بسم الله الرحمن الرحيم
Aqidah ibarat pondasi dalam sebuah banguan. Bangunan agar kuat harus diperkuat pondasinya, jika tidak kuat, maka bangunan yang didirikan di atasnya mudah roboh. Inilah sebabnya mengapa kita harus memperkuat aqidah Islam.
Pengertian Aqidah Islam
Aqidah secara bahasa berasal dari kata ‘aqd yang berarti mempererat, mengokohkan, dan mengikat dengan kuat. Secara istilah aqidah adalah keyakinan yang kuat yang tidak dimasuki oleh keraguan. Dengan demikian, aqidah Islam berarti keimanan yang kuat kepada Allah Ta’ala dengan melaksanakan kewajiban berupa tauhid dan taat kepada-Nya, demikian juga beriman kepada malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada qadar serta mengimani semua yang sudah shahih tentang prinsip-prinsip agama (ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, berita yang disebutkan dalam Alquran maupun sunah baik ‘ilmiyyah (sebagai pengetahuan yang harus diyakini) maupun ‘amaliyyah (pengetahuan yang harus diamalkan).
Nama Lain Aqidah Islam
Nama lain aqidah Islam menurut Ahlussunnah di antaranya adalah al i’tiqad, al ‘aqaa’id, at tauhid, sunah, ushuluddin, ushuluddiyaanah, al fiqhul akbar dan asy syarii’ah. Inilah beberapa nama yang paling terkenal di kalangan Ahlussunnah. Adapun penamaan aqidah Islam dengan ilmu kalam, filsafat, tashawwuf, dan teologi tidaklah dibenarkan, karena perbedaan yang mencolok dalam ilmu-ilmu tersebut dengan aqidah Islam. Dalam ilmu kalam dan filsafat, misalnya, yang dijadikan sandaran adalah akal bukan wahyu.
Sedangkan dalam ilmu tashawwuf di antara sandarannya adalah kasyf (adanya penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib). Adapun yang dijadikan sandaran dalam aqidah Islam adalah Alquran, sunah yang shahih, dan ijma’ salafush shalih (generasi pertama Islam).
Di samping itu, jika akal dijadikan sandaran untuk menetapkan aqidah hasilnya hanyalah zhann (perkiraan) yang bisa benar dan bisa salah karena keterbatasannya dan tidak mampu menjangkau yang ghaib. Lalu bagaimana jika perkiraannya salah, maka sama saja ia telah berkata tentang Allah Ta’ala tanpa ilmu, dan yang demikian merupakan dosa yang sangat besar. Allah Ta’ala berfirman:
“……dan (mengharamkan) mengada-ada terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al A’raaf: 33)
Oleh karena itu, prinsip kita dalam masalah aqidah adalah tauqifiyyah (diam menunggu dalil).
Pentingnya Mengenal Aqidah Islam atau Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah Secara Tafsil (Rinci)
Banyak orang yang mengaku dirinya Ahlussunnah wal Jama’ah, akan tetapi dalam perjalanannya ternyata banyak menyelisihi Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini tidak lain, karena pengenalan mereka tentang Ahlussunnah wal Jama’ah masih bersifat mujmal (garis besar) atau tidak terperinci.
Secara umum, memang mereka mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tidak ada seorang muslim pun kecuali yang dijadikan acuan dalam hidupnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akan tetapi sangat disayangkan, mereka tidak mengerti lebih rinci aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah sehingga banyak praktik yang mereka lakukan ternyata bertentangan dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Nah, pada risalah yang singkat ini, kami akan jelaskan lebih rinci aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang merupakan aqidah salafush shalih terdahulu –insya Allah-.
Sumber Pengambilan Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah
1- مصدر العقيدة هو كتاب الله وسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم وإحماع السلف الصالخ
2- كل ما صح من سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم وحب قبوله وإن كان احادا
3- المرجع في فهم الكتاب والسنة هو النصوص المبينة لها وفهم السلف الصالح ومن سار على منهجهم من الأئمة ولا يعارض ما ثبت من ذلك بمجرد احتمالات لغوية
Sumber pengambilan aqidah Islam adalah kitab Allah, sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ijma’ salafush shalih.
Semua yang shahih dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib diterima meskipun jalur periwayatannya Ahad.
Yang dijadikan rujukan dalam memahami Alquran dan sunah adalah nash-nash yang menerangkannya, pemahaman salafush shaalih, dan pemahaman orang-orang yang mengikuti jejak mereka di kalangan para ulama. Semua yang telah tsabit (memang seperti itu secara bahasa) tidak bisa ditolak dengan kemungkinan-kemungkinan lain dari sisi bahasa. (Mujmal Ushul Ahlissunah, karya Dr. Nashir Al ‘Aql)
Penjelasan:
No. 1: Tentang argumentasi Alquran dan sunah sudah kita ketahui bersama, adapun tentang argumentasi ijma’ salafush shaalih adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا، وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ .
“Aku wasiatkan kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun yang memerintah kalian seorang budak Habasyah. Sesungguhnya orang yang hidup setelahku nanti akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpeganglah kalian dengan sunahku dan sunah khulafaa’urraasyidin yang lurus; peganglah sunah itu dan genggamlah dengan gigi gerahammu serta jauhilah perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 2549)
Di samping itu, karena mereka hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dekatnya masa mereka dengan masa beliau, mereka lebih mengetahui bagaimana perjalanan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka di bawah tarbiyah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga masih murni belum tercampuri syubhat dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang seperti yang menimpa generasi setelah mereka.
Oleh karena itu, beliau memerintahkan kita melihat dan mengikuti mereka di saat terjadinya banyak perselisihan dan banyaknya aliran agar dapat mengetahui sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sesungguhnya.
No. 2: Hadis ahad adalah hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir. Para ulama membagi hadis kepada mutawatir dan ahad bukanlah bermaksud untuk menolak hadis, akan tetapi untuk memposisikan bahwa hadis ini tergolong ahad dan hadis ini tergolong mutawatir karena jumlah para perawinya.
Hadis ahad jika shahih wajib diterima secara mutlak baik dalam masalah aqidah maupun hukum. Dalil diterimanya hadis ahad jika shahih banyak sekali, di antaranya ayat berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti …” (QS. Al Hujuraat: 6)
Dan firman Allah Ta’ala di surat At Taubah: 122.
Makna ayat di atas adalah bahwa jika yang datang adalah orang yang adil, maka diterima perkataannya tanpa perlu meneliti lagi. Belum lagi di dalam hadis, sungguh sangat banyak, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim sahabatnya seorang atau dua orang ke tempat tertentu untuk mendakwahkan Islam dan mencukupkan diri dengannya, seperti diutusnya Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Kalau seandainya hal itu tidak cukup tentu beliau akan mengirimkan dalam jumlah banyak.
No. 3: Untuk keterangan nomor ini, kami kira cukup apa yang dikatakan oleh Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam mukaddimah kitab tafsirnya sbb:
“Apabila ada seseorang yang bertanya, ‘Apa cara terbaik dalam menafsirkan (Alquran)?’ Jawab: ‘Sesungguhnya cara terbaik dalam hal ini adalah menafsirkan Alquran dengan (penjelasan) Alquran, yang masih belum jelas di ayat ini mungkin dijelaskan di ayat lain, bila kamu tidak menemukan (penjelasan di ayat lain), maka dengan melihat sunah, karena ia adalah pensyarah Alquran dan penjelasnya…dst.”
Kemudian Ibnu Katsir melanjutkan, “Bila kita tidak menemukan (penjelasannya) dalam Alquran dan sunah, maka kita melihat pendapat para sahabat, karena mereka lebih tahu tentang hal itu…dst”.
Ibnu Katsir berkata lagi, “Bila kamu tidak menemukan dalam Alquran, sunah juga dari para sahabat, maka dalam hal ini para imam melihat pendapat para tabi’in…dst.”
**********
4- أصول الدين كلها قد بينها النبي صلى الله عليه وسلم وليس لأحد أن يحدث شيئا زاعما أنه من الدين
5- التسليم لله ولرسوله صلى الله عليه وسلم ظاهرا وباطنا فلا يعارض شيئ من الكتاب أو السنة الصحيحة بقياس ولا ذوق ولا كشف ولا قول شيخ ولا إمام ونحو ذلك
6- العقل الصريح موافق للنقل الصحيح ولا يتعارض قطعيان منهما أبدا وعند توهم التعارض يقدم النقل
4. Prinsip-prinsip agama (ushuluddin) semuanya telah diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, tidak diperkenankan bagi seseorang mengadakan sesuatu sambil beranggapan bahwa ia termasuk bagian agama.
5. Tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam baik zhahir maupun batin, sehingga tidak boleh mempertentangkan satu pun bagian dari Alquran atau sunah yang shahih dengan qiyas, dzauq (perasaan), kasyf (penyingkapan tabir rahasia), pendapat syaikh, pendapat imam dsb.
6. Akal yang benar akan selalu sama dengan nash/dalil yang shahih. Keduanya jika qath’i (pasti) tidak akan bertentangan selama-lamanya, dan jika nampak seperti bertentangan, maka dalil harus didahulukan. (Mujmal Ushul Ahlissunah karya Dr. Nashir Al ‘Aql).
Penjelasan:
No. 4: Imam Malik rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang mengada-ada dalam Islam suatu bid’ah yang dipandangnya baik, maka sesungguhnya ia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalahnya, karena Allah Ta’ala berfirman “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu “, maka apa saja yang dahulu tidak termasuk bagian agama, sekarang pun sama tidak termasuk bagian agama.”
