Tahnik Bayi
Anak adalah karunia Allah yang tiada terhingga bagi semua keluarga. Keberadaannya sangat dinantikan karena akan menjadi penerus sejarah manusia, dan menjadi salah satu penguat ikatan berumah tangga. Banyak pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak sangat berharap agar segera mendapatkannya. Ini menunjukkan demikian penting kehadiran anak bagi semua umat manusia.
Agama Islam telah memberikan perhatian yang sangat detail tentang anak, sejak proses konsepsi, kehamilan, kelahiran, sampai pendidikan ketika anak lahir dan masa tumbuh kembang hingga dewasa. Semua mendapatkan perhatian dan tuntunan yang teliti. Ini menunjukkan demikian penting menjaga, merawat, serta mendidik anak sejak awal.
Dalam agama Islam, ada beberapa adab atau tuntunan dalam menyambut kelahiran bayi. Diantaranya adalah tahnik yang tersebar di sejumlah artikel dikatakan sebagai imunisasi yang dinisbatkan pada Islam. Lalu bagaimana hakekat Tahnik menurut Syariat dan para ulama, berikut penjelasan seputar tahnik.
Apa itu Tahnik?.
Tahnik, berasal dari bahasa Arab yang bermakna melembutkan kurma dan sejenisnya dan memijat langit-langit mulut dengan kurma tersebut. (lihat Maqaayis al-Lughah 2/111).
Sedangkan secara istilah para ulama telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullahu Ta’ala dengan pernyataan beliau: Tahnik ialah mengunyah sesuatu kemudian meletakkan/ memasukkannya ke mulut bayi lalu menggosok-gosokkan ke langit-langit mulut. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar bayi terlatih dengan makanan, juga untuk menguatkannya. Yang patut dilakukan ketika mentahnik hendaklah mulut (bayi tersebut) dibuka sehingga (sesuatu yang telah dikunyah) masuk ke dalam perutnya. Yang lebih utama, mentahnik dilakukan dengan kurma kering (tamr). Jika tidak mudah mendapatkan kurma kering (tamr), maka dengan kurma basah (ruthab). Kalau tidak ada kurma, bisa diganti dengan sesuatu yang manis. Tentunya madu lebih utama dari yang lainnya.(Fathul Baari 9/588).
Hukum Tahnik Menurut Syariat.
Para ulama ahli fikih sepakat tentang hokum tahnik bayi adalah sunnah, seperti diceritakan imam an-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala dalam Syarah Shahih Muslim (14/122). Hal ini berdasarkan beberapa hadits, diantaranya:
- Hadits Abu Burdah dari Abu Musa Radhiyallahu’anhu , dia berkata,
وُلِدَ لِى غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ
“Aku pernah dikaruniai anak laki-laki, lalu aku membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan sebuah kurma (tamr).” Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (5467 Fathul Bari) Muslim (2145 Nawawi), Ahmad (4/399), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (9/305) dan Asy-Syu’ab karya beliau (8621, 8622)
- Hadits Anas bin Maalik Radhiyallahu’anhu , dia berkata:
كَانَ ابْنٌ ِلأَبِي طَلْحَةَ يَشْتَكِي، فَخَرَجَ أَبُو طَلْحَةَ فَقُبِضَ الصَّبِيُّ فَلَمَّا رَجَعَ أَبُو طَلْحَةَ قَالَ: مَا فَعَلَ الصَّبِيُّ؟ قَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: هُوَ أَسْكَنُ مِمَّا كَانَ. فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ الْعَشَاءَ، فَتَعَشَّى ثُمَّ أَصَابَ مِنْهَا، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَتْ: وَارِ الصَّبِيَّ. فَلَمَّا أَصْبَحَ أَبُو طَلْحَةَ أَتَى رَسُولَ اللهِ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ: أَعْرَسْتُمُ اللَّيْلَةَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: اَللّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا. فَوَلَدَتْ غُلاَمًا قَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ: اِحْمَلْهُ حَتَّى تَأْتِيَ بِهِ النَّبِيَّ فَقَالَ: أَمَعَهُ شَيْءٌ؟ قَالُوا: نَعَمْ تَمَرَاتٌ. فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ فَمَضَغَهَا ثُمَّ أَخَذَ مِنْ فِيهِ فَجَعَلَهَا فِي الصَّبِيِّ وَحَنَّكَهُ بِهِ وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللهِ.
