La Ilaha Illallah
Makna kata “ilah” secara bahasa
Kata ilah berasal dari kata alaha. Dalam kitab Ash Shihah fi Lughah diterangkan bahwa alaha artinya ‘abada (menyembah). Dalam Mukhtar Ash Shihah diterangkan bahwa alaha-ya’lahu artinya ‘abada (menyembah). Sedangkan kata ilah itu mengikuti pola/rumus fi’al yang bermakna maf’ul (objek). Sehingga ilah bermakna ma’luh/objek yang disembah. (Lihat Mukhtar Ash Shihah, Bab “Hamzah”, www.islamspirit.com)
Di dalam Kamus Al Mu’jam Al Wasith (Jilid 1, hlm. 25) disebutkan bahwa ilah adalah segala sesuatu yang dijadikan sebagai sesembahan. Apabila diungkapkan dalam bentuk jamak/plural maka disebut alihah (sesembahan-sesembahan). Sesembahan di dalam bahasa Arab juga disebut dengan ma’bud. Karena itu, para ulama menafsirkan la ilaha illallah dengan la ma’buda bihaqqin atau la ma’buda haqqun illallah. (Lihat Syarh Tsalatsatu Ushul Ibnu Utsaimin, hlm. 71)
Makna kata “ilah” secara terminologi
Dalam terminologi akidah makna kata “ilah” tidak berbeda dengan pengertiannya secara bahasa. Ibnu Rajab Al Hanbali mengatakan, “Ilah adalah segala sesuatu yang ditaati dan tidak didurhakai yang hal itu muncul karena rasa penghormatan dan pengagungan kepadanya, yang dilandasi rasa cinta dan kekhawatiran, diiringi dengan harapan dan ketergantungan hati kepadanya, permohonan dan doa kepada-Nya. Dan hal itu semua tidaklah pantas kecuali diserahkan kepada Allah ‘azza wa jalla ….” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, dinukil dari Hushul Al Ma’mul, hlm. 111)
Artinya, ilah mengandung makna sesembahan atau sesuatu yang diibadahi. Apa yang disebutkan oleh Ibnu Rajab di atas merupakan contoh-contoh ibadah, seperti; ketaatan, pengagungan, kecintaan, kekhawatiran, harapan, dan sebagainya. Jadi ilah artinya sesembahan. Demikianlah penafsiran para ulama tafsir, sebagaimana disampaikan oleh Imamnya ahli tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari (lihat Tafsir Ath Thabari QS. Muhammad ayat 19) dan para ulama yang lainnya. Hal ini akan semakin jelas jika kita meninjau makna ilah yang terdapat di dalam ayat-ayat Alquran berikut ini.
Makna kata “ilah” menurut Alquran
Allah ta’ala berfirman menceritakan sikap orang-orang musyrikin Quraisy ketika menyambut dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Sesungguhnya mereka dahulu apabila diserukan kepada mereka (untuk mengucapkan) la ilaha illallah, mereka menyombongkan diri dan mengatakan, ” Akankah kami meninggalkan ‘alihah’ (sesembahan-sesembahan) kami hanya karena mengikuti ajakan penyair gila.” (QS. Ash Shaffat: 35-36)
Perhatikanlah ayat yang mulia ini. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka untuk mengikrarkan la ilaha ilallah mereka menjawab, “Akankah kami meninggalkan sesembahan (ilah-ilah) kami ….” Hal ini menunjukkan bahwa kata ilah menurut mereka berarti sesembahan, bukan pencipta dan semacamnya.
Hal ini akan semakin jelas, jika dibandingkan penolakan mereka sebagaimana dalam ayat di atas, dengan pengakuan mereka tentang keesaan Allah dalam hal rububiyah, yang juga dikisahkan oleh Allah di dalam Alquran.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah: Siapakah yang memberikan rezki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan. Maka niscaya mereka akan menjawab: Allah.” (QS. Yunus: 31)
Yang dimaksud dengan ‘mereka’ di dalam ayat di atas adalah orang-orang yang mempersekutukan Allah. Demikianlah keterangan ulama tafsir. (Lihat Taisir Al Karim Ar Rahman, hlm. 363)
Ayat ini sekaligus menunjukkan bahwa mereka -orang-orang musyrik- telah mengakui tauhid rububiyah. Allah menjadikan pengakuan mereka terhadap tauhid rububiyah untuk mewajibkan mereka melaksanakan konsekuensi tauhid rububiyah yaitu tauhid uluhiyah. Demikian keterangan Abdurrahman As Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya. (Taisir Al Karim Ar Rahman, hlm. 363)
Oleh sebab itulah para ulama mengingkari penafsiran la ilaha illallah atau tauhid ke dalam makna tauhid rububiyah semata.
