Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut ini lanjutan pembahasan tentang ihyaa’ul mawat, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.

Membagi-bagi (iqtha’) tanah, barang tambang dan air

Bagi hakim (imam/pemerintah) yang adil boleh memberikan sebagian tanah yang mati, barang tambang dan air kepada sebagian orang selama di sana terdapat maslahat[1]. Hal ini, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan tanah al-‘Aqiq kepada Bilal bin al-Harits, juga memberikan tanah kepada Wa’il bin Hujr di Hadhramaut, dan memberikan tanah kepada Umar dan Utsman serta sahabat-sahabat yang lain. Akan tetapi ia tidak memilikinya dengan ditetapkan tanah untuknya sampai ia menghidupkannya, bahkan ia hanya lebih berhak daripada yang lain. Jika ia menghidupkannya, maka tanah itu menjadi miliknya, tetapi jika tidak bisa menghidupkannya, maka imam berhak menariknya dan memberikan kepada yang lain yang sanggup menghidupkannya, karena Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menarik kembali tanah-tanah yang diberikannya dari orang-orang yang tidak sanggup menghidupkannya.

عَنْ عُرْوَةَ، أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ، قَالَ: ” أَقْطَعَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَرْضَ كَذَا وَكَذَا “، فَذَهَبَ الزُّبَيْرُ إِلَى آلِ عُمَرَ، فَاشْتَرَى نَصِيبَهُ مِنْهُمْ. فَأَتَى عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ فَقَالَ: إِنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ زَعَمَ: ” أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْطَعَهُ وَعُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَرْضَ كَذَا وَكَذَا “، وَإِنِّي اشْتَرَيْتُ نَصِيبَ آلِ عُمَرَ، فَقَالَ عُثْمَانُ: عَبْدُ الرَّحْمَنِ جَائِزُ الشَّهَادَةِ لَهُ وَعَلَيْهِ

Dari Urwah bin Zubair bahwa Abdurrahman bin Auf berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan tanah kepadaku, demikian juga Umar bin Khaththab pernah memberikan tanah ini dan itu. Zubair kemudian pergi ke keluarga Umar, lalu ia membeli bagiannya dari mereka, maka ia mendatangi Utsman dan berkata, “Sesungguhnya Abdurrahman bin ‘Auf mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberinya tanah, demikian juga memberi Umar bin KHaththab tanah ini dan itu, dan sesungguhnya aku hendak membeli bagian keluarga Umar,” maka Utsman berkata, “Abdurrahman persaksiannya bisa diterima, ia berhak demikian dan berhak menanggungnya.” (HR. Ahmad. Pentahqiq Musnad Ahmad berkata, “Para perawinya adalah tsiqah; para perawi dua syaikh (Bukhari dan Muslim) selain Hammad bin Salamah, maka ia termasuk perawi Muslim, namun tentang mendengarnya Urwah dari Abdurrahman bin ‘Auf perlu direnungi.”)

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ النَّبِيَّ ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَقْطَعَهُ أَرْضًا فِي حَضْرَ مَوْتَ

Dari ‘Alqamah bin Waa’il bin Hujr dari bapaknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberinya tanah di Hadhramaut. (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 1116)

عَنْ عُمَرَ بْنِ دِيْنَارٍ قَالَ : لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ أَقْطَعَ أَبَا بَكْرٍ وَأَقْطَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا

Dari ‘Umar bin Dinar ia berkata: Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, Beliau memberi Abu Bakar tanah dan memberi Umar bin Khaththab tanah.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : أَقْطَعَ النَّبِيُّ ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلَالَ بْنَ الْحَارِثِ الْمُزَنِيَّ مَعَادِنَ الْقَبَلِيَّةِ، جَلْسِيَّهَا وَغَوْرِيَّهَا

Dari Ibnu Abbas ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi barang tambang daerah Qabiliyyah kepada BIlal bin Harits al-Muzanniy, baik bagian tinggi tanah tersebut maupun bagian rendahnya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Abu Yusuf berkata, “Atsar-atsar ini datang menerangkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan tanah kepada beberapa orang. Demikian juga para khalifah setelah Beliau memberikan tanah juga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan maslahat melakukannya baik yang dilakukannya karena dapat melembutkan hati mereka dengan Islam atau dapat memakmurkan tanah. Para khalifah juga memberikan tanah karena melihat orang yang diberikan itu dapat memberi manfaat bagi Islam dan membuat mundur musuh, dan mereka memandang bahwa yang utama adalah apa yang mereka lakukan. Kalau bukan karena itu, tentu mereka tidak akan melakukan dan akan memberikan hak muslim maupun mu’aahad.”

Dicabutnya Tanah Jika Tidak Digarap

Hakim memberikan tanah karena adanya maslahat, jika maslahat itu tidak terwujud, misalnya tidak digarap dan tidak dikembangkan, maka dicabut tanah itu.