“Dahulu anak Abu Thalhah dalam keadaan sakit. Abu Thalhah keluar rumah, saat itu lalu anaknya meninggal dunia. Setelah pulang, Abu Thalhah berkata, ‘Apa yang dilakukan oleh anak itu?’ Ummu Sulaim menjawab, ‘Dia lebih tenang dari sebelumnya.’ Kemudian Ummu Sulaim menghidangkan makan malam kepadanya. Selanjutnya Abu Thalhah mencampurinya. Setelah selesai, Ummu Sulaim berkata, ‘Tutupilah anak ini.’ Dan pada pagi harinya, Abu Thalhah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya memberitahu beliau, maka beliau bertanya, “Apakah kalian bercampur tadi malam?’ ‘
Ya,’ jawabnya. Beliau pun bersabda, ‘Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada keduanya.’
Maka Ummu Sulaim pun melahirkan seorang anak laki-laki. Lalu Abu Thalhah berkata kepadaku (Anas bin Malik), ‘Bawalah anak ini sehingga engkau mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah bersamanya ada sesuatu (ketika di bawa kesini?’ Mereka menjawab, ‘Ya. Terdapat beberapa buah kurma.’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kurma itu lantas mengunyahnya, lalu mengambilnya kembali dari mulut beliau dan meletakkannya di mulut anak tersebut kemudian mentahniknya dan memberinya nama ‘Abdullah.” (HR. Bukhari no. 5470 dan Muslim no. 2144).
- Hadits ‘Aisyah binti Abi Bakar Radhiyallahu’anhuma yang berkata:
أُتِىَ النَّبِىُّ بِصَبِىٍّ يُحَنِّكُهُ ، فَبَالَ عَلَيْهِ ، فَأَتْبَعَهُ الْمَاءَ
Dari Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, “Ada bayi laki-laki yang didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mentahniknya. Kemudian bayi itu malah mengencingi Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Lalu beliau memercikkan kencing tersebut dengan air” (HR. Bukhari no. 5468 dan Muslim no. 286. Lafazh hadits ini adalah lafazh Bukhari). Dalam lafadz Shahih Muslim berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ كَانَ يُؤْتَى بِالصِّبْيَانِ فَيُبَرِّكُ عَلَيْهِمْ وَيُحَنِّكُهُمْ فَأُتِىَ بِصَبِىٍّ فَبَالَ عَلَيْهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَتْبَعَهُ بَوْلَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
Dari Aisyah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di datangkan kepada beliau beberapa bayi kemudian beliau mendo’akan keberkahan atas mereka dan mentahnik mereka. Lalu ada bayi yang dihadirkan kepada beliau, kemudian bayi itu kencing di pangkuan beliau. Lantas beliau meminta air dan memercikkannya ke kencing bayi tersebut dan beliau tidak sampai mencucinya.”
Hadits-hadits diatas dan selainnya menunjukkan tahnik sendiri adalah sunnah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diperhatikan sekali para sahabat sehingga mereka membawa bayi mereka yang baru lahir kepada Nabi n untuk ditahnik.
Tata Cara Tahnik.
Tahnik dilakukan pada bayi dengan cara melembutkan sebuah kurma atau lebih atau yang manis-manis dengan mulut pentahnik dan menekan-nekan langit-langit mulut bayi dengan cara meletakkan sebagian yang telah dilembutkan tersebut ke ujung jari dan memasukkannya ke mulut sang bayi kemudian menggerakkan jari tersebut di dalam mulut sang bayi hingga mulut dipenuhi dengan kurma yang telah dilembutkan tersebut. (lihat Hasyiyah I’anatuth Thalibin 2/334 dan ahkam al-Maulud fi Fiqhil Islam hlm 109).
Kalau bias dibuka mulut bayi hingga sebagian dari kurma yang sudah dihaluskan tersebut sampai ke lambungnya. (lihat al-majmu’ syarhul Muhadzdzab 8/434-435).