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Dan bukanlah yang dimaksud dengan tauhid sekedar mencakup tauhid rububiyah saja, yaitu keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan alam, sebagaimana sangkaan sebagian orang dari kalangan ahli kalam/filsafat dan penganut ajaran tasawuf. Mereka mengira apabila telah berhasil menetapkan tauhid rububiyah itu dengan membawakan dalil atau bukti yang kuat maka mereka telah berhasil menetapkan puncak hakekat ketauhidan ….” (Sebagaimana dinukil oleh penulis Fathul Majid, hlm. 15-16)
Kesimpulan, berdasarkan keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa makna laa ilaaha illallaah adalah tidak ada sesembahan yang berhak disembah, dijadikan sebagai tujuan ibadah selain Allah ta’ala. Apapun bentuk ibadahnya, baik ibadah lahir maupun batin, baik ibadah hati, lisan, maupun anggota badan. Maka orang yang bersyahadat laa ilaaha illallaah artinya dia telah mengikrarkan dirinya untuk hanya memberikan peribadatannya kepada Allah, tunduk patuh lahir batin disertai rasa cinta dan pengagungan hanya diberikan kepada Allah.
Keutamaan kalimat “la ilaha illallah“
Ibnu Rajab dalam Kalimatul Ikhlas mengatakan, “Kalimat Tauhid (yaitu la ilaha illallah, pen) memiliki keutamaan yang sangat agung yang tidak mungkin bisa dihitung.” Lalu beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keutamaan kalimat yang mulia ini. Di antara yang beliau sebutkan:
Pertama, kalimat ‘la ilaha illallah’ merupakan harga surga.
Suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar muazin mengucapkan ‘Asyhadu alla ilaha illallah’. Lalu beliau mengatakan pada muazin: “Engkau terbebas dari neraka” (H.r. Muslim no. 873)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
{ مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ }
“Barang siapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.” (H.r. Abu Daud no. 3118, Al Hakim no. 1299 dan dinilai sahih oleh Al Albani)
Kedua, kalimat ‘la ilaha illallah’ adalah kebaikan yang paling utama.
Abu Dzar berkata, “Katakanlah padaku wahai Rasulullah, ajarilah aku amalan yang dapat mendekatkanku pada surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau melakukan kejelekan (dosa), maka lakukanlah kebaikan karena dengan melakukan kebaikan itu engkau akan mendapatkan sepuluh yang semisal.” Lalu Abu Dzar berkata lagi, “Wahai Rasulullah, apakah ‘la ilaha illallah’ merupakan kebaikan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalimat itu (la ilaha illallah, pen) merupakan kebaikan yang paling utama. Kalimat itu dapat menghapuskan berbagai dosa dan kesalahan.” (Dinilai hasan oleh Al Albani dalam tahqiq untuk kitab Kalimatul Ikhlas, 55)
Ketiga, kalimat “la ilaha illallah” adalah zikir yang paling utama.
Hal ini sebagaimana terdapat pada hadits yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits marfu’),
{ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ }
“Zikir yang paling utama adalah bacaan ‘la ilaha illallah’.” (H.r. At Turmudzi no. 3383, Ibn Hibban no. 846, dan dinilai sahih oleh Al Albani)
Keempat, kalimat ‘la ilaha illallah’ adalah amal yang paling utama, paling banyak ganjarannya, menyamai pahala memerdekakan budak dan merupakan pelindung dari gangguan setan.
Sebagaimana terdapat dalam Shahihain dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa mengucapkan ‘la ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syay-in qodiir’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu] dalam sehari sebanyak 100 kali, maka baginya sama dengan sepuluh budak (yang dimerdekakan, pen.), dicatat baginya 100 kebaikan, dihapus darinya 100 kejelekan, dan dia akan terlindung dari setan pada siang hingga sore harinya, serta tidak ada yang lebih utama darinya kecuali orang yang membacanya lebih banyak dari itu.” (H.r. Bukhari no. 3293 dan Muslim no. 7018)
Kelima, kalimat “la ilaha illallah” adalah kunci 8 pintu surga, orang yang mengucapkannya bisa masuk lewat pintu mana saja yang dia sukai.
Dari ‘Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa mengucapkan ’saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, dan (bersaksi) bahwa ‘Isa adalah hamba Allah dan anak dari hamba-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam serta Ruh dari-Nya, dan (bersaksi pula) bahwa surga adalah benar adanya dan neraka pun benar adanya, maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga dari delapan pintu surga yang mana saja yang dia kehendaki.” (H.r. Muslim no. 149)
Rukun syahadat la ilaha illallah
La ilaha illallah memiliki 2 rukun yaitu An-Nafyu (penafian/peniadaan) dan Al-Itsbat (penetapan). Kedua rukun ini diambil dari 2 penggalan kalimat tauhid Laa ilaha dan illallah. Rinciannya sebagai berikut:
– Laa ilaha = An-Nafyu, yaitu meniadakan dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan serta mengingkari segala sesuatu yang disembah selain Allah Ta’ala.
