Kewajiban-kewajiban syar’i yang merupakan hak Allah ada tiga macam:

1) Ibadat, seperti shalat, zakat dan puasa;

2) Sanksi-sanksi (uqubat), baik yang ditentukan maupun dilimpahkan (kepada Waliyul amri); dan

3) Kafarat (denda). Masing-masing dari bagian-bagian kewajiban tersebut terbagi menjadi tiga: badani (fisik), mali (harta), dan murakkab (gabungan) dari keduanya,

Ibadah-ibadah badaniyah, seperti shalat dan puasa; ibadah maliyah, seperti zakat; dan ibadah gabungan dari keduanya, seperti haji.

Kafarat maliyah, seperti memberi makan; badaniyah, seperti puasa; dan gabungan dari keduanya, seperti denda supaya menyembelih hewan (ketika dalam haji).

Sanksi-sanksi badaniyah, seperti membunuh dan memotong; maliyah, seperti menghancurkan tempat-tempat khamr; dan gabungan dari keduanya, seperti mencambuk pencuri yang mencuri dari selain tempat penyimpanan dan melipatkan jaminan/denda atau tanggungan atasnya, dan membunuh orang-orang kafir serta merampas harta mereka.

Sebagaimana halnya sanksi-sanksi badaniyah yang sekali tempo sebagai balasan atas perbuatan yang telah dilakukan, seperti memotong tangan pencuri, dan pada tempo yang lain untuk mencegah perbuatan yang sama pada masa yang akan datang, seperti membunuh pembunuh. Demikian pula halnya harta. Sanksi harta itu, antara lain, untuk menghilangkan kemungkaran. Sebagaimana sanksi badaniyah, sanksi harta juga terbagi menjadi tiga: melenyapkan, merubah, dan memberikannya kepada orang lain.

Adapun yang pertama, kemungkaran-kemungkaran, baik benda maupun sifatnya, boleh menghancurkan tempatnya secara otomatis karena menyertai kemungkaran tersebut. Misalnya, berhala-berhala yang disembah selain Allah, karena bentuknya mungkar, boleh melenyapkan materinya. Apabila itu berupa batu, kayu, dan sejenisnya, boleh memecahkannya dan membakarnya. Demikian pula alat-alat yang melenakan, seperti gendang (drum), boleh dihancurkan, menurut kebanyakan ahli fikih. Ini madzhab Malik dan salah satu dari dua riwayat yang masyhur dari Ahmad.

Contoh lain, wadah-wadah khamr, boleh dihancurkan dan dibakar. Kedai-kedai yang di dalamnya menjual khamr juga boleh dibakar. Ahmad telah menetapkan hal itu, juga selainnya dari kalangan Malikiyah dan selainnya. Mereka mengikuti riwayat yang sah dari Umar bin al-Khaththab, bahwa ia memerintahkan supaya membakar kedai yang di dalamnya dijual khamr milik Ruwaisyid ats-Tsaqafi. Kata Umar, “Kamu Fuwaisiq (orang yang fasik) bukan Ruwaisyid (orang yang lurus).” Demikian pula Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib memerintahkan supaya membakar kampung yang di dalamnya dijual khamr (diriwayatkan Abu Ubaidah dan selainnya). Ini mengingat karena tempat jual beli itu seperti wadah. Ini juga pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad, Malik dan selainnya.

Serupa dengannya ialah yang pernah dilakukan Umar bin al-Khaththab, di mana ia melihat seseorang yang telah mencampur susu dengan air untuk dijual, maka ia menumpahkannya. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau melarang mencampur susu dengan air untuk dijual. Berbeda apabila mencampurnya untuk diminum sendiri. Karena apbila dicampur (untuk dijual), pembeli tidak tahu kadar susu dan airnya. Oleh karena itu, Umar melenyapkannya.

Serupa dengannya ialah apa yang difatwakan oleh segolongan ahli fikih yang berpendapat dengan prinsip ini tentang bolehnya menghancurkan produk-produk yang dipalsukan. Misalnya, pakaian yang ditenun dengan kualitas yang sangat buruk maka boleh dirobek dan dibakar. Karena itu, ketika Umar bin al-Khaththab melihat Ibnu Zubair memakai pakaian terbuat dari sutera, maka ia merobek-robeknya. Az-Zubair berkata, “Apakah kamu hendak menakut-nakuti anak kecil?” Umar menjawab, “Jangan kau pakaikan sutera kepada mereka.” Demikian pula Abdullah bin Umar membakar pakaiannya yang telah dicelup dengan warna jingga dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana halnya dibinasakan anggota badan yang dipergunakan untuk bermaksiat, sehingga tangan pencuri dipotong, kaki dan tangan penyamun dipotong. Demikian pula sarana yang dipergunakan untuk kemungkaran dihancurkan untuk mencegah kembali kepada kemungkaran tersebut. Tapi melenyapkannya tidak wajib secara mutlak, bahkan apabila tidak membahayakan, boleh dibiarkan (tidak dihancurkan), baik untuk Allah maupun disedekahkan.

Sebagaimana yang difatwakan oleh segolongan ulama berdasarkan prinsip ini: bahwa makanan yang dicurangi berupa roti, semangka, dan makanan olahan –seperti roti dan makanan yang belum matang, dan makanan yang dicurangi, yaitu yang dicampur dengan yang buruk dan ditunjukkan kepada pembeli seolah-olah bagus dan sejenisnya- disedekahkan kepada fakir miskin. Sebab itu termasuk melenyapkannya.