Sebaiknya mentahnik dengan ruthab, apabila tidak ada maka dengan kurma (tamr) dan kalau tidak ada maka dengan makanan yang manis yang tidak dibakar, seperti anggur kering (kismis) dan madu serta sejenisnya. Ini disampaikan para ulama Syafi’iyah dan Hanabilah (lihat al-Majmu’ 4/434 dan fathul Baari 9/588).
Ibnu Hajar Rahimahullahu Ta’ala berkata: Yang lebih utama, mentahnik dilakukan dengan kurma kering (tamr). Jika tidak mudah mendapatkan kurma kering (tamr), maka dengan kurma basah (ruthab). Kalau tidak ada kurma, bisa diganti dengan sesuatu yang manis. Tentunya madu lebih utama dari yang lainnya.(Fathul Baari 9/588).
Sedangkan imam Al Mawardi Rahimahullahu Ta’ala berkata,
“Menurut ulama yang membolehkan tahnik (bukan perbuatan khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, -pen), maka yang paling utama menurut mereka adalah menggunakan kurma. Jika tidak ada maka dengan sesuatu yang manis. Inilah pendapat ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah.” (Al Inshaf lil Mawardi 4: 104)
Imam An-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala berkata,
“Tahnik dilakukan dengan kurma dan hukumnya adalah sunnah (anjuran). Namun andai ada yang mentahnik dengan selain kurma, maka sudah dianggap pula sebagai tahnik. Akan tetapi, tahnik dengan kurma lebih utama.” (Syarh Muslim, 14/124)
Kesimpulannya adalah tahnik diperbolehkan dengan semua yang memiliki rasa manis alami yang dapat merangsang bayi bergerak dan melatihnya menghisap agar mampu menghisap air susu ketika sang ibu mengeluarkan air susunya.
Orang Yang Mentahnik.
Orang yang melakukan tahnik boleh laki-laki atau perempuan, sebagaimana disampaikan Ibnul Qayyim Rahimahullahu Ta’ala bahwa Imam Ahmad bin Hambal pernah memiliki anak dan yang mentahniknya adalah wanita. (lihat Tuhfatul Mawdud, hal. 66). Sebagian ahli fikih memandang perlu dan menganjurkan membawa bawi kepada orang shalih yang mentahniknya seperti Imam Nawawi Rahimahullahu Ta’ala membawakan hadits-hadits tentang masalah tahnik dalam bab:
”Dianjurkan mentahnik bayi yang baru lahir, bayi tersebut dibawa ke orang sholih untuk ditahnik. Juga dibolehkan memberi nama pada hari kelahiran. Dianjurkan memberi nama bayi dengan Abdullah, Ibrahim dan nama-nama nabi lainnya.” (Lihat Syarh Shahih Muslim, 14/110.)
Namun imam Ibnu Hajar Rahimahullahu Ta’ala dalam fathul bari 1/327 menyatakan: Hal ini khusus untuk Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dan tidak dianalogikan kepada selainnya; karena Allah telah menjadikan keberkahan pada Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dan mengkhususkannya tanpa selain beliau. Juga karena para sahabat Radhiyallahu’anhum tidak melakukan hal tersebut bersama selain Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam . Padahal mereka orang yang paling mengetahui syariat sehingga wajib mencontoh mereka. Demikian juga karena kebolehan seperti ini pada selain Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bias mengantar kepada kesyirikan.
Penulis kitab Taisir al-‘Aziz al-Hamid Fi Syarhi Kitab at-Tauhid hlm 185-186 menyatakan: Sebagian orang mutaakhirin menyebutkan bahwa tabarruk (mencari berkah) pada bekas orang-orang shalih adalah mustahab (dianjurkan), seperti minum minuman bekas mereka dan membawa bayi ke salah seorang dari mereka untuk mentahniknya dengan kurma sehingga yang masuk pertama kali ke dalam perutnya adalah ludah orang-orang shalih. Ini adalah kesalahan besar, karena beberapa hal berikut:
- Mereka tidak bisa mendekati apalagi setara dengan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dalam keutamaan dan keberkahan.
- Tidak pastinya keshalihan tersebut, karena keshalihan tidak terwujudkan kecuali dengan keshalihan hati. Ini adalh perkara yang tidak diketahui kecuali dari nash syariat, seperti para sahabat yang Allah dan rasulNya memuji mereka dan imam para tabi’in, orang-orang yang terkenal dengan kesalihan dan agamanya seperti imam Syafi’i, Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hambal dan sejenis mereka. Adapun selain mereka kita paling hanya bisa menduga dan berharap mereka adalah orang-orang shalih.
