Termasuk Aqidah Islam adalah beriman kepada qadar.
21- الإيمان بالقدر خيره وشره من الله تعالى وذلك بالإيمان بأن الله تعالى علم ما يكون قبل ان يكون وكتب ذلك فىاللوح المحفوظ وان ما شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن فلايكون الا ما يشاء والله تعالى على كل شيء قدير وهو خالق كل شيئ فعال لما يريد.
Beriman kepada qadar Allah yang baik maupun yang buruk, yaitu dengan beriman bahwa Allah Ta’ala Mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi sebelum terjadinya, mencatat semua itu dalam al-Lauhul Mahfuzh, dan bahwa apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, sedangkan yang Dia tidak kehendaki tidak akan terjadi. Oleh karena itu, tidaklah terjadi sesuatu kecuali dengan kehendak-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Kuasa atas segala sesuatu, Dia pula yang menciptakan segala sesuatu dan berbuat apa yang Dia kehendaki. (Mujmal Ushul Ahlissunah karya Dr. Nashir Al ‘Aql).
Tamhid / Pengantar:
Perlu diketahui, bahwa beriman kepada qadar termasuk tauhid rububiyyah, di mana dalam qadar terdapat dalil bahwa Allah yang mengatur alam semesta ini, di samping sebagai Penciptanya dan Pengusanya.
Qadar termasuk rahasia Allah yang tidak diketahui kecuali oleh-Nya saja, dan ia tertulis dalam al-Lauhul Mahfuzh. Kita tidaklah mengetahui qadar yang ditetapkan Allah bagi kita kecuali setelah terjadinya.
Sikap Umat Islam dalam Masalah Qadar
Dalam masalah qadar, umat Islam terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama, golongan yang ghuluw (berlebihan) dalam masalah qadar, dalam arti bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kemampuan maupun pilihan. Menurut golongan ini, manusia ibarat sebuah pohon yang bergerak karena hembusan angin. Mereka yang berkeyakinan seperti ini terkenal dengan golongan Jabriyyah. Nampaknya, mereka tidak bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi oleh kehendaknya dengan perbuatan yang terjadi tanpa kehendaknya. Tidak diragukan lagi, bahwa golongan ini tersesat, karena sudah kita maklumi bersama, bahwa manusia bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi oleh kehendaknya dengan perbuatan yang terjadi tanpa kehendak darinya.
Kedua, golongan yang ghuluw dalam menetapkan adanya kemampuan dan pilihan dalam diri manusia, sampai-sampai mereka meniadakan kekuasaan Allah di sana. Golongan ini beranggapan, bahwa manusia berkuasa mutlak dalam tindakannya. Golongan ini dikenal dengan sebutan golongan Qadariyyah. Mereka juga tersesat sebagaimana golongan Jabriyyah. Terhadap golongan ini, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata:
“Demi Allah yang nyawa Ibnu Umar di Tangan-Nya, seandainya salah seorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu dia infakkan di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada qadar.”
Ketiga, golongan yang beriman kepada qadar, di mana mereka menempuh jalan tengah antara Jabriyyah dan Qadariyyah, dan berjalan di atas dalil naqli (Alquran dan sunah) maupun dalil ‘aqli (akal). Mereka inilah Ahlussunnah wal Jama’ah. Mereka berpandangan, bahwa perbuatan-perbuatan yang terjadi di alam semesta terbagi menjadi dua bagian:
- Perbuatan yang dilakukan oleh Allah Ta’ala pada makhluk-Nya. Maka dalam hal ini, tidak ada kehendak (pilihan) bagi makhluk-Nya. Misalnya diturunkan-Nya hujan, ditumbuhkan-Nya tanaman, ada makhluk yang dihidupkan-Nya dan ada yang dimatikan-Nya, ada yang ditimpakan penyakit dan ada yang diberi kesehatan dan lain sebagainya.
- Perbuatan yang dilakukan makhluk yang memiliki kehendak. Maka dalam hal ini, perbuatan tersebut terjadi oleh pilihan pelakunya dan kehendaknya, karena Allah Ta’ala telah mengadakan kehendak untuk mereka, seperti firman Allah Ta’ala,
“Bagi siapa saja di antara kamu yang ingin menempuh jalan yang lurus.” (QS. At Takwir: 28)
“Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” (QS. Ali Imran: 152)
Manusia bisa merasakan antara perbuatan yang terjadi dengan pilihannya dan perbuatan yang terjadi tanpa ada pilihan (kehendak)nya. Seseorang yang turun dari atas genting dengan tangga merasakan bahwa ia berbuat atas kehendaknya. Sedangkan seorang yang terjatuh dari atas genting merasakan bahwa dirinya tidak menghendaki demikian.
