Fiqh Ijarah (bagian 1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan pembahasan tentang ijaraah, kami berharap kepada Allah agar Dia menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahhumma amin.
Ta’rif (definisi) Ijarah
Ijarah diambil dari kata Ajr, artinya upah atau balasan. Secara syara’ ijarah adalah akad terhadap manfaat dengan adanya upah. Oleh karena itu, tidak sah menyewa pohon karena hendak memanfaatkan buahnya. Hal itu, karena pohon bukanlah manfaat. Demikian juga tidak bisa menyewa uang, makanan yang akan dimakan, makanan yang ditakar dan ditimbang. Hal itu dikarenakan barang-barang tersebut tidak bisa dimanfaatkan kecuali dengan membinasakan barangnya. Demikian juga tidak sah menyewa sapi, kambing, atau unta untuk diperah susunya. Hal itu, karena ijarah adalah kepemilikan manfaat, sedangkan dalam kondisi tersebut yang dimiliki adalah susu, dan itu merupakan barang. Sedangkan ijarah adalah akad terhadap manfaat, bukan pada barang.
Manfaat itu ada yang berupa memanfaatkan barang seperti menempati rumah atau mengendarai mobil, dan terkadang ada manfaat berupa kerja, seperti kerja seorang insinyur, tukang bangunan, penenun, pencelup, penjahit dan penyeterika. Dan terkadang ada manfaat dari orang itu, yakni dari kerja kerasnya seperti pembantu dan karyawan.
Pemilik yang menyewakan manfaat dinamakan mu’jir (peminjam sewaan), sedangkan pihak yang memberikan bayaran disebut musta’jir. Sesuatu yang diakadkan untuk diambil manfaatnya dinamakan ma’jur. Sedangkan upah yang diberikan karena diambil manfaatnya adalah ajr dan ujrah (upah). Ketika akad ijarah berlangsung, maka musta’jir memiliki hak untuk memanfaatkan. Dan pihak yang menyewakan berhak memiliki upah, karena ijarah merupakan akad mu’aawadhah (tukar-menukar) (Lihat Fiqhussunnah pada pembahasan ijarah).
Ada juga yang memberikan ta’rif terhadap ijarah dengan, “Akad untuk memanfaatkan hal yang mubah yang diketahui berupa barang tertentu atau telah disebutkan sifatnya dalam tanggungan sampai waktu yang ditentukan atau terhadap suatu perbuatan sampai waktu yang ditentukan dengan ganti yang telah ditentukan.”
Ta’rif (definisi) ini mengandung syarat-syarat sahnya ijarah:
Pada kata-kata “akad untuk memanfaatkan” tidak termasuk akad terhadap budak, ini tidak bisa dinamakan ijarah, tetapi jual beli.
Pada kata-kata “hal yang mubah” tidak termasuk ke dalamnya manfaat yang haram, seperti zina.
Pada kata-kata “yang diketahui” tidak termasuk ke dalamnya manfaat yang masih majhul, sehingga akad tidak sah.
Pada kata-kata “berupa barang tertentu atau telah disebutkan sifatnya dalam tanggungan sampai waktu yang ditentukan atau untuk suatu perbuatan” diambil dari kata-kata ini bahwa ijarah terbagi dua:
- Ijarah terhadap manfaat suatu barang tertentu atau barang yang disebutkan sifatnya. Contoh yang telah ditentukan adalah dengan mengatakan “Saya sewa kepadamu rumah ini,” sedangkan yang disebutkan sifatnya adalah, “Saya sewa kepadamu unta yang sifatnya begini agar bisa dipakai untuk mengangkut atau ditunggangi.”
- Ijarah untuk mengerjakan suatu amal yang ditentukan. Misalnya mengangkutkan barang ke tempat ini atau membangunkan dinding untuknya.
Pada kata-kata “sampai waktu yang ditentukan” menunjukkan disyaratkannya ijarah itu dimanfaatkan sampai batas waktu yang ditentukan seperti sehari, sebulan dsb.
Dan pada kata-kata “dengan ganti yang telah ditentukan” maksudnya ukuran/upah ijarah itu diketahui.
Hukum Ijarah
Ijarah hukumnya boleh berdasarkan Alquran, sunah, dan ijma’.
