Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang syarikah , kami berharap kepada Allah agar Dia menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahhumma aamin.
G. Syarikah Hewan
Ibnul Qayyim berpendapat bolehnya syarikah dalam hewan, yakni hewan tersebut milik orang lain, lalu ada orang lain yang siap mengurusnya dengan syarat keuntungan dibagi sesuai kesepakatan. Dalam I’laamul Muwaqqi’iin disebutkan, “Menurut kami diperbolehkan mughaarasah terhadap pohon kelapa atau lainnya, yakni ia menyerahkan tanahnya dan berkata, “Tanamlah pohon ini dan itu, nanti hasilnya dibagi dua di antara kita.” Hal ini sebagaimana bolehnya menyerahkan hartanya untuk didagangkan dan nantinya keuntungan dibagi antara keduanya. Demikian juga sama seperti menyerahkan tanah agar nanti ditanami dan hasil tanaman dibagi antara keduanya, demikian juga sama seperti menyerahkan sebuah pohon untuk diurus dan nanti buahnya dibagi di antara keduanya, dan sebagaimana (diperbolehkan juga) menyerahkan sapi, kambing atau unta untuk diurus dan nanti susu serta anaknya dibagi antara keduanya.
Demikian juga sama seperti menyerahkan zaitun agar diperas dan nantinya minyak dibagi di antara keduanya, sebagaimana (boleh juga) menyerahkan hewannya untuk dipekerjakan dan nantinya upah yang diperoleh dibagi di antara keduanya, sama seperti menyerahkan kudanya untuk berperang dan nantinya bagian yang diperoleh dibagi di antara keduanya. Demikian juga seperti ia menyerahkan pipa untuk mengambil air, dan nantinya air itu dibagi dua dan hal-hal lain yang sama seperti itu. Semua syarikah ini adalah sah, telah ditunjukkan kebolehannya oleh nash, qias, kesepakatan sahabat dan maslahat manusia, dan tidak ada di sana hal yang mengharuskan untuk diharamkan baik dari Alquran, sunah, ijma’, qiyas, maslahat dan makna yang shahih yang mengharuskan batalnya.
Orang yang melarang hal itu beralasan bahwa semua itu mereka kira termasuk ijarah, sedangkan bayarannya majhul (tidak diketahui) sehingga menjadi batal. Kemudian di antara mereka ada yang membolehkan musaaqaah dan muzaara’ah karena ada nas yang datang tentangnya, dan membolehkan mudharabah berdasarkan ijma’ tidak selainnya.
Di antara mereka ada yang hanya membolehkan mudharabah, ada juga yang membolehkan hanya sebagian bentuk dari musaqah dan muzaara’ah, di antara mereka juga ada yang tidak membolehkan jika sebagian asal kembali kepada ‘amil (pekerja) seperti alat takar tukang penggiling, dan membolehkan jika hasil kembali kepadanya dengan masih tetapnya asal seperti susu dan anak-anaknya, yang benar adalah bahwa semuanya adalah boleh. Inilah yang sesuai dengan prinsip syariat dan ka’idahnya, karena ia termasuk syarikah di mana si pekerja sebagai sekutu bagi pemiliknya. Orang ini mengeluarkan harta, sedangkan orang itu bekerja, dan rezeki yang Allah anugrahkan daripadanya maka dibagi di antara keduanya. Hal ini menurut beberapa orang di antara kawan-kawan kami lebih layak dibolehkan daripada ijarah (sewa) sampai-sampai Syaikhul Islam berkata, “Syarikah ini lebih halal daripada ijarah,” ia berkata, “Hal itu, karena dalam ijarah seorang penyewa menyerahkan hartanya, di mana kadang maksudnya tercapai dan terkadang tidak, sehingga yang disewa untung dengan harta itu sedangkan si penyewa berada dalam bahaya, karena bisa saja tanaman sempurna atau gagal berbeda dengan syarikah, di mana dua orang sekutu untung dan tidaknya sama, jika Allah memberi rezeki berupa hasil daripadanya maka dibagi di antara keduanya, jika ternyata tidak memperoleh hasil, maka keduanya sama-sama tidak memperoleh apa-apa.
Hal ini merupakan keadilan yang sangat tinggi. Tidak mungkin syariat datang menghalalkan ijarah namun mengharamkan syarikah seperti ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri merestui mudharabah yang biasa terjadi sebelum Islam, sehingga para sahabatnya melakukan mudharabah di masa Beliau maupun setelahnya. Umat pun sepakat tentang kebolehannya. Beliau juga pernah menyerahkan Khaibar kepada orang-orang Yahudi agar mereka mengurus dan memakmurkannya dengan harta mereka dan nanti Beliau mendapatkan separuhnya, baik buah atau tanaman.
Adapun hal ini sama seperti itu. Selanjutnya, Beliau tidak menghapus, tidak melarang dan para khalifah raasyidah serta para sahabat setelahnya juga tidak melarang. Bahkan mereka melakukannya dengan menyerahkan tanah dan harta kepada orang yang mengurusnya dengan imbalan hasil daripadanya, sedangkan mereka sibuk berjihad dan lainnya. Tidak ada nukilan dari seorang pun di antara mereka adanya larangan selain apa yang dilarang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.” Kemudian ia berkata, “Oleh karena itu, tidak haram selain yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, sedangkan Allah dan Rasul-Nya tidaklah mengharamkan yang demikian, adapun kebanyakan para fuqaha melarangnya, apabila seseorang dihadapkan hal seperti ini, dengan siapa dia berhujjah dalam hal mengharamkan, yang ini yang disebutkan dalam kitab sedangkan yang itu berdasarkan kata-kata mereka dan tidak ada yang menunjukkan kepadanya orang yang melakukannya, padahal maslahat umat tidak bisa tegak tanpanya, sehingga ia mencari jalan dengan berbagai upaya agar dapat sampai kepadanya. Jika demikian, maka hal itu merupakan sikap mencari celah untuk mengerjakan apa yang dibolehkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak diharamkannya kepada umat ini.”