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan tanah kepada beberapa orang dari suku Muzainah atau Juhainah, namun mereka malah tidak menggarapnya. Lalu datang orang lain yang mengarapnya, kemudian orang suku Juhainah atau Muzainah menentang mereka dan mendatangi Umar bin Khaththab, maka Umar berkata, “Kalau seandainya itu dariku atau dari Abu Bakar, tentu aku akan menarik kembali, akan tetapi itu merupakan pemberian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian ia berkata, “Barangsiapa yang memiliki tanah, lalu dibiarkan saja sampai tiga tahun dan tidak digarap, kemudian ada orang lain yang menggarap, maka mereka lebih berhak.”

Dari al-Haarits bin Bilal bin Haarits Al Muzanniy dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tanah kepadanya di ‘Aqiq Ajma’. Ketika tiba zaman Umar, ia berkata kepada Bilal, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memberimu agar kamu membatasinya dari manusia, Ia memberimu hanyalah agar kamu menggarapnya, maka ambillah bagian yang kamu sanggup menggarapnya dan kembalikanlah sisanya.”

Dengan demikian, orang yang diberikan tanah tidaklah memilikinya hanya dengan diberikan saja (iqrha’), sampai ia mau menghidupkannya. Hanya saja ia lebih berhak daripada yang lain. Jika dihidupkannya, maka tanah tersebut menjadi miliknya. Namun jika tidak sanggup menghidupkannya, maka imam boleh menarik kembali iqtha’(pemberian)nya, untuk diberikan kepada yang lain yang mampu menghidupkannya karena Umar melakukan demikian.

Dan barangsiapa yang lebih dulu ke tempat tanah yang mubah bukan tanah yang mati seperti tanah tempat buruan dan kayu bakar, maka dia lebih berhak terhadapnya apabila ia telah menghimpunnya.

Jika ada air yang mubah (tidak bermilik) seperti air sungai dan air lembah melewati harta milik orang-orang, maka orang yang berada pada bagian atas berhak mengambil air untuk menyiram tanaman darinya, dan air itu di tahan sampai sebatas mata kaki. Lalu dilepas ke orang yang berada di bawah yang berada dekat dengannya. Dan orang yang di bawah ini pun melakukan hal yang sama dengan yang di atas dst. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اَسْقِ يَا زُبَيْرُ ! ثُمَّ احْبِسِ الْمَاءَ حَتَّى يَصِلَ إِلىَ الْجَدْرِ

Alirkanlah hai Zubair, kemudian tahanlah sampai kepada pembatas (sampai penuh).” (Muttafaq ‘alaih)

Abdurrazzaaq menyebutkan dari Ma’mar dari az-Zuhri ia berkata, “Kami memperhatikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Kemudian tahanlah sampai kena pembatas.” Ternyata hal itu sampai mata kaki.

Imam Abu Dawud dan lainnya meriwayatkan dari Tsa’labah bin Abi Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keputusan terhadap aliran air Mahzur (sebuah lembah di Madinah), yaitu agar yang berada di atas menahan airnya sebatas mata kaki, kemudian melepas kepada orang yang berada di bawah (Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani).

Adapun jika airnya dimiliki, maka dibagi antara para pemilik seukuran kepemilikan mereka dan masing-masing bertindak sesuai bagiannya.

Pemerintah kaum muslimin juga berhak membatasi tanah khusus untuk gembala binatang ternak Baitul Mal kaum muslimin, seperti kuda untuk jihad dan unta zakat selama tidak memadharratkan kaum muslimin karena semakin sempitnya area mereka. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi sumur untuk kuda kaum muslim. Oleh karena itu, bagi imam berhak membatasi rerumputan di tanah yang mati untuk untka zakat dan kuda para mujahid, hewan ternak jizyah, dan hewan yang hilang jika memang butuh demikian dan tidak menyusahkan kaum muslim.

Beberapa Kesimpulan:

1. Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka berarti ia telah memilikinya.

2. Harim (yang masih terikat hak dan pelengkapnya) dari suatu tempat yang makmur tidak bisa dimiliki dengan dihidupkan, karena pemilik area yang dimakmuri berhak terhadap pelengkapnya (fasilitas umum).

3. Imam bagi kaum muslim berhak memberikan tanah yang mati kepada orang yang siap menghidupkannya.

4. Imam berhak membatasi rerumputan di tanah yang mati untuk unta zakat dan kuda para mujahid jika ia butuh kepadanya dan tidak menyempitkan kaum muslim. Hal ini hanya dilakukan oleh imam, dan hal ini disyariatkan untuk maslahat umum. Dalilnya adalah hadits Ash Sh’ab bin Jutsamah secara marfu’ disebutkan, “Laa himaa illaa lillahi wa lirasuulih,” artinya: Tidak berhak membatasi selain Allah dan Rasul-Nya. (HR. Bukhari)

Dan “Hima” artinya dibatasi dan tidak boleh didekati.

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.

Oleh: Marwan bin Musa

Artikel www.Yufidia.com

Maraji’: Fiqh Muyassar Fii Dhau’il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Musnad Ahmad, Al Maktabatusy Syamilah dll.


[1] Namun jika di sana tidak terdapat maslahat seperti yang dilakukan oleh pemerintah yang zalim dengan memberikan bagian tanah karena urusan pribadi tanpa hak, maka tidak boleh.

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28