Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan pembahasan seputar shulh, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Hukum Shulh ‘an Inkar dan ‘an Sukut
Jumhur ulama berpendapat bolehnya mengadakan shulh ‘an inkar dan ‘an sukut. Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm berkata, “Tidak boleh mengadakan shulh selain shulh ‘an iqrar,” karena shulh mendakwakan adanya hak yang tetap, dan hal itu tidak ada dalam keadaan adanya pengingkaran atau diam. Adapun dalam keadaan adanya pengingkaran, karena hak tidak mungkin tetap kecuali dengan adanya dakwaan dan ia dipertentangkan dengan adanya inkar dan diamnya terdakwa. Ketika adanya pertentangan, maka hak menjadi tidak tetap. Sedangkan dalam keadaan diam, karena orang yang diam dianggap mengingkari hukumnya sampai terdengar bukti kepadanya. Oleh karena itu adanya pengeluaran harta untuk melerai permusuhan tidaklah sah. Karena pertentangan itu batal, sehingga harta yang dikeluarkan sama saja risywah (sogok), dan hal itu tentu terlarang secara syar’i, karena Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, agar kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 188)
Ada juga di antara ulama yang bersikap tengah-tengah; mereka tidak melarangnya secara mutlak dan tidak membolehkan secara mutlak. Mereka berkata, “Sepatutnya dikatakan, Jika pendakwa mengetahui bahwa ia memiliki hak pada lawannya, maka ia boleh mengambil sesuatu yang dishulhkan meskipun lawannya mengingkari. Namun jika ia mendakwakan sesuatu yang batil, maka haram baginya berdakwa dan mengambil sesuatu dari shulh. Sedangkan si terdakwa jika ia mengetahui ada hak pada dirinya, ia mengingkari hanyalah karena tujuan tertentu, maka ia wajib menyerahkan hasil shulh. Jika si terdakwa mengetahui bahwa dirinya tidak memiliki hak, maka boleh memberikan sebagian hartanya untuk melerai persengketaan dengan penagihnya dan agar tidak menyakitinya dan bagi pendakwa haram mengambil hasil shulh. Dengan demikian bergabunglah semua dalil, sehingga tidak dikatakan shulh ‘an inkar tidak sah, atau bahwa shulh ‘an inkar sah secara mutlak, bahkan ada perincian di sana[1].
Orang yang membolehkan shulh ‘an inkar atau ‘an sukut, berkata, “Sesungguhnya hukumnya ada pada hak pendakwa sebagai ganti terhadap haknya, sedangkan pada hak terdakwa sebagai penebus sumpahnya serta melerai permusuhan dari dirinya.”
Akibat dari hal tersebut adalah bahwa badal shulh jika berupa barang, maka masuk ke dalam masalah jual beli sehingga berlaku hukum-hukumnya. Jika berupa manfaat, maka dihukumi dengan hukum ijarah (Diambil dari Fiqhus Sunnah)..
Dengan demikian, shulh ‘an Inkar bagi pendakwa seperti hukum jual beli, karena ia yakin ganti terhadap hartanya, maka diberlakukan keyakinan itu. Sedangkan si terdakwa seakan-akan membeli barang darinya, sehingga masuk ke dalam hukum jual beli dari sisi ini. Misalnya mengembalikan karena cacat dan mengambil syuf’ah jika berlaku syuf’ah.
Hukum shulh ini bagi terdakwa adalah pembebasan dirinya dari dakwaan, karena ia telah menyerahkan harta untuk menebus sumpahnya, menghilangkan madharratnya serta memutuskan perselisihan untuk menjaga dirinya dari pengorbanan dan pertentangan. Di samping, karena jiwa yang mulia enggan menyibukkan diri dengan demikian, sehingga mereka pun menyerahkan harta untuk membebaskan dirinya dari hal tersebut. Kalau pun ia menemukan cacat pada sesuatu yang dipakai shulh, ia tidak mengembalikannya, juga tidak diambil karena syuf’ah, karena ia tidak mengganggapnya sebagai ganti terhadap sesuatu.
Jika salah seorang yang melakukan shulh berdusta dalam shulh ‘an Inkarnya, misalnya pendakwa berdusta, ia mendakwaan sesuatu yang ia ketahui bahwa itu bukan miliknya atau si pengingkar berdusta terhadap dakwaan yang ditujukan kepadanya padahal ia tahu dirinya berdusta dalam mengingkari, maka shulhnya batal, baik terjadi kedustaan itu dari si pendakwa maupun terdakwa, karena ia mengetahui hak yang sebenarnya dan bisa memberikan hak itu. Sehingga barang atau apa saja yang diambilnya karena alasan shulh, maka itu adalah barang haram, karena ia mengambil secara zalim dan bukan sebagai ganti terhadap hak yang diketahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (Terj. QS. Al Baqarah: 188)
Meskipun secara zhahir di hadapan manusia shulh ini sah, karena mereka tidak mengetahui hal yang tersembunyi, akan tetapi hal tersebut tidaklah merubah hakikatnya di sisi Allah Tuhan yang mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi. Oleh karena itu, seorang muslim harus berhati-hati terhadap tindakan buruk dan pencarian celah yang batil ini.
