Tata Cara Tayammum
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:
Agama Islam adalah agama yang mudah dan selalu cocok di setiap waktu, generasi dan di setiap tempat, dan tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk meninggalkan ajaran Islam. Salah satu buktinya adalah dengan adanya syariat tayammum bagi yang tidak mendapatkan air sehingga tidak ada alasan baginya untuk meninggalkan shalat. Berikut ini akan diterangkan sedikit hukum-hukum seputar tayammum, semoga risalah ini bermanfaat, Allahumma aamiin.
I. (definisi) Tayammum
Tayammum secara bahasa artinya Al Qashd (menyengaja). Sedangkan secara syara’, artinya mengusap muka dan kedua tangan menggunakan debu yang baik dengan cara tertentu sebagai ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
II. Tayammum
Tayammum hukumnya masyru’ (disyariatkan) berdasarkan Alquran, As Sunnah dan Ijma’. Dalam Alquran, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam safar atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (An Nisaa’: 43)
Sedangkan dalam As Sunnah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ طَهُورُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ
“Debu yang bersih adalah alat bersuci seorang muslim meskipun ia tidak memperoleh air selama sepuluh tahun. Tetapi, apabila ia mendapatkan air, maka sentuhkanlah ke kulitnya.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 153)
Demikian pula berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan dijadikan bumi itu bagiku sebagai masjid dan alat bersuci.” (HR. Bukhari)
Adapun dalam ijma’, maka Ahli Ilmu sepakat tentang disyariatkan tayammum ketika telah terpenuhi syarat-syaratnya.
III. Syarat Tayammum dan Sebab yang Membolehkannya
Syarat-syarat tayammum adalah:
1. Niat di hati.
2. Muslim
3. Berakal
4. Mumayyiz (mampu membedakan), misalnya usianya tidak di bawah tujuh tahun.
5. Kesulitan menggunakan air
Kesulitan menggunakan air di sini bisa karena:
– Tidak ada air (lihat surah An Nisa’: 43), Akan tetapi, sebelum bertayammum hendaknya ia mencari air lebih dahulu. Jika telah diyakini tidak ada air atau ada namun berada jauh sekali darinya, maka ia tidak perlu memaksakan diri mencarinya.
– Karena berbahaya jika menggunakannya seperti akan bertambah sakitnya atau semakin lama sembuhnya jika menggunakannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala di surah An Nisaa’: 43 atau Al Maa’idah: 6 yang bunyinya, “Wa in kuntum mardhaa” (artinya: Dan jika kamu sakit…dst.)
– Karena sangat dingin yang dikhawatirkan berbahaya bagi dirinya jika menggunakannya. Hal ini berdasarkan hadits ‘Amr bin ‘Ash berikut:
عَن عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ قَالَ لَمَّا بَعَثَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ ذَاتِ السَّلَاسِلِ قَالَ احْتَلَمْتُ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيدَةِ الْبَرْدِ فَأَشْفَقْتُ إِنْ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلَكَ فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي صَلَاةَ الصُّبْحِ قَالَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ يَا عَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي احْتَلَمْتُ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيدَةِ الْبَرْدِ فَأَشْفَقْتُ إِنْ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلَكَ وَذَكَرْتُ قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ { وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا } فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا
Dari ‘Amr bin ‘Aash, ia berkata: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimnya pada tahun (terjadi perang) Dzaatussalaasil ia berkata, “Pada suatu malam yang sangat dingin aku bermimpi, aku khawatir jika aku mandi, maka aku akan binasa, maka aku bertayammum, lalu shalat Subuh bersama kawan-kawanku. Ketika kami datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku sebutkan hal itu kepada Beliau, lalu Beliau bertanya, “Wahai Amr, apakah engkau shalat dengan kawan-kawanmu dalam keadaan engkau junub?” Aku menjawab, “Ya wahai Rasulullah. Sesungguhnya aku mimpi (basah) di malam yang sangat dingin, lalu aku khawatir jika aku mandi, maka aku akan binasa, dan aku ingat firman Allah ‘Azza wa Jalla, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (An Nisaa’: 29) Lalu aku bertayammum dan shalat. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum dan tidak berkata apa-apa.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Daruquthni, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 154)
– Bagi yang memiliki air sedikit, di mana jika ia pakai untuk berwudhu’, ia akan kehausan.
