Fiqh Syarikah (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang syarikah , kami berharap kepada Allah agar Dia menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahhumma aamin.
4. Syarikah Abdan, yaitu dua orang atau lebih bersekutu dalam hal yang mereka berdua usahakan dengan badannya dari perkara mubah, seperti dalam pencarian sesuatu, berburu, menggali barang tambang, mengumpulkan kayu bakar, atau berserikat pada pekerjaan yang mereka berdua tanggung seperti menenun, menjahit dsb.
Selanjutnya laba atau keuntungan dibagikan antara para sekutu sesuai kesepakatan sebagaimana kerugian ditanggung keduanya sesuai ukuran hartanya, dan masing-masing dari keduanya berhak membatalkan akad syarikah kapan saja ia mau sebagaimana akad syarikah juga menjadi batal dengan kematian salah satunya atau menjadi gila.
Syarikah abdan ini biasanya dilakukan oleh para tukang kayu, para tukang pandai besi, kuli angkut, para penjahit, tukang cetak, dan para pemilik keterampilan lainnya. Syarikah ini sah baik sama bentuk pekerjaannya maupun berbeda, seperti tukang kayu dengan tukang kayu atau tukang kaya dengan tukang besi. Demikian juga sama saja, baik keduanya bekerja atau hanya satu saja yang bekerja; baik sendiri atau pun bersama-sama. Nama lain syarikah ini adalah syarikah a’mal, syarikah abdan, syarikah shanaa’i dan syarikah taqabbul,
Dalil bolehnya syarikah ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i dan lain-lain, dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Saya, Ammar dan Sa’ad pernah berserikat dalam bagian yang kami dapatkan pada perang badar. Lalu Sa’ad membawa dua tawanan, sedangkan saya dan ‘Ammar tidak membawa apa-apa.” (Namun hadits ini didha’ifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ (1474))
Namun Imam Syafi’i berpendapat, bahwa syarikah ini batil, karena menurutnya, bahwa syarikah itu hanya khusus terhadap harta; tidak terhadap amal (pekerjaan).
Ketika sudah terjadi kesepakatan, maka tugas yang diterima oleh salah seorang di antara mereka, wajib dilakukan oleh sekutu yang lain, sehingga masing-masing sekutu meminta tugas-tugas yang diterima oleh kawan sekutunya. Demikian juga, masing-masing sekutu berhak menuntut upah pekerjaan yang diterimanya atau diterima kawannya. Dan dibolehkan bagi penyewa menyerahkan upah kepada salah seorang dari mereka, karena masing-masing dari mereka adalah wakil bagi yang lain, sehingga pekerjaan atau upah yang dihasilkan adalah disekutui oleh sesama mereka.
Jika salah satu anggota sekutu dalam Syarikah Abdan ini sakit. Maka tugas yang sebelumnya diembannya dikerjakan bersama oleh kawan-kawan sekutu.
Jika yang sehat meminta kepada yang sakit untuk mencarikan ganti, maka ia wajib mencarikannya, karena keduanya masuk dalam syarikah dengan syarat bekerja. Jika salah satunya tidak bisa mengerjakan, maka harus dicari gantinya untuk melanjutkan pekerjaan. Jika orang yang tidak sanggup mengemban tugas tidak mau mencari gantinya setelah diminta, maka kawan sekutunya berhak membatalkan akad syarikah.
Jika pemilik hewan atau kendaraan berserikat untuk mengangkut barang dengan adanya upah, lalu hasilnya dibagi di antara mereka, maka hal itu juga sah. Demikian pula sah menyerahkan hewan atau kendaraan kepada orang yang akan mengusahakan, hasil usahanya dibagi antara mereka berdua.
Jika tiga orang berserikat. Yang satu menyerahkan hewan, yang satunya lagi peralatan dan yang satunya lagi siap bekerja dan hasil dibagi antara mereka bertiga, maka syarikah ini juga sah.
Demikian juga sah juga syarikah para juru lelang, jika mereka siap memanggil untuk menjual barang, menawarkan dan menghadirkan pembeli, hasilnya dibagi di antara mereka.
Faedah:
Dalam masalah syarikah ada perkataan yang cukup bagus dalam kitab Ar Raudhah An Nadiyyah sbb.:
“Ketahulah bahwa nama-nama yang tercantum dalam kitab-kitab furu’ untuk berbagai macam syarikah seperti mufawadhah, ‘inaan, wujuh dan abdaan bukanlah nama syar’i maupun lughawi (bahasa), bahkan istilah yang baru terjadi, tidak ada masalah jika dua orang menggabungkan hartanya dan mendagangkannya seperti dalam istilah mufawadhah, karena pemilik berhak bertindak dalam harta miliknya sesuai yang ia kehendaki selama tindakan tersebut tidak mengarah kepada yang diharamkan di mana syara’ datang mengharamkannya. Yang menjadi masalah adalah syarat harus sama harta dan harus berupa uang serta syarat ‘akad, semua ini tidak ada dalil yang menunjukkan demikian bahkan dengan adanya keridhaan digabungnya harta dan didagangkan oleh keduanya itu pun sudah cukup.