Dalam Alquran disebutkan:
Musa berkata, “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu“. (QS. Al Kahfi: 77)
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az Zukhruf: 32)
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Bqarah: 233)
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.—-Berkatalah Dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik”. (QS. Al Qashas: 26-27)
Sedangkan dalam sunah di antaranya adalah sbb.:
أَنَّ النَّبِيَّ ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَأْجَرَ رَجُلاً مِنْ بَنِي الدَّيْلِ يُقَالُ لَهُ : عَبْدُ اللهِ بْنُ الْاُرَيْقِطِ وَكَانَ هَادِيًا خِرِّيْتًا
Bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyewa seorang dari Bani Ad Diil (sebuah suku Abdu Qais) bernama Abdullah bin al-Uraiqith, ia sebagai penunjuk jalan dan ahli (terhadap jalan). (HR. Bukhari)
أَعْطُوا الْأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah karyawan upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 1995)
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا نُكْرِي الْاَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِي مِنَ الزَّرْعِ . فَنَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيْهَا بِذَهَبٍ أَوْ وَرِقٍ
Dari Sa’ad bin Abi Waqqas radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Kami pernah mempersewakan tanah dengan bayaran tanaman yang dekat dengan air, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal itu dan memerintahkan kami untuk menyewakannya dengan bayaran emas dan perak.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i)
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dan memberikan upah kepada tukang bekam.”
Ibnul Mundzir menyebutkan adanya ijma’ tentang kebolehannya, di samping kebutuhan menghendaki demikian, karena kebutuhan terhadap suatu manfaat seperti butuh kepada suatu barang.
Demikian juga sah menyewa manusia untuk mengerjakan suatu pekerjaan seperti menjahit pakaian, membuat dinding atau menunjukkan jalan.
Dan tidak boleh menyewakan rumah, kios dan tempat-tempat tertentu untuk maksiat, seperti untuk menjual minuman keras, menjual barang-barang haram seperti rokok dan gambar, karena ini sama saja membantu berbuat maksiat.
Bagi yang menyewa dibolehkan memberikan kepada yang lain untuk menggantikan posisinya dalam memperoleh manfaat, karena hal itu adalah miliknya. Maka dibolehkan ia penuhi sendiri maupun diwakilkan. Tetapi dengan syarat musta’jir (penyewa) kedua seperti yang pertama dalam memperoleh manfaat, tidak lebih bermadharrat. Misalnya menyewa rumah untuk ditempati, maka boleh disewakan kepada yang lain untuk ditempati atau di bawahnya, namun tidak boleh disewakan kepada orang yang akan menjadikannya pabrik.
Hikmah Disyariatkannya Ijarah
Ijarah disyariatkan karena kebutuhan manusia terhadapnya, mereka butuh rumah untuk ditempati, butuh orang untuk melayani, butuh hewan untuk ditumpangi dan mengangkut barang, butuh tanah untuk ditanami dan beberapa alat untuk dipakai kebutuhan mereka.
Rukun Ijarah
Ijarah dianggap sah dengan ijab dan qabul baik dengan lafaz ijarah, kiraa’ (sewa) dan kata-kata yang muncul dari kedua kata itu dan semua lafaz yang menunjukkan demikian.
Syarat bagi Kedua Pelaku Akad Ijarah
Masing-masingnya disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (bisa membedakan). Jika salah satunya ada yang gila atau anak-anak belum tamyiz, maka akad tidak sah. Ulama madzhab Syaafi’i dan Hanbali menambahkan lagi syarat berikutnya yaitu baligh. Oleh karenanya, tidak sah menurut mereka akad anak-anak meskipun sudah tamyiz.
Syarat Sah Ijarah
Untuk sahnya ijarah disyaratkan syarat-syarat berikut:
Pertama, keridhaan kedua belah pihak, jika salah satunya dipaksa melakukan ijarah, maka tidak sah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. ” (QS: An Nisaa’: 29)
Kedua, mengetahui manfaat yang diakadkan dengan pengetahuan sempurna yang dapat menghilangkan pertengkaran, tentunya dengan melihat barangnya yang hendak disewakan atau sifatnya jika memang dapat dipastikan dengan sifatnya dan jelasnya lama ijarah seperti sebulan, setahun atau lebih atau bahkan kurang dari setahun dan jelasnya amalan yang diharapkan.
Ketiga, Sesuatu yang diakadkan dapat diberikan secara sempurna hakikat maupun syara’. Di antara ulama ada yang mensyaratkan syarat ini, menurut mereka bahwa tidak boleh mengijarahkan barang yang bercampur hak tanpa ada kawannya. Hal itu, karena manfaat barang yang masih bercampur tidak bisa diberikan sempurna. Ini adalah madzhab Abu Hanifah dan Zufar. Namun jumhur (mayoritas) fuqaha’ berkata, “Boleh mengijarahkan barang yang masih bercampur secara mutlak dari kawannya maupun lainnya, karena barang yang masih bercampur hak itu memiliki manfaat dan bisa diserahkan serta bisa dibagi-bagi manfaatnya, sebagaimana hal itu dibolehkan dalam jual beli. Sedangkan ijarah adalah salah satu dari bagian jual beli. Jika manfaatnya tidak diketahui, maka ijarah menjadi faasid (rusak).