Kritik Terhadap Golongan Jabriyyah dan Qadariyyah
Jika kita mengikuti pendapat golongan Jabriyyah yang berlebihan dalam menetapkan qadar, tentu syariat Islam ini percuma saja. Hal itu, karena menganggap bahwa manusia tidak memiliki pilihan menghendaki tidak perlu dipuji dan diberikan balasan kebaikan orang yang mengerjakan perbuatan baik, serta tidak perlu dicela dan diberikan siksaan orang yang mengerjakan keburukan, karena perbuatan itu bukan mereka yang melakukannya. Dan jika ternyata diberikan siksa, maka sama saja Allah menzalimi mereka, Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari keyakinan rusak seperti ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Adil dan tidak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya, Dia berfirman saat orang-orang zalim dimasukkan ke dalam neraka:
Allah berfirman, “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala,–Yang sangat enggan melakukan kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu,– Yang mempersekutukan Allah dengan tuhan lain, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang keras “.—(Setan) yang menyertainya berkata (pula), “Ya Tuhan Kami, aku tidak menyesatkannya, tetapi dia sendiri yang berada dalam kesesatan yang jauh”.– Allah berfirman, “Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu.” — Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menzalimi hamba-hamba-Ku.” (QS. Qaaf: 24-29)
Dalam ayat di atas, Allah Azza wa Jalla menerangkan bahwa hukuman tersebut bukanlah karena Dia menzalimi mereka, bahkan yang demikian merupakan keadilan-Nya, karena sebelumnya Dia telah memberikan ancaman, bahwa jika mereka menolak ajakan rasul, mereka akan ditimpa azab yang pedih. Allah telah menerangkan kepada mereka jalan yang benar dan jalan yang salah dengan mengutus para rasul, namun mereka lebih memilih jalan yang salah atas pilihan mereka sendiri tanpa dipaksa. Dari sini kita mengetahui batilnya orang yang beralasan dengan qadar ketika bermaksiat.
Adapun golongan Qadariyyah, yakni mereka yang beranggapan bahwa manusia berkuasa mutlak terhadap tindakannya dan bahwa Allah sama sekali tidak berkuasa. Maka pendapat ini tertolak berdasarkan nash-nash syar’i dan waaqi’ (realita). Dalam Alquran disebutkan:
“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.– Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir: 28-29)
Sedangkan realita di lapangan menunjukan bahwa ketika seseorang berniat melakukan sesuatu, ternyata apa yang diniatkannya tidak terlaksana. Hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak menghendakinya.
Dengan demikian, jalan yang benar adalah jalan yang ditempuh Ahlussunnah wal Jama’ah, di mana jalan tersebut merupakan jalan As Salafush Shalih, yakni bahwa manusia berbuat sesuai kehendak dan pilihannya, namun kehendak dan pilihannya mengikuti kehendak Allah Ta’ala, jika Dia menghendaki, maka akan terjadi perbuatan itu dan jika tidak menghendaki, maka tidak akan terjadi perbuatan itu.
Faedah:
Apa maksud firman Allah “Barang siapa disesatkan oleh Allah, maka kamu tidak akan mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (QS. An Nisaa’: 88)
Jawab: Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah kepada orang yang layak menerima hidayah, karena diketahui-Nya bahwa orang tersebut menginginkan kebenaran dan bahwa hatinya memang lurus. Dia pun menyesatkan orang yang layak disesatkan, karena diketahui-Nya bahwa orang tersebut tidak menginginkannya. Hikmah (kebijaksanaan) Allah menghendaki bahwa orang tersebut tidak berhak mendapatkan hidayah, kecuali apabila Allah memperbaiki hatinya dan menjadikan orang tersebut menginginkan hidayah. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. Ash Shaf: 5)
Maksudnya karena mereka berpaling dari kebenaran, maka Allah membiarkan mereka sesat dan bertambah jauh dari kebenaran.
Ayat di atas menunjukkan bahwa sebab tersesatnya seorang hamba adalah karena dirinya sendiri.
Tingkatan Beriman kepada Qadar
Beriman kepada qadar tidaklah sempurna kecuali dengan beriman kepada empat perkara:
Pertama, beriman bahwa Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu baik secara garis besar maupun secara terperinci, Dia juga mengetahui semua makhluk-Nya sebelum menciptakan mereka, mengetahui rezeki mereka, ajal, ucapan dan amal mereka, mengetahui rahasia dan yang terang-terangan dari mereka juga mengetahui siapa penghuni surga dan siapa penghuni neraka (QS. Ath Thalaq: 12).
Kedua, beriman bahwa Allah Ta’ala telah mencatat taqdir segala sesuatu dalam sebuah kitab (al-Lauhul Mahfuzh), lihat surat Al Hadid: 22. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah mencatat taqdir semua makhluk lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim)
Ketiga, beriman bahwa semua yang terjadi adalah dengan kehendak (masyi’ah) Allah Ta’ala antara rahmat dan hikmah-Nya. Apa yang dikehendaki-Nya akan terjadi dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, lihat dalilnya di surat At Takwir: 29.
Keempat, beriman bahwa Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu, (QS. Al Furqan: 2), termasuk perbuatan hamba-hamba-Nya (QS. Ash Shaaffat: 96).
Bolehkah Beralasan dengan Taqdir Ketika Maksiat?
Beralasan dengan taqdir ketika bermaksiat tidak benar berdasarkan alasan berikut:
Pertama, Allah Azza wa Jalla telah memberikan kemampuan kepada manusia serta menjadikannya bisa memilih antara berbuat atau tidak.
Kedua, manusia merasakan bahwa perbuatannya dilakukan tanpa ada yang memaksa, dan ia juga bisa membedakan antara perbuatan yang dipaksa dengan yang tidak.
Ketiga, manusia bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi karena keinginannya dengan yang tidak. Yang tidak diinginkannya, misalnya gemetar sendiri, tergelincir di jalan dsb.
Keempat, bagaimana menurut anda bila ada seseorang yang merampas harta anda lalu ia berkata kepada anda, “Saya melakukan hal ini karena qadar Allah, maka jangan salahkan saya” apakah anda akan menerima alasannya? Tentu anda tidak akan menerima alasannya.
Oleh: Marwan bin Musa
Artikel www.Yufidia.com
Maraji’: Risalah fil qadhaa’ wal qadar (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), Mujmal Ushul Ahlissunnah wal jama’aah fil ‘aqiidah (Dr. Nashir Al ‘Aql) dll.