Jika Umar bin al-Khaththab telah melenyapkan susu dicampur (dengan air) untuk dijual, maka tentunya untuk menyedekahkannya itu lebih boleh lagi. Sebab, dengan cara demikian, terlaksana sanksi buat penipu tersebut dan membuatnya jera supaya tidak mengulangi kembali. Jika barang itu bisa dimanfaatkan oleh fakir miskin, maka itu lebih utama daripada membinasakannya. Sedangkan Umar membinasakannya, karena ia telah mencukupi manusia dengan banyak pemberian (sedekah), sebab fakir miskin pada masanya di Madinah sangat sedikit, atau mungkin tidak ada.

Oleh karenanya, ulama menghukumi boleh menyedekahkannya dan menghukumi makruh untuk membinasakannya. Dalam al-Mudawwanah dari Malik bin Anas bahwa Umar bin al-Khaththab menumpahkan susu yang dipalsukan untuk mendidik pemiliknya. Tapi Malik menganggap makruh hal itu, dalam riwayat Ibnul Qasim, dia berpendapat agar barang tersebut disedekahkan.

Asyhab meriwayatkan dari Malik mengenai larangan memberi sanksi dengan harta benda. Kata Malik, “Harta manusia tidak menghalalkan dosa seseorang, meskipun ia telah membunuh jiwa.” Tapi pendapat yang pertama itulah yang masyhur darinya. Ia menganggap baik beramal dengan istihsan dengan menyedekahkan susu yang dipalsukan. Itu sebagai hukuman atas penipu tersebut dengan melenyapkannya, dan bermanfaat bagi kaum miskin dengan memberikannya kepada mereka, dan tidak ditumpahkan.

Ditanyakan kepada Malik, “Mengenai kunyit dan minyak kasturi, apakah Anda berpendapat seperti itu juga?” Ia menjawab, “Apa saja yang serupa dengannya, apabila dipalsukan, maka seperti halnya susu.” Ibnul Qasim berkata, “Ini mengenai barang yang sedikit. Adapun apabila banyak, maka aku tidak berpendapat demikian, dan pemiliknya harus mendapatkan sanksi; karena kecurangannya itu dapat melenyapkan harta yang cukup besar.”

Sebagian ulama mengatakan, “Sama saja dalam Madzhab Malik, baik sedikit maupun banyak, karena ia menyamakannya dengan kunyit, susu dan minyak, baik sedikit maupun banyak.” Pendapat ini tidak disetujui oleh Ibnul Qasim. Ia tidak sependapat menyedekahkan semua itu, kecuali apabila sedikit. Tindakan tersebut dilakukan apabila dialah yang melakukan kecurangan tersebut. Adapun seseorang yang di sisinya didapati barang yang dipalsukan, yang bukan dilakukannya sendiri. Tetapi ia hanyalah membelinya, atau dihibahkan kepadanya, atau mewarisinya, maka tidak ada perselisihan bahwa barang tersebut tidak boleh disedekahkan.

Ibnul al-Qaththan termasuk salah seorang yang memfatwakan bolehnya menghancurkan barang yang dicurangi berupa pakaian. Ia berkata mengenai pakaian yang ditenun secara buruk, “Dibakar dengan api.” Sedangkan Ibnu Attab memfatwakan supaya menyedekahkannya. Katanya, “Dipotong-potong lalu diberikan kepada orang-orang miskin. Apabila diberikan kepada orang yang mempergunakannya, maka tidak dilarang. Ia juga memfatwakan supaya memberikan roti yang dicurangi kepada orang-orang miskin. Tapi ini diingkari oleh Ibnu al-Qaththan dan mengatakan, “Ini tidak halal dalam harta seorang muslim, melainkan dengan seizinnya.”

Qadhi Abu Ashba mengatakan, “terdapat kerancuan dalam jawaban dan kontradiktif dalam pendapat Ibnul Qaththan. Karena jawabannya mengenai pakaian supaya dibakar dengan api lebih berat daripada memberikan roti tersebut kepada orang-orang miskin. Sedangkan Ibnu Attab lebih mantap dalam prinsipnya mengenai hal itu dan pendapatnya lebih bisa diikuti.”

Jika penguasa tidak menjatuhkan hukuman buat penipu dengan menyedekahkan dan menghancurkannya, maka ia harus menghalangi menjalarnya keburukan ini kepada manusia lewat kecurangan tersebut, baik dengan menghilangkan kecurangan itu maupun menjual barang dicurangi itu kepada orang yang mengetahui bahwa makanan itu dicurangi, sehingga mereka tidak merasa tertipu.

Abdul Malik bin Hubaib mengatakan, “Aku berkata kepada al-Mutharrif dan Ibnu al-Majisyun tatkala kami dilarang menyedekahkan barang yang dicurangi berdasarkan riwayat al-Asyhab, ‘Apa yang benar menurut Anda berdua tentang orang yang melakukan kecurangan atau mengurangi timbangan?’ Keduanya menjawab, ‘Dihukum dengan cambuk, penjara, dan dikeluarkan dari pasar. Sedangkan roti dan susu yang cukup banyak, atau minyak kasturi dan kunyit yang dicurangi, tidak dihancurkan dan tidak pula dirampas’.”

Abdullah bin Hubaib berkata, “Imam tidak boleh mengembalikannya kepadanya. Dan orang yang bisa dipercaya untuk tidak melakukan penipuan, diperintahkan untuk menjualkannya, serta diperintahkan supaya meremukkan roti tersebut, apabila banyak, dan menyerahkannya kembali kepada pemiliknya. Dijual pula kepadanya madu, samin, dan susu yang dicuranginya dari orang yang memakannya, dengan menerangkan penipuannya kepadanya. Demikianlah praktik mengenai perdagangan yang dilakukan secara curang.” Ia mengatakan, “Ini penjelasan dari orang yang memahami hal itu dari sahabat Malik dan selainnya.”

Sumber: Kumpulan Fatwa Ibnu Taimiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Haq

Artikel www.Yufidia.com

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28