No. 5: Imam Muhammad bin Syihab Az Zuhriy rahimahullah berkata: “Allah yang menganugerahkan risalah (mengutus para rasul), kewajiban rasul adalah menyampaikan risalah, sedangkan kewajiban kita adalah tunduk menerima.” (Diriwayatkan oleh Bukhari).
Oleh karena itu, tidak boleh mempertentangkan Alquran dan sunah dengan qiyas, dzauq (perasaan) dsb. Bahkan qiyas tidak berlaku jika masih ada nash. Dzauq (perasaan) dan kasyf sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tidak bisa dijadikan rujukan dalam menetapkan aqidah; apalagi jika dipakai untuk mempertentangkan Alquran dan sunah.
Demikian juga tidak boleh mempertentangkan Alquran dan sunah dengan perkataan ulama, imam dsb. Yakni jika telah jelas baginya dalil, lalu ia meninggalkannya hanya karena mengikuti pendapat ulama atau imam tersebut. Imam Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslim sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya suatu sunah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia tidak boleh meninggalkannya hanya karena mengikuti seseorang.” (Lih. Kitab Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Syaikh Al Albani)
No. 6: Adanya kemungkinan bahwa akal sehat bertentangan dengan dalil sangat mustahil sekali, hal ini dapat diketahui dengan jelas setelah anda memperhatikan penjelasan berikut:
Pertama, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengarahkan firman-Nya kepada mereka yang berakal (QS. Shaad: 43).
Kedua, Allah Ta’ala mencela orang-orang yang tidak mau menggunakan akalnya (QS. Al Mulk: 10).
Ketiga, seringnya disebutkan dalam Alquran anjuran berfikir, seperti kalimat “afalaa tatafakkaruun“, “la’allakum tatafakkaruun” dan lainnya.
Keempat, Alquran dan sunah mencela sikap taqlid (ikut-ikutan tanpa ilmu), di mana hal itu dapat membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal (QS. Al Baqarah; 170).
Kelima, Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menggunakan akalnya (QS. Az Zumar: 17-18).
Keenam, terbatasnya ruang lingkup yang dijangkau oleh akal dan pikiran manusia (QS. Al Israa’: 85 yang menerangkan tentang ruh), ayat ini menunjukkan posisi akal di bawah dalil.
Masih adakah anggapan kemungkinan bertentangan, padahal dalil secara tegas memuliakan akal dan menyuruh untuk berfikir?!
Kritik para Ulama Islam Terhadap Ilmu Kalam atau Ilmu Filsafat yang Berbicara Tentang Ketuhanan
Sedih rasanya hati ini, ketika filsafat dijadikan rujukan dalam Aqidah atau sebagai materi ushuluddin seperti yang terjadi di banyak perguruan tinggi Islam akibatnya para mahasiswa yang lulus darinya memiliki pemikiran-pemikiran yang aneh dan menyimpang bahkan ada yang menjurus kepada kekufuran, padahal para ulama telah mengingatkan kita untuk menjauhi ilmu tersebut.
Imam Abu Hanifah berkata: “Aku telah menjumpai para ahli kalam. Hati mereka keras, jiwanya kasar, tidak peduli jika mereka bertentangan dengan Alquran dan sunah. Mereka tidak memiliki wara’ dan tidak juga takwa.”
Al Qadhiy Abu Yusuf berkata, “Mengetahui ilmu kalam adalah suatu kebodohan dan bodoh tentang ilmu kalam adalah sebuah pengetahuan.”
Imam Ahmad berkata, “Pemilik ilmu kalam tidak akan beruntung selamanya. Para ulama kalam itu adalah orang-orang zindiq.”
Terhadap ilmu tersebut Imam Syafi’i membuat sya’ir:
كُلُّ الْعُلُوْمِ سِوَى الْقُرْآنِ مُشْغِلَةٌ
إِلاَّ الْحَدِيْثَ وَالْفِقْهَ فِى الدِّيْنِ
الْعِلْمُ مَا كَانَ فِيْهِ قَالَ حَدَّثَنَا
وَمَاسِوَى ذَلِكَ وَسْوَاسُ الشَّيَاطِيْنِ
“Semua ilmu selain Alquran (seperti ilmu kalam) hanyalah menyibukkan, selain hadis dan mendalami agama.
Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya kata “telah menyampaikan sebuah hadis kepada kami”, sedangkan selain itu hanyalah gangguan setan belaka.”
Wallahu a’lam
Oleh: Marwan bin Musa
Maraji’:
- Mujmal Ushul Ahlis sunah wal Jama’ah (Dr. Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql)
- Syarah aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas)
- Shifat shalatin Nabi (Syaikh Al Albani)
- dll.
Artikel www.Yufidia.com