إصلاح ذات البين
Oleh: Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Haqil
د/ إبراهيم بن محمد الحقيل
وقد يحتاج المصلح إلى بعض الكذب ليُقَرِّب بين المتخاصمين، ويزيل ما بينهما من الضغينة، ويهيأ قلبيهما لقبول الصلح والعفو؛ وذلك كأن يخبر أحد الخصمين بأن صاحبه لا يذكره إلا بخير، وأنه متشوف لمصالحته، حريص على قربه ومودته مع عدم حقيقة ذلك، أو يسأله أحد الخصمين إن كان خصمه ذكره بسوء عنده فينفي ذلك مع وقوعه منه، وما قَصَدَ بكذبه إلا إطفاء نار الخصومة، وإزالة أسباب الشحناء، فَرُخِّص له في ذلك مع قبح الكذب، وعموم المنع منه؛ كما جاء في حديث أم كلثوم بنت عقبة رضي الله عنها أنها سمعت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- يقول: “ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس فَيَنْمِي خيرا أو يقول خيرا“. (متفق عليه). وقال نعيم بن حماد: “قلت لسفيان بن عيينة: أرأيت الرجل يعتذر إليَّ من الشيء عسى أن يكون قد فعله ويحرف فيه القول ليرضيه، أعليه فيه حرج؟ قال: لا، ألم تسمع قوله “ليس بكاذب من قال خيرا أو أصلح بين الناس” وقد قال الله -عز وجل-: {لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ} (النساء:114) فإصلاحه فيما بينه وبين الناس أفضل إذا فعل ذلك لله وكراهة أذى المسلمين، وهو أولى به من أن يتعرض لعداوة صاحبه وبغضته؛ فإن البغضة حالقة الدين، قلت: أليس من قال ما لم يكن فقد كذب، قال: لا، إنما الكاذب الآثم، فأما المأجور فلا، ألم تسمع إلى قول إبراهيم عليه السلام {إِنِّي سَقِيمٌ} (الصَّفات:89) و {بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا} (الأنبياء:63) وقال يوسف لإخوته: {إِنَّكُمْ لَسَارِقُونَ} (يوسف:70) وما سرقوا وما أَثِمَ يوسف؛ لأنه لم يرد إلا خيرا، قال الله -عز وجل-: {كَذَلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ} (يوسف:76)، وقال الملكان لداود -عليه السلام-: {خَصْمَانِ بَغَى بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ} (ص:22) ولم يكونا خصمين وإنما أرادا الخير والمعنى الحسن…بل إن المصلح بين الخصمين منهي عن الصدق إذا كان صدقه يشعل نار الفتنة بينهما، ويزيد فرقتهما.
Orang yang hendak mendamaikan juga terkadang perlu untuk sedikit berdusta, agar dapat mendekatkan kembali antara dua pihak yang berselisih, itu dapat menghilangkan kebencian di antara mereka, dan dapat membuat hati mereka berkenan untuk menerima perdamaian dan pemberian maaf. Sebagai contoh, dengan memberi tahu salah satu pihak bahwa pihak lain tidak menceritakan tentangnya kecuali yang baik-baik, dia sangat berharap dapat berdamai dengannya, dan sangat ingin kembali dekat dan saling mengasihi lagi, meskipun itu bukan sebagaimana kenyataannya. Atau saat salah satu pihak bertanya kepadanya apakah pihak lain menyampaikan hal-hal buruk tentangnya, maka hendaknya dia menyangkal hal itu, meskipun itu benar-benar terjadi. Tidaklah dia bertujuan dalam kedustaannya ini kecuali untuk memadamkan api permusuhan dan menghilangkan sebab-sebab pertikaian, sehingga diberikan rukhsah (keringanan) baginya untuk berdusta dalam keadaan itu, meskipun kedustaan adalah hal yang buruk dan secara umum memang dilarang.
Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadis riwayat Ummu Kultsum binti Uqbah radhiyallahu ‘anha bahwa dia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس فَيَنْمِي خيرا أو يقول خيرا
“Bukanlah disebut pendusta orang yang berusaha mendamaikan antar manusia, lalu dia menyampaikan hal-hal yang baik atau berkata hal-hal yang baik (demi mendamaikan mereka).” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim).