Demikian juga tidak mengapa dua orang bersekutu untuk membeli sesuatu, di mana bagi masing-masing sekutu berhak mendapatkan bagian sesuai uang yang diberikan seperti yang diistilahkan dengan sebutan syarikah ‘inaan. Memang syarikah ini ada pada masa kenabian, di mana banyak para sahabat yang terjun ke dalamnya, mereka bersekutu dalam membeli sesuatu lalu masing-masing sekutu memberikan bagiannya dari nilainya dan yang mengurus untuk membeli adalah salah satu sekutu atau kedua-duanya. Adapun syarat ‘akad dan digabungkan, maka tidak ada dalil yang menunjukkan dipandangnya hal itu.
Demikian juga tidak mengapa salah seorang mewakilkan kepada yang lain untuk meminjamkan harta dan mendagangkannya lalu bersekutu dalam keuntungan seperti yang diistilahkan dengan syarikah wujuh. Akan tetapi tidak ada dalil terhadap syarat-syarat yang mereka buat.
Demikian juga tidak mengapa jika salah seorang mewakilkan kepada yang lain untuk mengerjakan pekerjaan yang disewa terhadapnya seperti yang diistilahkan dengan syarikah abdaan, namun tidaklah dipandang syarat yang dibuat di dalamnya.
Wal haasil, bahwa semua macam syarikah ini untuk masuk ke dalamnya cukup adanya saling ridha, karena jika kaitannya dengan bertindak dalam kepemilikan, maka patokannya adalah saling ridha tidak harus menggunakan syarat selainnya. Adapun jika kaitannya dengan mewakilkan atau mengijarahkan (menyewakan) maka cukup dengan hal yang disebutkan dalam keduanya (wakalah dan ijarah). Memangnya apa pembagian yang mereka buat serta syarat yang mereka buat? Dalil ‘aqli dan naqli mana yang mendesak mereka membuat (syarat-syarat) itu, padahal masalahnya lebih mudah daripada dibuat bingung dan panjang lebar, karena hasil yang diperoleh dari syarikah mufawadhah, ‘inan dan wujuh adalah bahwa seseorang boleh bersekutu dengan yang lain untuk membeli sesuatu dan menjual lagi lalu keuntungan dibagi sesuai masing-masing uang yang masuk. Hal ini merupakan perkara yang sudah jelas maknanya dan dipahami oleh orang banyak terlebih oleh ulama. Orang yang kurang ilmunya saja membolehkannya apalagi yang banyak, bahkan (kebolehan ini) lebih umum daripada menyamakan uang yang diberikan atau berbeda, lebih umum daripada menetapkan bahwa yang harus diserahkan adalah uang atau barang, dan lebih umum daripada ketetapan apakah yang keduanya dagangkan itu semua harta milik keduanya atau sebagiannya, dan lebih umum daripada menetapkan apakah yang menjual dan yang membeli salah satunya atau kedua-duanya.
Anggaplah, mereka menjadikan masing-masing bagian yang pada asalnya adalah satu sehingga tidak dipertentangkan dalam masalah istilahnya, akan tetapi apa faedahnya mereka membuat istilah-istilah seperti itu serta sikap mereka membebani diri dengan membuat syarat seperti itu, memperpanjang jarak bagi penuntut ilmu serta membuat lelah dengan mengumpulkan sesuatu yang tidak ada faedahnya. Anda sendiri jika bertanya kepada tukang sawah dan tukang sayur tentang kebolehan bersekutu dalam membeli sesuatu dan dalam memperoleh keuntungan, ia tidak susah menjawab, “Ya.” Jika anda malah mengatakan kepadanya, “Apakah dibolehkan syarikah ‘inan, wujuh dan abdaan?” Tentu ia bingung memahami makna kata-kata itu. Lebih dari itu, kita menyaksikan orang yang memperdalam tentang masalah furu’ banyak samar dalam kebanyakan perincian pembagian itu dan bimbang jika hendak memisahkan antara yang satu dengan yang lain, kecuali jika baru menghapal mukhtashar (ringkasan) di antara mukhtashar tentang fiqh, bisa saja mudah baginya sesuatu yang dapat membawanya mengerti. Seorang mujtahid tidaklah patut memperluas lingkaran pendapat yang kosong dari dalil dan menerima semua yang sampai dari “katanya dan dikatakan,” karena hal itu merupakan kebiasaan para tawanan taqlid. Bahkan seorang mujtahid adalah seorang yang membetulkan yang betul dan membatalkan yang batal, memeriksa setiap masalah dari sisi dalil, dan tidak boleh menghalanginya dari menyampaikan yang hak karena ada yang menyelisihinya dari kalangan orang-orang yang dimuliakan oleh orang-orang yang kurang ilmunya, karena kebenaran itu tidaklah dikenal dengan orangnya. Karena tujuan inilah, kami menempuh dalam pembahasan ini jalan yang tidak diketahui ukurannya kecuali oleh orang yang pemahahamnnya lepas dari fanatik, membersihkan pikirannya dari keyakinan kebiasaan (yang menyimpang), dan kepada Allah-lah kita memohon.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Artikel www.Yufidia.com
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Al Fiqhul Muyassar dll.
amaturrahman
bismillah, bagian 1 kok gk ada ya?