– Bagi yang tidak mampu bergerak mengambil air, dan di sana tidak ada orang yang membawakan air kepadanya.
– Jika antara dia dengan air ada musuh, kebakaran, pencuri atau ia mengkhawatirkan keadaan dirinya, hartanya dan kehormatannya, atau orang yang sakit yang tidak mampu bergerak dan tidak ada yang mengambilkan air untuknya, maka ia seperti orang yang sedang tidak menemukan air. (Lihat Al Mughni 1/315 dan 316, dan Syarhul ‘Umdah oleh Ibnu Taimiyah 1/430).
6. Tayammum tersebut menggunakan tanah yang suci; tidak bernajis (seperti tanah yang terkena kencing dan belum disucikan), yang memiliki debu yang bisa menempel di tangan jika dapat. Hal ini berdasarkan kata-kata sha’id, yang menurut Ibnu Abbas artinya tanah tanaman. Tetapi jika ia tidak mendapatkan tanah seperti itu, maka ia bisa bertayammum dengan yang bisa didapat seperti tanah yang ada pepasir dan batu berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Fattaqulla mastatha’tum” (artinya: Bertakwalah kepada Allah semampumu), Al Auza’iy berkata, “Pepasir termasuk sha’id.”
Disebutkan dalam Fiqhus Sunnah, bahwa para ahli bahasa sepakat bahwa sha’id itu muka bumi, baik ada tanahnya maupun tidak.
Dalam Lisanul ‘Arab (3/254) disebutkan, “Sha’id adalah bumi, ada yang mengatakan dengan ‘bumi yang baik’ dan ada pula yang mengatakan ‘semua tanah yang baik’. Dalam Alquran disebutkan, “Fatayammamuu sha’iidan thayyiban.” Abu Ishaq berkata, “Sha’id adalah muka bumi, dan seorang boleh menepuk dengan kedua tangannya ke muka bumi tanpa perlu mempedulikan tempat tersebut apakah ada tanahnya atau tidak, karena sha’id bukanlah tanah, tetapi muka bumi baik berupa tanah maupun lainnya.” Ia juga berkata, “Kalau tanah itu semuanya berbatu tanpa ada tanahnya, kemudian orang yang bertayammum menepuk tangannya ke batu itu, maka hal itu sudah menjadi penyucinya jika ia mengusap ke mukanya.”
IV. Yang Membatalkan Tayammum
Yang membatalkan tayammum adalah:
- Semua yang membatalkan wudhu’, karena tayammum itu pengganti wudhu, dan yang menjadi pengganti memiliki hukum yang digantikan.
- Ada air, jika tayammum dilakukan karena tidak ada air.
- Hilangnya uzur yang karenanya dilakukan tayammum seperti sakit, dsb.
V. Sifat atau Tatacara Tayammum
Caranya adalah ia berniat di hati, membaca basmalah (Bismillah), lalu menepuk dengan kedua telapak tangannya ke tanah sekali tepuk, kemudian ia tiup kedua tangannya atau membersihkannya dengan ringan (agar mukanya tidak berlumuran debu), kemudian mengusap muka dan kedua tangannya sampai pergelangan. Hal ini berdasarkan hadits ‘Ammar yang di sana diterangkan, bahwa tayammum itu sekali tepuk untuk muka dan kedua telapak tangan (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 161). Demikian pula berdasarkan hadits ‘Ammar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَقُولَ بِيَدَيْكَ هَكَذَا” ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ اَلْأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً, ثُمَّ مَسَحَ اَلشِّمَالَ عَلَى اَلْيَمِينِ, وَظَاهِرَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: وَضَرَبَ بِكَفَّيْهِ اَلْأَرْضَ, وَنَفَخَ فِيهِمَا, ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْه
“Sebenarnya kamu cukup melakukan dengan kedua tanganmu begini,” Beliau pun menepukkan kedua tangannya ke tanah sekali tepuk, lalu mengusapkan tangan kanannya dengan tangan kirinya dan (mengusap) punggung telapak tangannya serta mukanya.” (Muttafaq ‘alaih, lafaz ini adalah lafaz Muslim. Dalam riwayat Bukhari disebutkan, “Beliau menepukkan tanah dengan kedua telapak tangannya dan meniupnya, lalu mengusap dengan kedua telapak tangannya itu muka dan (punggung) kedua telapak tangannya.”)