Termasuk masalah Shulh ‘an Inkar juga adalah jika orang asing/ajnabiy melakukan shulh ‘an inkar tanpa seizinnya, maka shulh itu sah. Karena ajnabiy ini tidak ada maksudnya selain melepaskan si terdakwa dan memutuskan pertengkaran.
Shulh juga sah terhadap hak yang tidak diketahui, baik masing-masing punya hak terhadap yang lain atau salah satunya. Jika hak yang tidak diketahui ini sulit diketahui, misalnya perhitungan harinya sudah berlalu masa yang lama, dan masing-masing tidak mengetahui barang yang ada di kawannya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat tentang dua orang yang bertengkar tentang harta mawaris yang sudah hilang asal usulnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada keduanya,
اِسْتَهِمَا وَتَوَاخَيَا الْحَقَّ وَلْيُحَلِّلْ أَحَدُكُمَا صَاحِبَهُ
“Bagilah oleh kalian berdua dan pilihlah yang hak, dan hendaknya salah seorang di antara kamu menghalalkan saudaranya.” (HR. Abu Dawud dll.)
Di samping karena hal itu adalah pengguguran hak, maka bisa sah dalam hak yang majhul (tidak diketahui), juga agar tidak mengakibatkan sia-sia harta itu atau masih adanya tanggungan yang membuatnya repot. Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadits tersebut agar masing-masing menghalalkan adalah menunjukkan agar kita bersikap hati-hati dan karena hak makhluk itu sangat besar.
Shulh terhadap qishas juga sah dengan diat yang sudah ditentukan secara syara’ atau kurang atau bahkan lebih. Karena harta bukan itu maksudnya, sehingga tidak terjadi ‘iwadh (penggantian) dalam hal ini.
Tetapi shulh tidak sah terhadap hudud, karena hudud itu disyariatkan untuk menjadikan pelakunya jera, di samping hal itu adalah hak Allah dan hak masyarakat. Jika diadakan shulh tentu akan membatalkan hak tersebut, masyarakat tidak mendapatkan faedahnya serta memberikan ruang kenikmatan bagi pelaku kerusakan (Diambil dari Al Mulakhkhash Al Fiqhi).
Adapun tentang mushaalah ‘anh (hak yang dipersengketakan), maka ia dilakukan untuk melerai permusuhan dan bukan sebagai ganti terhadap harta. Kapan saja seseorang sudah berhak mendapatkan badal shulh, maka si pendakwa beralih membawa persengketaan kepada si terdakwa, karena ia tidaklah meninggalkan dakwaan kecuali agar diserahkan kepadanya badalnya. Kapan saja ia telah berhak menerima mushalah ‘anh (hak yang dipersengketakan), maka si terdakwa beralih kepada pendakwa, karena ia tidaklah menyerahkan badal shulh kecuali agar pendakwa menerima. Jika telah berhak, namun belum sempurna maksudnya, maka ia beralih kepada pendakwa. (Diambil dari Fiqhus Sunnah).
Shulh Terhadap Utang yang Diberi Tempo yang Sebagiannya Diminta Segera
Kalau seseorang mengadakan shulh terhadap utang yang diberi tempo, sedangkan sebagiannya diminta segera, maka hal itu tidak sah menurut ulama madzhab Hanbali dan Ibnu Hazm. Ibnu Hazm dalam Al Muhalla berkata, “Tidak boleh mengadakan shulh dalam hal yang di sana terdapat pembebasan kepada sebagiannya padahal syarat asalnya adalah diberi tempo, karena hal tersebut merupakan syarat yang tidak ada dalam kitab Allah, sehingga menjadi batil. Akan tetapi, segera dalam tanggungan, di mana ia menunggunya sesuai kehendaknya tanpa syarat, karena yang demikian merupakan mengerjakan kebaikan.”
Sedangkan Ibnul Musayyib, Al Qaasim, Malik, Syaafi’i dan Abu Hanifah memakruhkan.
Namun ada riwayat dari Ibnu Abbas, Ibnu Sirin dan An Nakha’iy bahwa yang demikian tidak mengapa.
Kesimpulan Singkat
- shulh ‘an inkar atau ‘an sukut adalah sah jika yang mengingkari meyakini batilnya dakwaan itu, lalu ia menyerahkan harta untuk melerai pertengkaran dan menebus sumpahnya, sedangkan pihak pendakwa meyakini benarnya dakwaannya, lalu ia mengambil harta itu sebagai ganti dari hartanya yang memang tsabit (ada pada saudaranya).
- Shulh terhadap hak yang majhul (tidak diketahui) adalah sah, yakni yang tidak diketahui akan adanya utang atau barang. Misalnya antara dua orang terjadi mu’amalah dan telah berlalu waktu yang panjang, dan salah seorang dari keduanya tidak mengetahui adanya hak saudaranya pada dirinya.
- Shulh sah untuk setiap yang bisa mengambil ganti terhadapnya, seperti shulh terhadap qishas dengan diyat yang ditentukan secara syara’, kurang dari itu atau lebih dari itu.
- Shulh tidak sah untuk setiap yang tidak bisa mengambil ganti terhadapnya, seperti shulh terhadap had, karena ia disyariatkan untuk membuat jera.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Oleh: Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqh Muyassar Fii Dhau’il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At Tirmidzi, Al Maktabatusy Syamilah dll.
[1] Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Fat-hul ‘Allam syarh Buluughil Maraam.