Oleh:
Dr. Yasir Musthofa Yusuf
Siapa dari kita yang tidak menghadiri majelis dan perkumpulan orang-orang? Siapa dari kita yang tidak berkunjung ke orang-orang terkasih, teman-teman, dan para sahabat di rumah dan tempat berkumpul mereka? Siapa dari kita yang tidak hadir di resepsi dan pesta mereka, atau menunaikan kewajiban terhadap mereka dalam memberi pelipur lara pada rasa sakit dan musibah mereka? Siapa dari kita yang tidak berdandan untuk momen-momen itu dengan dandanan yang menampakkan penampilan yang bagus, mewah, dan pesona menawan?
Dia berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya, menyisir jenggotnya, mengatur keserasian tampilannya, dan melumurkan parfum terbaiknya. Kemudian keluar rumah untuk menemui orang-orang. Demikian juga yang terjadi pada kaum wanita, dia akan melakukan seperti yang dilakukan kaum pria saat hendak bertemu dengan wanita lain, dan bahkan melebihi kaum pria, cermin harus menghadapinya berjam-jam dan melewati waktu yang membosankan.
Bagaimanapun keadaannya, kita semua seperti pria tersebut, dan ini merupakan hal yang baik, dan semua itu dianjurkan selama masih dalam batas masuk akal, tidak berlebihan dan tidak melalaikan.
Namun, apakah cukup dengan itu? Apakah urusan ini selesai dalam batas ini? Apakah kita cukup berhenti pada penampilan luar saja tanpa memperhatikan keadaan batin, kita riuh dengan kulit tanpa peduli dengan inti dan hakikat. Banyak orang yang lalai akan hal ini, melangkahinya untuk fokus pada penampilan luar saja, dan mengabaikannya dengan santai seakan-akan tidak ada apa pun. Ini kalau mereka pernah mendengar dan memahami ini, karena bahkan banyak juga yang tidak mengetahuinya sama sekali.
Dulu Nabi kita Shallallahu Alaihi Wa Sallam ketika bercermin, mengucapkan:
“Ya Allah! Sebagaimana Engkau telah memperindah penciptaanku, maka indahkanlah juga akhlakku.” (HR. Al-Baihaqi dalam kitab Asy-Syu’ab No. 8543).
Dengan ini beliau memberi pesan kepada umatnya bahwa perhatian kepada keadaan batin – yang di antaranya adalah hati dan akhlak – merupakan salah satu inti dari agama dan syariat kita, dan tujuan penting dari syariat yang suci ini, sedangkan orang yang hanya peduli dengan penampilan luarnya saja, dan membiarkan penyakit-penyakit hati dan mentalnya berbuat sesuka hati pada batinnya adalah orang yang lalai, tidak mengerti di mana letak kebaikan, dan tidak mengetahui mana yang membawa kemaslahatan baginya untuk dia raih dengan segera.
Hari ini, wahai saudara-saudaraku yang mulia! Banyak orang yang sengsara karena mengejar penampilan luar, mengerahkan segenap usaha dan tenaga untuk mencapai standar terbaru kecantikan atau ketampanan, dan peluncuran terkini mode dan pakaian. Pria dan wanita dalam hal ini sama saja, meskipun lebih jelas terlihat pada kaum wanita. Mereka bergegas menuju salon-salon kecantikan dan dokter-dokter bedah kecantikan, menggelontorkan uang melimpah di hadapan mereka demi menggapai secuil kecantikan buatan dan palsu.
Kaum pria ingin postur tubuh seperti atlet bintang ini dan itu, hidung seperti hidungnya, garis muka seperti garis mukanya, dan gaya rambut seperti gaya rambutnya. Sedangkan kaum wanita juga tidak mau kalah, ingin lekuk badan seperti penyanyi ini dan bintang model itu, dan terkadang orang yang mendorongnya seperti itu adalah suaminya sendiri setelah terpesona dengan penyanyi-penyanyi dan bintang-bintang model itu, sehingga mereka mengubah ciptaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan terjerumus pada hal yang terlarang.