Naim bin Hammad berkata, “Aku pernah bertanya kepada Sufyan bin Uyainah, ‘Apa pandanganmu terhadap orang yang meminta maaf kepadaku atas suatu kesalahan, mungkin dia memang melakukan kesalahan itu, tapi dia mengucapkan hal yang tidak sebenarnya agar dapat dimaafkan, apakah dia berdosa?’” Dia menjawab, “Tidak, tidakkah kamu mendengar sabda Rasulullah: ‘Tidaklah disebut pendusta, orang yang berkata hal-hal yang baik atau mendamaikan antar manusia.’ Dan Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: ‘Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.'” beliau melanjutkan “Jadi memperbaiki hubungan antara dirinya dengan orang lain lebih utama, jika dia melakukan itu karena Allah dan enggan menyakiti kaum Muslimin, itu lebih utama daripada harus menanggung permusuhan dan kebencian kawannya; karena kebencian adalah perusak agama.”
Lalu aku bertanya lagi, “Tapi bukankah orang yang berbicara sesuatu yang tidak terjadi adalah orang yang berdusta?” Dia menjawab, “Tidak, tapi pendusta hanyalah orang yang melakukan dusta yang mengandung dosa. Adapun orang yang berdusta tapi berpahala, maka tidak disebut pendusta. Tidakkah kamu mendengar ucapan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam: ‘Sesungguhnya aku sedang sakit’ (QS. Ash-Shaffat: 89) dan ucapan beliau: ‘Tapi ini dilakukan oleh berhala yang terbesar ini.’ (QS. Al-Anbiya: 63).
Dan Nabi Yusuf juga berkata kepada saudara-saudaranya: ‘Sungguh kalian adalah para pencuri.’ (QS. Yusuf: 70). Padahal mereka tidak mencuri, dan Nabi Yusuf tidak berdosa karena tidaklah dia menghendaki dari hal itu kecuali kebaikan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘Demikianlah Kami melakukan tipu daya untuk Yusuf.’ (QS. Yusuf: 76). Dan ada dua malaikat yang berkata kepada Nabi Daud ‘alaihissalam: ‘(Kami adalah) dua pihak yang berselisih, sebagian kami menzalimi sebagian lainnya.’ (QS. Shad: 22). Padahal dua malaikat (yang menjelma menjadi manusia) itu tidak sedang berselisih, tapi keduanya menginginkan kebaikan dan memiliki tujuan yang baik. Bahkan, orang yang hendak mendamaikan antara dua pihak yang berselisih dilarang berbicara jujur jika kejujurannya dapat menyulut api pertikaian dan menambah perselisihan di antara mereka.”
نمام وإن كان صادقا!!
والذي ينقل الكلام بين الناس على وجه الإفساد يسمى نماما ولو كان صادقا فيما ينقل، والنميمة من كبائر الذنوب، ولا يدخل الجنة نمام كما جاء في الحديث المتفق عليه عن رسول الله -صلى الله عليه وسلم-. فلربما نُهِي المصلح عن الصدق إن كان يضر بمهمته كمصلح بين خصمين، ويُرَخَّصُ له في الكذب إن كان الكذب يؤدي إلى إصلاح ذات البين، وفي هذا المعنى يقول ابن بابويه -رحمه الله تعالى-: “إن الله -تعالى- أحب الكذب في الإصلاح، وأبغض الصدق في الإفساد”.والمتصدي لفض الخصومات، وقطع النزاعات، والإصلاح بين الناس قد يحتاج إلى مال ليدفعه تعويضا أو دية أو إرضاء لأحد الخصمين، فيغرم بسبب ذلك من ماله، فأبيح له أن يأخذ ما غرم من الزكاة؛ إذ إن من أهل الزكاة المنصوص عليهم في كتاب الله -تعالى- الغارمين، سواء غرموا لِحَظِ أنفسهم أم لحق غيرهم. إن الإصلاح بين المتخاصمين مهمة جليلة قد فرط فيها كثير من الناس مع قدرتهم عليها، وكثير من الخصومات تكون أسبابها تافهة، وإزالتها يسيرة، وقد توجد رغبة الصلح عند كلا الخصمين، ولكن تمنعهما الأنفة والعزة من التنازل مباشرة، أو المبادرة إلى الصلح بلا وسيط، فإذا ما جاء الوسيط سهل الإصلاح بينهما؛ لرغبة كل واحد منهما في ذلك، فينال الوسيط أجرا عظيما على عمل قليل، ويؤلف بين قلبين متنافرين. وما من أسرة أو قبيلة بين بعض رجالها خلاف وقطيعة إلا وفيها رجال عقلاء يستطيعون السعي في إزالة الخلاف والقطيعة، ولكن التقصير والغفلة تحول دون ذلك. وما من حارة أو دائرة حكومية أو شركة أو مؤسسة بين بعض أفرادها خصومة إلا وفيها من الرجال الأكفاء من هو قادر على الإصلاح بين المتخاصمين، ولا سيما ذوي الجاه والغنى والمناصب، ولكنهم يقصرون في ذلك من باب عدم التدخل فيما لا يعني حسب ظنهم، وقد صلحت لهم دنياهم فما عليهم لو اختصم الناس، وأكل بعضهم بعضا!! وهذه أنانية مفرطة، وأثرة بغيضة، وحرمان من خير عظيم قد رتبه الشارع الحكيم على إصلاح ذات البين.{فَاتَّقُوا اللهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ} (الأنفال:1).