– illallah = Al-Itsbat, yaitu menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah dan diibadahi melainkan Allah serta beramal dengan landasan ini.
Banyak ayat Alquran yang mencerminkan 2 rukun ini. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala yang artinya, “Maka barangsiapa yang mengingkari Thaghut (sesembahan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat (kalimat la ilaha illallah).” (Q.s.Al-Baqarah:256)
Mengingkari Thaghut (sesembahan selain Allah) adalah cerminan dari rukun An-Nafyu (Laa ilaha), sementara “Beriman kepada Allah” adalah cerminan dari rukun Al-Itsbat (illallah).
Syarat syahadat la ilaha illallah
Para ulama menjelaskan bahwa syahadat la ilaha illallah memiliki delapan syarat:
1. Ilmu
Sebuah pengakuan tidak dianggap kecuali dengan ilmu. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengucapkan kalimat syahadat ini dengan mengilmui makna dari kalimat tersebut. Allah berfirman, “Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (Az Zukhruf: 86). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mati dalam keadaan mengilmui la ilaha illallah pasti masuk surga.” (H.r. Al Bukhari dan Muslim). Dan makna yang benar dari kalimat la ilaha illallah yaitu tidak ada sesembahan yang hak melainkan Allah Ta’ala.
2. Yakin
Yakin adalah tidak ragu-ragu dengan kebenaran maknanya sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai cobaan. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Q.s. Al Hujurat: 15)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang engkau jumpai dari balik dinding ini dia bersaksi ‘la ilaha illallah’ dengan keyakinan hatinya sampaikanlah kabar gembira untuknya bahwa dia masuk surga.” (H.r. Muslim)
3. Menerima
Allah menceritakan keadaan orang kafir Quraisy yang tidak menerima dakwah Nabi Muhammad dalam firman-Nya, “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘la ilaha illallah’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?’” (Q.s. As Shaffat: 35-36)
Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. Inilah sifat orang kafir, tidak menerima kebenaran kalimat la ilaha illallah. Sungguh hanya Allah lah yang berhak disembah dan diibadahi.
4. Tunduk
Maksudnya yaitu melaksanakan konsekuensinya lahir dan batin. Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (Q.s. Luqman: 22)
Nabi bersabda, “Tidaklah sempurna iman kalian sehingga hawa nafsunya tunduk mengikuti ajaranku.” (H.r. Thabrani)
5. Jujur
Allah berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar (jujur) dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Q.s. Al ‘Ankabut: 2-3)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tak seorang pun bersaksi la ilaha illallah dan Muhammad hamba Allah dan rasul-Nya dengan kejujuran hati kecuali Allah mengharamkan neraka untuk menyentuhnya.” (H.r. Al Bukhari no. 128)
Betapa kejujuran menjadi syarat sahnya syahadat. Lihatlah bagaimana syahadat orang munafik ditolak oleh Allah karena tidak jujur. Sebagaimana firman-Nya, “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: ‘Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.’ Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (Q.s. Al Munafiqun: 1)
6. Ikhlas
Ikhlas hakikatnya mengharapkan balasan dari Allah saja, tidak kepada selain-Nya. Allah berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.s. Al Bayyinah: 5)
Apa yang dimaksud dengan ikhlas?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Allah mengharamkan bagi neraka menyentuh orang yang mengatakan la ilaha illallah karena semata-mata mencari wajah Allah.” (H.r. Al Bukhari no. 6059 dan Muslim no. 263)
7. Cinta
Allah berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Al Baqarah: 165)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga hal barangsiapa memilikinya pasti akan merasakan kelezatan iman: Allah dan rasul-Nya lebih dia cintai dibanding selain keduanya, dia mencintai seseorang karena Allah, dan dia benci untuk kembali kafir sebagaimana kebenciannya jika dilempar ke dalam api.” (H.r. Al Bukhari no. 16 dan Muslim no. 67)
8. Mengingkari peribadatan kepada Thaghut.
Thaghut adalah segala sesuatu selain Allah yang ridha disembah/diibadahi. Allah berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thoghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.s. Al Baqarah: 256)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengucapkan la ilaha illallah dan mengingkari sesembahan selain Allah, haramlah harta dan darahnya sedang perhitungannya adalah terserah kepada Allah Azza Wa Jalla.” (H.r. Muslim no. 36)
Agar kalimat la ilaha illallah yang diucapkan seseorang diterima maka dia harus melaksanakan syarat-syarat di atas, bukan hanya sekedar untuk dihafal.
Artikel www.yufidia.com