Beberapa Contoh Syarikah yang Diperbolehkan
Ibnu Qudamah menyebutkan beberapa contoh syarikah yang diperbolehkan, ia berkata dalam Al Mughni, “Jika tukang pemutih pakaian punya alat, sedangkan yang lain punya rumah, lalu kedua-duanya bersekutu untuk bekerja menggunakan alat tersebut dan tempatnya di rumah yang punya rumah tadi, dan usahanya dibagi antara keduanya, maka boleh, sedangkan upahnya sesuai kesepakatan mereka berdua. Hal itu, karena syarikah terjadi dengan kedua amalnya, sedangkan dengan amal/kerja seseorang berhak memperoleh untung dalam syarikah. Adapun dengan alat dan rumah tidaklah berhak apa-apa, karena keduanya hanyalah dipakai untuk pekerjaan yang disekutui sehingga keduanya sama seperti dua hewan yang disewa untuk membawa sesuatu yang siap dibawa. Jika syarikah batal, maka dibagi hasilnya sesuai besar kecilnya kerja, biaya rumah dan alat. Jika yang satu punya alat, sedangkan yang yang satunya lagi tidak punya apa-apa atau yang satu punya rumah sedangkan yang satunya lagi tidak memiliki apa-apa, lalu keduanya sepakat untuk bekerja dengan alat yang ada atau di rumah tersebut, dan upahnya dibagi antara keduanya, maka boleh sebagaimana telah kami terangkan.
Ibnu Qudamah juga berkata, “Jika seorang menyerahkan hewannya kepada orang lain agar orang lain itu bekerja dengannya dan hasil yang dianugrahkan Allah dibagi 1/2, 1/3 atau berapa saja yang mereka syaratkan maka sah. Telah ada nash pada riwayat Al Atsram, Muhammad bin Abi Harb, Ahmad bin Sa’id dan ada nukilah dari Al Auzaa’iy yang menunjukkan hal itu. Namun Al Hasan dan An Nakha’iy memakruhkan hal itu, adapun Imam Syafi’i, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir dan para pemegang ra’yu berpendapat bahwa hal itu tidak sah, keuntungan semuanya diperuntukkan kepada pemilik harta, karena memikul itulah yang berhak memperoleh ganti, sedangkan si pekerja memperoleh upah mitsil (standar), karena hal itu bukan termasuk syarikah kecuali jika sebagai mudharabah, dan mudharabah tidaklah sah dengan barang. Karena mudharabah hanya mendagangkan barang, sedangkan yang ini tidak boleh dijual dan dikeluarkan dari kepemilikan pemiliknya. Al Qaadhiy berkata, “Hasilnya bahwa hal itu tidak sah karena mudharabah dengan barang tidak sah, dengan demikian jika upah dari hewan karena hewan itu sendiri, maka upah itu untuk pemiliknya dan jika ia bisa memikulkan sesuatu, lalu ia memikulkannya di atasnya atau mengangkut sesuatu yang mubah di atasnya lalu dijual, maka upah dan bayaran adalah untuk pemiliknya dan si pekerja hanya memperoleh upah mitsil (standar) yang diberikan pemiliknya.” Adapun menurut kami bahwa hal itu merupakan barang yang berkembang dengan dipekerjakan sehingga sah saja diakadkan dengan memperoleh sebagian dari hasil perkembangannya seperti beberapa dirham, dinar, dan seperti halnya pohon dalam musaaqaah dan tanah dalam muzara’ah. Adapun pendapat mereka bahwa hal itu bukanlah termasuk bagian syarikah dan bukan mudharabah, maka kami jawab, “Ya, akan tetapi ia mirip seperti musaaqaah dan muzaara’ah, karena ia menyerahkan harta itu kepada orang yang akan mengerjakannya dengan memperoleh hasil dari berkembangnya namun tetap barangnya. Dengan demikian nyatalah bahwa mengeluarkannya hanya karena sama seperti mudharabah dengan barang adalah batal, karena mudharabah hanyalah dengan didagangkan dan diolah dalam harta, sedangkan hal ini berbeda.”
Ibnu Qudamah juga berkata, “Abu Dawud menukilkan dari Ahmad tentang orang yang menyerahkan kudanya agar nanti pemiliknya memperoleh separuh dari ghanimah, ia menjawab, “saya harap tidak apa-apa.” Ishaq bin Ibrahim berkata, Abu Abdillah berkata, “Jika hasilnya dibagi 1/2 atau 1/4 maka boleh,” dan inilah yang dipegang oleh Al Auzaa’iy. Ia juga berkata, “Mereka (yakni sebagian fuqaha) berkata, “Jika diserahkan jaring kepada penjaring ikan untuk menjaring ikan dan nanti dibagi hasilnya separuh, maka hasil tangkapan itu untuk penjaring sedangkan pemilik jaring hanyalah memperoleh upah mitsil (standar). Tetapi qiyas yang disebutkan dari Ahmad menunjukkan sah syarikah itu dan rezeki yang diperoleh dibagi sesuai syarat, karena ia merupakan barang yang dikembangkan dengan kerja, sehingga sah saja diserahkan dan nanti ia memperoleh sebagian hasilnya sebagaimana pada tanah.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Artikel www.Yufidia.com
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Al Fiqhul Muyassar dll.