaan langit dan bumi, penciptaan Adam dan terjadinya hari kiamat dan kebangkitan manusia. Juga pada hari itu manusiapun berkumpul.” (Tanbih Al Afham Bi Syarhi Umdah Al Ahkam, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Penerbit, Departemen Pendidikan Saudi Arabia, Tanpa tahun dan cetakan)

Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan dalam hadits-hadits Beliau, di antaranya,
“Sebaik-baiknya hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, masuk dan keluar dari surga dan hari kiamat hanya akan terjadi pada hari Jum’at.” (HR. Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Fadhlu Yaum Al Jum’ah, no.1411)

Pada hari Jum’at, Allah mensyari’atkan shalat Jum’at, sebagaimana dinyatakan dalam firmanNya, yang artinya, “Hai orang-orang yang berimann, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jum’ah: 9)

HUKUM SHALAT JUM’AT

Hukum shalat Jum’at adalah wajib dengan dasar Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma. Adapun dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah,

yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jum’ah: 9)

Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk menunaikannya. Padahal perintah –dalam istilah ushul fiqh- menunjukkan kewajiban. Demikian juga larangan sibuk berjual-beli setelah ada panggilan shalat, menunjukkan kewajibannya; sebab seandainya bukan karena wajib, tentu hal itu tidak dilarang. Sedangkan dalil dari Sunnah, ialah sabda Rasulullah,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ

“Hendaklah satu kaum berhenti dari meninggalkan shalat Jum’at, atau kalau tidak, maka Allah akan mencap hati-hati mereka, kemudian menjadikannya termasuk orang yang lalai.” (HR. Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab At Taghlith Fi Tarki Al Jum’ah, no.1422)

Hal ini dikuatkan lagi dengan kesepakatan (Ijma) kaum muslimin atas kewajibannya, sebagaimana hal itu dinukil para ulama, diantaranya: Ibnu Al Mundzir, Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyah.

SIAPAKAH YANG DIWAJIBKAN SHALAT JUM’AT

Syaikh Al Albani berkata, “Shalat Jum’at wajib atas setiap mukallaf, wajib atas setiap orang yang baligh, berdasarkan dalil-dalil tegas yang menunjukkan shalat Jum’at wajib atas setiap mukallaf dan dengan ancaman keras bagi meninggakannya.” (Al Ajwiba An Nafi’ah ‘An Asilat Lajnah Masjid Al Jami’ah, karya Muhammad Nashiruddin Al Bani, cetakan kedua, tahun 1400H, Al Maktab Al Islami, Beirut, hlm 42-43)

Shalat Jum’at diwajibkan kepada setiap muslim, kecuali yang memiliki udzur syar’i, seperti budak belian, wanita, anak-anak, orang sakit dan musafir, berdasarkan hadits Thariq bin Syihab dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ

“Shalat Jum’at wajib bagi setiap muslim dalam berjama’ah, kecuali empat: hamba sahaya, wanita, anak-anak atau orang sakit.”

Sedangkan tentang hukum musafir, para ulama masih berselisih sebagai orang yang tidak diwajibkan shalat Jum’at, dalam dua pendapat, yaitu,

Pertama. Musafir tidak diwajibkan shalat Jum’at. Demikian ini pendapat jumhur Ulama (Bidayat Al Mujtahid Wan Nihayah Al Muqtashid, karya Ibnu Rusyd Al Qurthubi, Cetakan Kesepuluh, Tahun 1408 H, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut, hlm. 1/157), dengan dasar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh safarnya tidak pernah melakukan shalat Jum’at, padahal bersamanya sejumlah sahabat Beliau. Hal ini dikuatkan dengan kisah haji Wada, sebagaimana disampaikan oleh Jabir bin Abdillah dalam hadits yang panjang.

“Lalu beliau mendatangi Wadi dan berkhutbah. Kemudian Bilal beradzan, kemudian iqamah dan shalat Dhuhur, kemudian iqamah dan shalat Ashar, dan tidak shalat sunnah diantara keduanya..” (Potongan hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Hajj, Bab Hajat An Nabi, no. 2137)

Kedua. Wajib melakukan shalat Jum’at. Demikian ini pendapat madzhab Dzahiriyah, Az Zuhri dan An-Nakha’i. Mereka berdalil dengan keumuman ayat dan hadits yang mewajibkan shalat Jum’at dan menyatakan, tidak ada satupun dalil shahih yang mengkhususkannya hanya untuk muqim. (Lihat Majmu’ Fatawa, op.cit, 23/178)

Dari kedua pendapat tersebut, maka yang rajih adalah pendapat pertama, dikarenakan kekuatan dali yang ada. Pendapat inilah yang dirajihkan Ibnu Taimiyah, sehingga setelah menyampaikan perselisihan para ulama tentang kewajiban shalat Jum’at dan ‘Ied bagi musafir, ia berkata, “Yang jelas benar adalah pendapat pertama. Bahwa hal tersebut tidak disyari’atkan bagi musafir, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bepergian dalam banyak safar, telah berumrah tiga kali selain umrah ketika hajinya dan berhaji haji wada bersama ribuan orang, serta telah berperang lebih dari dua puluh peperangan, namun belum ada seorangpun yang menukilkan bahwa Beliau melakukan shalat Jum’at, dan tidak pula shalat Id dalam safar tersebut; bahkan Beliau shalat dua raka’at saja dalam seluruh perjalanan (safar)nya.” Demikian juga, pendapat ini dirajihkan Ibnu Qudamah dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

Demikian juga orang yang memiliki udzur yang dibenarkan syar’i, termasuk orang yang tidak diwajibkan menghadiri shalat Jum’at.