Disebut Sebagai “Nammam” (pelaku namimah) Meskipun Ucapannya Jujur
Orang yang menyampaikan ucapan orang lain kepada banyak orang demi mendatangkan kerusakan disebut dengan “Nammam”, meskipun apa yang dia sampaikan itu benar. Namimah adalah salah satu dosa besar. Pelaku namimah tidak akan masuk surga, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bisa jadi orang yang hendak mendamaikan pihak yang berselisih itu dilarang untuk berkata jujur, jika kejujurannya dapat mengganggu tugasnya sebagai orang yang akan mendamaikan, dan terdapat keringanan baginya untuk berbohong, jika kebohongan itu dapat menjadi sebab perdamaian antara dua pihak yang berselisih. Dalam hal ini, Ibnu Babawaih rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala menyukai dusta dalam mendamaikan, dan membenci kejujuran dalam perusakan.”
Terkadang orang yang hendak menghentikan pertikaian, menyelesaikan perselisihan, dan mendamaikan hubungan antar manusia membutuhkan harta untuk membayar ganti rugi, untuk membayar harta diyat (ganti rugi korban pembunuhan), atau untuk membuat salah satu pihak yang berselisih mau berdamai, sehingga dia harus berutang demi mencapai tujuan ini. Maka dibolehkan baginya menerima harta zakat sesuai dengan utang yang dia tanggung, karena salah satu golongan yang berhak menerima zakat yang disebutkan secara langsung dalam Kitab Allah Ta’ala adalah orang-orang yang terjerat utang, baik itu yang berutang demi kepentingan diri sendiri atau demi kemaslahatan orang lain.
Usaha mendamaikan pihak-pihak yang berselisih adalah tugas agung yang dilalaikan oleh banyak orang, padahal mereka mampu melakukannya. Banyak sekali perselisihan yang disebabkan oleh hal-hal yang remeh, dan cara menyelesaikannya juga mudah, bahkan terkadang ada keinginan untuk berdamai dari kedua belah pihak, tapi mereka masih terhalangi oleh rasa gengsi dan keangkuhan sehingga enggan untuk mengalah secara langsung atau berinisiatif untuk berdamai tanpa pihak yang menjadi penengah, lalu ketika ada orang yang mau menjadi penengah, akan mudah sekali tercapai kata damai antara keduanya, karena telah ada keinginan untuk berdamai dari kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak penengah itu akan dapat meraih pahala yang besar dengan usaha yang minimal, dan dapat menyatukan kembali dua hati yang saling berpaling.
Tidaklah dalam keluarga atau kabilah yang di dalamnya terjadi perselisihan dan pemutusan hubungan di antara anggotanya, melainkan dalam keluarga atau kabilah itu terdapat orang-orang cerdas yang mampu mengusahakan agar perselisihan dan pemutusan hubungan itu dapat diselesaikan. Namun, kelalaian dan keabaian menghalangi terjadinya hal itu.
Tidaklah di suatu kampung, daerah administrasi, perusahaan, atau yayasan yang di antara anggotanya terjadi perselisihan, kecuali ada di antara mereka orang-orang berkompeten yang mempunyai kapasitas untuk mendamaikan antara pihak-pihak yang berselisih, terlebih lagi orang-orang yang memiliki kedudukan, kekayaan, dan jabatan. Namun, mereka lalai dalam hal ini atas dasar tidak ingin ikut campur dalam hal yang menurut mereka tidak menjadi kepentingan mereka.
Dunia telah berpihak kepada mereka, lalu apa urusannya jika orang-orang lain saling berselisih dan saling memakan satu sama lain!! Perasaan seperti ini adalah egoisme berlebihan dan sikap mementingkan diri sendiri yang tercela serta bentuk menghalangi diri dari kebaikan besar yang telah ditetapkan oleh Sang penetap syariat yang Maha Bijak bagi orang-orang yang berusaha mendamaikan pihak-pihak yang berselisih. “… maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal: 1).
Sumber:
https://www.islamweb.net/إصلاح ذات البين
