Oleh:
Divisi Ilmiah Kantor Dakwah, Pengarahan, dan Penyuluhan Imigran, Selatan Buraidah
Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Salawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi dan manusia pilihan-Nya, dan kepada keluarga, para sahabat, dan setiap pengikut beliau.
Nikmat penglihatan merupakan nikmat besar yang tidak disadari kecuali oleh orang yang telah kehilangannya. Betapa sering kita melihat kesulitan yang dialami oleh orang yang tidak dikaruniai penglihatan? Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyembuhkan mereka dan menetapkan pahala bagi mereka.
Oleh sebab itu, kita wajib mensyukuri nikmat ini dengan menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan melindunginya dari hal-hal yang diharamkan.
Menundukkan pandangan merupakan salah satu sebab terpenting – dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala – dalam menjaga hati dari keterpautan kepada gambar-gambar yang diharamkan, sehingga hati dapat terbebas dari penyakit-penyakit syahwat, tetap dalam kondisi keimanan yang lurus, dan dapat merasakan manisnya amal ketaatan. Hal ini karena hati akan menjadi terpaut dengan Tuhannya.
Ketika Nabi Yusuf Alaihissalam menahan nafsunya dari perbuatan buruk dan menahan badannya dari kemaksiatan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala lalu menghindarkannya dari keburukan dan kekejian. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24).
Adapun orang yang membiarkan pandangannya dan menuruti hawa nafsunya untuk mengendurkan tali kekangnya di sana sini dan berulang berkali-kali, maka hawa nafsu sebenarnya memang menyukai syahwat penglihatan, mata akan menikmati dan hati akan terpana dengan pemandangan yang nikmat. Hanya saja itu merupakan keburukan yang jelas dan penyakit yang berbahaya, karena ia dapat menawan hati dan membuatnya terpaut, merasa sakit, dan terjerumus ke dalam mabuk cinta, kerinduan, dan tergila-gila. Setelah itu, jangan ditanya tentang keadaan pemilik hati tersebut terhadap ibadah, Al-Qur’an, kekhusyukan, kecerahan wajah, dan kebersihan hatinya. Oleh sebab itu, seorang penyair berkata:
Ketika suatu hari kamu mengumbar pandanganmu sebagai pengintai…
Bagi hatimu, niscaya kamu akan dibuat lelah oleh berbagai pemandangan
Kamu melihat sesuatu yang tidak mampu kamu pikul seluruhnya
Dan tidak pula kamu mampu bersabar dari sebagiannya
Dunia seluruh isinya adalah ujian dalam setiap kondisi dan momennya. Sedangkan petaka ini tidak hanya dirasakan oleh orang-orang fasik dan pelaku maksiat saja. Justru terkadang menjadi penyakit – sebagai contoh – orang yang bekerja di pasar, maka harus berhati-hati. Orang yang terkena penyakit ini sering kali tidak merasakan petakanya, sehingga ia terus melakukannya dan memuaskan pandangannya dengan hal-hal yang melegakan hawa nafsunya, lalu beralasan bahwa itu memang sudah menjadi pekerjaannya, pandangan saja tidak akan berpengaruh, atau dia sudah terbiasa dengan itu.
Jawaban atas alasan itu adalah sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu, “Wahai Ali! Janganlah kamu meneruskan satu pandangan dengan pandangan selanjutnya, karena pandangan pertamamu (sekilas) itu untukmu, sedangkan selanjutnya bukan untukmu.”
Harus dikatakan juga kepada orang yang seperti itu, “Hatimu akan rusak, imanmu akan menurun, ibadahmu akan kehilangan ruhnya, sedangkan kamu tidak menyadarinya. Kamu harus menambal amal keburukan itu dengan amal kebaikan yang banyak. Pengaruh dan petaka pertama dari dosa itu adalah kamu tidak menyadarinya lagi. Ini tentu adalah musibah yang lain selain dosa dari pandangan yang diharamkan itu. Pandangan yang pertama adalah pandangan yang sekilas, dan tidak boleh dilanjutkan. Pandangan yang pertama merupakan pandangan yang tidak disengaja, sehingga itu diampuni, Alhamdulillah.
Penanganan pandangan yang diumbar dapat melalui beberapa cara, di antaranya:
Pertama: Menyadari bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala sedang melihatnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala melihatnya ketika dia memandang hal haram yang tidak boleh dilihat itu. Merasa saat dia melakukan itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala melihatnya, sedangkan pendengaran dan penglihatannya berada di bawah kuasa-Nya (yang bisa Allah Subhanahu Wa Ta’ala cabut kapan saja).
Kedua: Menyadari kesaksian mata terhadapnya pada Hari Kiamat. Mata yang digunakan untuk melihat perkara haram itu akan datang menjadi saksi pada Hari Kiamat, lalu mengatakan bahwa dulu ia melihat ini dan itu pada hari ini dan itu. Kesaksian ini akan sesuai dengan apa yang dilihatnya ketika di dunia.
Ketiga: Mengetahui bahwa tatapan haram itu akan memberi titik hitam di hatinya, apabila titik itu semakin banyak di hatinya, maka akan benar-benar menutupnya.
Keempat: Perbuatan buruk ini sering kali akan menyeret ke perbuatan buruk lainnya, sehingga ia akan terjerumus ke dalam tatapan-tatapan haram lainnya. Apabila dia membiarkan nafsunya pada pandangan pertama, maka dia akan memandang untuk kedua, ketiga, dan keempat kalinya, serta seterusnya sehingga dia tenggelam di dalamnya.
Kelima: Menghayati buah keimanan yang dapat dia rasakan berkat menundukkan pandangan, seperti keshalehan hati, ketenangan dan kedamaian jiwa, dan kekuatan iman, semua ini dapat diraih dari menundukkan pandangan.
Keenam: Pandangan yang haram juga akan menyeret kepada perbuatan haram yang lebih besar.
Oleh sebab itu, hendaklah bagi orang yang terbiasa melihat perkara haram itu mencermati lima perkara di atas, agar ia insaf dan bertobat, yang lebih utamanya adalah merasa bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala selalu mengawasinya, Dia berfirman:
“Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatannya).” (QS. Al-Alaq; 14).
Bagaimana sikapnya ketika dia menghayati ayat ini di saat melihat hal yang diharamkan, baik itu melihat secara langsung, di layar televisi, di media sosial, dan lain sebagainya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala melihatnya dalam setiap keadaan. Maka dari itu, hendaklah kita semua bertakwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan menundukkan pandangan kita dari segala hal yang diharamkan, agar anggota badan ini dapat menjadi saksi yang membela kita pada Hari Kiamat, alih-alih menjadi saksi yang memberatkan kita.
Kita memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, hidayah, ampunan, dan keselamatan bagi semua. Semoga salawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau.
Sumber:
https://www.alukah.net/sharia/1001/153636/أهمية-غض-البصر-عما-حرم-الله/