Orang yang mendapat udzur, tidak wajib shalat Jum’at, tetap wajib menunaikan shalat shalat Dhuhur, bila termasuk mukallaf. Karena asal perintah hari Jum’atadalah shalat Dhuhur, kemudian disyari’atkan shalat Jum’at kepada setiap muslim yang mukallaf dan tidak memiliki udzur, sehingga mereka yang tidak diwajibkan shalat, Jum’at masih memiliki kewajiban dalam Dhuhur.

WAKTU SHALAT JUM’AT

Waktu shalat Jum’at dimulai dari tergelincir matahari sampai akhir waktu shalat Dhuhur. Inilah waktu yang disepakati para ulama (Lihat Al Mughni, op.cit 3/160), sedangkan bila dilakukan sebelum tergelincir matahari, maka para ulama berselisih dalam dua pendapat.

Pertama. Tidak sah. Demikian pendapat jumhur Ulama dengan argumen sebagai berikut:

  • Hadits Anas bin Malik, ia berkata,
    “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Jum’at ketika matahari condong (tergelincir).” (HR. Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Jumu’ah. Bab Waktu Jum’ah Idza Zalat Asy Syamsu no. 853)
  • Hadits Salamah bin Al Aqwa, ia berkata,
    “Kami shalat Jum’at bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tergelincir matahari, kemudian kami pulang mencari bayangan (untuk berlindung dari panas).” (HR. Imam Muslim dalam Shahih0nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no 1323)

Inilah yang dikenal dari para salaf, sebagaimana dinyatakan Imam Asy-Syafi’i; “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar Umar, Utsman dan para imam setelah mereka, shalat setiap Jum’at setelah tergencilir matahari.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/380)

Kedua. Sah, shalat Jum’at sebelum tergelincir matahari. Demikian pendapat Imam Ahmad dan Ishaq, dengan argumen sebagai berikut:

  • Hadit Salamah bin Al-Aqwa, ia berkata:

    كُنَّا نُجَمِّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ

    “Kami shalat Jum’at bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tergelincir matahari, kemudian kami pulang mencuri bayangan untuk (berlindung dari panas).” (HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no. 1323)

  • Hadits Sahl bin Sa’ad, ia berkata,

    مَا كُنَّا نَقِيلُ وَلَا نَتَغَدَّى إِلَّا بَعْدَ الْجُمُعَةِ

    “Kami tidak tidur dan makan siang, kecuali setelah Jum’at.” (HR Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Firman Allah Surah Jumu’ah Ayat 9, dan Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no. 1422)Dan dalam riwayat Muslim terdapat tambahan lafadz  فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَPendapat ini menyatakan, bahwa makan dan tidur siang dalam adat bangsa Arab dahulu, dilakukan sebelum tergelincir matahari, sebagaimana dinyatakan Ibnu Qutaibah. Demikian juga Rasulullah berkhutbah dua khutbah, kemudian diriwayatkan membaca surat Qaf, atau dalam riwayat lain surat Al-Furqan, atau dalam riwayat lain surat Al Jumu’ah dan Al Munafiqun. Seandainya Beliau hanya shalat Jum’at setelah tergelincir matahari, maka ketika selesai, orang akan mendapatkan bayangan benda untuk bernaung dari panas matahari dan telah eklaur dari waktu makan dan tidur siang.(Lihat Nailul Authar Syarh Muntaqa Al Akhbar Min Ahadits Saiyidi Al Akhyar, karya Imam Asy Syaukani, Cetakan Pertama, Tahun 1415, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut, hlm. 3/275).

  • Hadits Jabir bin Abdillah ketika ia ditanya,

    مَتَى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ قَالَ كَانَ يُصَلِّي ثُمَّ نَذْهَبُ إِلَى جِمَالِنَا فَنُرِيحُهَا حِينَ تَزُولُ الشَّمْسُ


    “Kapan Rasulullah shalat Jum’at, ia menjawab, “Beliau shalat Jum’at, kemudian kami kembali ke onta-onta kami, lalu menungganginya ketika matahari tergelincir.” (HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no. 1421)Syaikh Al-Albani berkata, “Ini jelas menunjukkan, bahwa shalat Jum’at dilakukan sebelum tergelincir matahari.” (Al Ajwiba An Nafi’ah, op.cit 22)

Demikian secara singkat uraian pendapat para ulama, dan yang rajih adalah pendapat kedua, yaitu waktu shalat Jum’at adalah waktu Dhuhur, dan sah bila dilakukan sebelum tergelincir matahari, sebagaimana dirajjihkan Imam Asy Syaukani  dan Syaikh Al Albani.

Oleh Abu Asma Kholid bin Syamhudi

Sumber:  Majalah As-Sunnah Edisi 2 Tahun VIII 1425/2004

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28