VI. Seputar Masalah Tayammum
1. Apabila seseorang sudah shalat dengan tayammum lalu ditemukan air maka shalatnya sah tidak perlu diulangi (meskipun masih ada waktu shalat). Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu berikut, ia berkata:
خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدْ الْآخَرُ ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ وَقَالَ لِلَّذِي تَوَضَّأَ وَأَعَادَ لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
“Ada dua orang laki-laki yang keluar untuk safar, lalu tiba waktu shalat namun mereka berdua tidak membawa air, maka keduanya pun bertayammum dengan menggunakan debu yang suci, lalu keduanya shalat. Setelah shalat, mereka menemukan air ketika masih ada waktu (shalat), maka salah satunya mengulangi shalat dan wudhu’nya, sedangkan yang satu lagi tidak mengulangi. Kemudian keduanya mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu kepada Beliau, maka Beliau bersabda kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah sesuai Sunnah dan shalatmu telah sah.” Dan Beliau bersabda kepada yang berwudhu’ lagi dan mengulangi shalatnya, “Untukmu dua pahala.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, lihat Shahih Abi Dawud (238))
Maksud “Untukmu dua pahala,” menurut penyusun ‘Aunul Ma’bud adalah bahwa untukmu pahala shalat dua kali, karena masing-masingnya sah dan menghasilkan pahala, dan sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang memperbagus amalnya. Sedangkan menurut penyusun Subulus Salam, maksudnya adalah untukmu pahala shalat menggunakan debu dan pahala shalat menggunakan air.
2. Syaikh As Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah berkata, “Tayammum adalah pengganti wudhu’ dan mandi ketika tidak ada air, sehingga boleh melakukan perbuatan yang diperbolehkan dengan wudhu’ dan mandi seperti shalat, menyentuh mushaf, dan lainnya. Untuk sahnya tidak disyaratkan harus masuk waktu shalat, dan bagi yang bertayammum boleh shalat fardhu maupun sunat sesukanya dengan sekali tayammum (selama belum batal).”
3. Diperbolehkan bertayammum ke dinding. Hal ini berdasarkan hadits Abul Jahm bin Al Harits bin Ash Shimmah Al Anshariy ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menghadap dari arah sumur Jamal, maka ada seseorang yang menjumpai Beliau dan mengucapkan salam kepadanya, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawabnya, sampai Beliau menghadap ke dinding, lalu Beliau mengusap muka dan kedua tangannya, kemudian menjawab salam.” (HR. Bukhari dan Muslim) Imam Nawawi berkata dalam Syarhnya terhadap Shahih Muslim, “Dalam hadits ini terdapat kebolehan bertayammum ke dinding jika ada debunya.”
4. Jika seorang muslim tidak menemukan air maupun tanah, dan ia tidak mampu memperolehnya, atau ia menemukannya, tetapi tidak mampu melakukan wudhu’ maupun tayammum, maka ia tetap melakukan shalat sesuai keadaannya seperti orang yang diikat yang tidak mampu berwudhu’ maupun bertayammum. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa ia pernah meminjam kalung kepada Asma’, lalu kalung itu hilang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan beberapa orang dari sahabatnya untuk mencarinya, lalu tiba waktu shalat, maka mereka shalat tanpa berwudhu’. Ketika mereka sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka mengadukan hal itu kepada Beliau, lalu turunlah ayat tayammum. Usaid bin Khudhair berkata (kepada Aisyah), “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Demi Allah, tidaklah suatu perkara menimpamu kecuali Allah mengadakan jalan keluar dan menjadikan keberkahan padanya untuk kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam..
Oleh: Marwan bin Musa
Artikel www.Yufidia.com
Maraaji’: Al Fiqhul Muyassar, Fiqhus Sunnah, Al Wajiiz, Minhajul Muslim, Subulus Salam, ‘Aunul Ma’bud, Fathul Bari, Syarh Shahih Muslim, Thahuurul Muslim (Dr. Sa’id Al Qahthani) dll.