Keempat, bisa diserahkan barang yang disewa dan mengandung manfaat. Oleh karena itu, tidak sah menyewakan binatang yang lari, barang yang dirampas yang tidak bisa dicabut karena tidak bisa diserahkan. Demikian juga tidak bisa disewakan tanah untuk ditanami padahal tanah itu tidak bisa menumbuhkan pepohonan atau binatang untuk mengangkut barang, tetapi binatang itu sakit karena tidak adanya manfaat yang merupakan tujuan akad.
Kelima, manfaatnya harus mubah, tidak haram dan tidak wajib. Oleh karena itu, tidak sah ijarah terhadap maksiat, karena maksiat wajib dijauhi. Barangsiapa yang menyewa seseorang untuk membunuh orang lain secara zhalim atau menyewa seseorang untuk membawakan khamr atau menyewa rumahnya untuk dijadikan warung khamr atau main judi atau untuk dijadikan gereja, maka ijarah ini menjadi fasid.
Demikian juga tidak halal upah dukun dan paranormal, yakni upah yang diberikan terhadap pekerjaan mereka itu. Hal itu, karena sama saja mengupah perbuatan yang haram dan memakan harta manusia dengan jalan yang batil.
Demikian juga tidak sah ijarah dalam hal shalat dan puasa, hal itu dikarenakan amalan tersebut merupakan amalan fardhu ‘ain yang wajib dilakukan bagi setiap orang.
Keenam, upahnya berupa harta bernilai dan ditentukan[1], baik dengan dilihat maupun disifati. Hal itu, karena ia merupakan bayaran manfaat.
Adapun syarat upahnya harus ditentukan adalah hadits berikut:
مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ
“Barangsiapa yang mengangkat orang sewaan, maka hendaknya ia memberitahukan upahnya.” (HR. Abdurrazzaq dari Abu Sa’id. Abu Zur’ah berkata, “Yang shahih bahwa kata-kata ini mauquf sampai Abu Sa’id.”)
Menentukan upah sah berdasarkan ‘uruf. Imam Ahmad dan para pemilik kitab sunan meriwayatkan dan dishahihkan oleh Tirmidzi bahwa Suwaid bin Qais berkata:
جَلَبْتُ أَنَا وَمَخْرَمَةُ الْعَبْدِيُّ بَزًا مِنْ هَجَرَ فَأَتَيْنَا بِهِ مَكَّةَ فَجَاءَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْشِي فَسَاوَمَنَا سَرَاوِيْلَ فَبِعْنَاهُ . وَثَمَّ رَجُلٌ يَزِنُ بِالْأَجْرِ فَقَالَ لَهُ :” زِنْ وَأَرْجِحْ ” . . . فَهُنَا لَم يسم له الاجرة بل أعطاه ما اعتاده الناس .
“Saya dan Makhramah al-‘Abdi pernah mengambil pakaian dari daerah Hajar, lalu kami membawanya ke Makkah, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada kami sambil berjalan lalu menawar celana, maka kami menjualnya. Ketika itu, di sana ada seorang yang biasa menimbang dengan bayaran, maka Beliau bersabda: “Timbanglah dan beratkan.”
Di sini Beliau tidak menentukan berapa upahnya, bahkan memberinya seperti pada umumnya orang-orang.
Ibnu Taimiyah berkata, “Apabila seorang menunggangi kendaraan sewaan atau masuk ke kamar mandi umum aau menyerahkan baju atau makanannya kepada orang yang biasa mencuci dan memasak, maka orang itu berhak mendapatkan upah secara ma’ruf (layak).”
Dalil memberi upah secara ma’ruf adalah ayat berikut, “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. Ath Thalaaq: 6)
Dengan demikian, yang dijadikan rujukan dalam upah adalah ‘uruf (kebiasaan yang berlaku).
Ketujuh, Waktu ijarah diketahui. Oleh karena itu, tidak boleh ijarah sedangkan lamanya tidak diketahui karena akan menimbulkan pertengkaran.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Oleh: Marwan bin Musa
Artikel www.Yufidia.com
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Al Fiqhul Muyassar, Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jaza’iriy), dll.
[1] Namun ulama madzhab Zhahiri tidak demikian.