Ketampanan dan kecantikan seperti apa yang mereka cari dan dambakan? Perhiasan macam apa yang mereka kejar-kejar tanpa ada habisnya? Hanya ketampanan dan kecantikan buatan, dan perhiasan palsu.
Ketampanan dan kecantikan hakiki, dan perhiasan yang asasi adalah yang muncul dalam diri, yakni keindahan akhlak, keindahan jiwa, keindahan pribadi, yang kemudian dapat memancarkan pesona luar seseorang. Keindahan adalah tentang keindahan reputasi diri, bukan keindahan penampilan luar semata. Dalam syair disebutkan:
Ketahuilah! Kecantikan bukanlah dengan pakaian,
Meskipun kamu berhiaskan gaun mewah.
Kecantikan berasal dari dalam jiwa,
Dan pekerti yang mencetak insan mulia.
Ada juga bait syair yang berbunyi:
Ketampanan bukan dengan pakaian yang menghiasi diri
Tetapi ketampanan adalah ketampanan dari ilmu dan budi pekerti
Ketampanan atau kecantikan tidak diukur dengan gemuk atau kurus, warna rambut pirang, putih, atau diganti-ganti, dan tidak pula dengan parfum yang terhirup sana sini!
Bukan hal bagus ketika kita hanya berusaha menutup aurat jasad, tetapi kita justru membiarkan aurat jiwa terpampang bagi setiap orang. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberi kita kelebihan di antara makhluk-Nya yang lain, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya:
“Wahai anak cucu Adam! sungguh Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan bulu (sebagai bahan pakaian untuk menghias diri). (Akan tetapi) pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu merupakan sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Allah agar mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raf: 26).
Disebutkan dalam syair:
Apabila seseorang tidak mengenakan pakaian ketakwaan,
Ia berubah menjadi telanjang meskipun berpakaian.
Sebaik-baik pakaian seseorang adalah ketakwaannya kepada Tuhannya,
Dan tidak ada kebaikan pada orang yang bermaksiat kepada Allah.
Di antara para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam ada seorang sahabat yang bernama Zahir bin Haram Al-Asyja’i. Beliau Radhiyallahu ‘anhu punya paras yang bisa disebut jelek. Namun, karena beliau sangat mencintai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, beliau mencarikan beberapa makanan khas orang-orang badui, dan dulu beliau orang badui. Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam saling bertukar hadiah dengannya, dan memberinya sepenuh cinta dan penghormatan.
Suatu hari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam melihatnya di pasar kota Madinah sedang menjual barangnya. Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam memeluknya dari belakang, tanpa bisa dilihat oleh Zahir. Zahir pun berkata, “Lepaskan aku! Siapa ini?” Lalu Zahir menoleh, dan mengetahui bahwa itu adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, sehingga beliau segera menempelkan punggungnya ke dada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.
Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa yang ingin membeli budak?” Zahir pun berkata, “Wahai Rasulullah! Demi Allah, jika begitu pasti engkau mendapatiku berharga murah!” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, “Tetapi kamu di sisi Allah tidaklah murah!” atau dengan kalimat lain, “Tetapi di sisi Allah kamu mahal!” (Disebutkan dalam kitab Al-Bidayah Wa An-Nihayah jilid 6 hlm. 53).
Meskipun Beliau Radhiyallahu ‘anhu berparas jelek, tetapi punya kedudukan yang tinggi di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkat kesucian jiwanya dan kejernihan hatinya. Inilah jalan bagi setiap orang yang ingin meraih kedudukan di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala atau di hati manusia, kedudukan yang tidak dimiliki orang selainnya.
Sumber:
https://www.alukah.net/sharia/0/9635/سر-الجمال-الحقيقي-للإنسان/