- Seandainya kita sudah menganggap seorang tersebut shalih pun, tetap tidak aman kalau nanti Allah matikan dengan su’ul khatimah, sedangkan amalan tersebut tergantung yang terakhirnya, sehingga tidaklah berhak dijadikan tempat mengambil berkah.
- Para shahabat tidak pernah melakukannya kepada selain nabi n baik beliau masih hidup atau setelah wafat. Seandainya (perbuatan tersebut) baik tentulah mereka telah mendahului kita semua.
- Perbuatan ini pada selain Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam tidak aman dari fitnah sehingga mengakibatkan ujub dan sombong, sehingga ini termasuk seperti pujian diwajahnya bahkan lebih besar lagi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tahnik dilakukan oleh siapa saja tanpa kekhususan tertentu. Orang tuanya apabila melakukannya maka telah mendapatkan pahala sunnahnya dan telah sah tanpa syarat harus mencapai derajat takwa dan keshalihan dalam mentahnik.
Waktu melakukan Tahnik.
Sepakat para ahli fikih menyatakan waktu tahnik bayi itu dilakukan setelah bayi baru lahir. Ibnu HajarRahimahullahu Ta’alamenyatakan: Tahnik bayi dilakukan pada waktu Ghadah dari kelahirannya, seakan-akan ditentukan dengan waktu Ghadah mengikuti lafadz hadits. Dan kata Ghadah digunakan untuk waktu apa saja dan ini yang dimaksud. ( Fathulbari 9/588).
Diantara dalil yang menunjukkan segeranya bayi yang lahir untuk ditahnik adalah hadits Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu yang berbunyi:
فَوَلَدَتْ غُلاَمًا قَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ: اِحْمَلْهُ حَتَّى تَأْتِيَ بِهِ النَّبِيَّ فَقَالَ: أَمَعَهُ شَيْءٌ؟ قَالُوا: نَعَمْ تَمَرَاتٌ. فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ فَمَضَغَهَا ثُمَّ أَخَذَ مِنْ فِيهِ فَجَعَلَهَا فِي الصَّبِيِّ وَحَنَّكَهُ بِهِ وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللهِ.
Maka Ummu Sulaim pun melahirkan seorang anak laki-laki. Lalu Abu Thalhah berkata kepadaku (Anas bin Malik), ‘Bawalah anak ini sehingga engkau mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah bersamanya ada sesuatu (ketika di bawa kesini?’ Mereka menjawab, ‘Ya. Terdapat beberapa buah kurma.’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kurma itu lantas mengunyahnya, lalu mengambilnya kembali dari mulut beliau dan meletakkannya di mulut anak tersebut kemudian mentahniknya dan memberinya nama ‘Abdullah.” (HR. Bukhari no. 5470 dan Muslim no. 2144).
Wallahu a’lam.
Hikmah Tahnik dan Penjelasan Ulama
Tidak ada nash syariat yang menjelaskan secara jelas hikmah dari tahnik ini, namun para ulama memberikan beberapa hikmah dilakukannya tahnik selain mengikuti contoh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam diantaranya:
- Agar yang paling pertama masuk di perut bayi adalah sesuatu yang manis, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam mentahnik dengan kurma.
Hikmah ini terungkap dalam ilmu kedokteran dengan adanya penelitian-penelitian dokter spesialis, seperti dr. Muhammad Ali Al Baar salah seorang anggota Hai’ah al-I’jaz al-‘Ilmi yang menyatakan bahwa ilmu modern menemukan hikmah dari tahnik ini setelah empat belas abad lamanya. Baru saja terbukti bahwa setiap anak khususnya yang baru lahir dan menyusui beresiko kematian apabila terjadi pada mereka salah satu dari dua hal; yaitu kekurangan gula dalam darah dan menurunnya derajat suhu badan ketika menghadapi udara dingin di sekitarnya.
Sesungguhnya kandungan zat gula “glukosa” dalam darah bayi yang baru lahir adalah sangat kecil. Jika bayi yang lahir beratnya lebih kecil maka semakin kecil pula kandungan zat gula dalam darahnya. Oleh karena itu, bayi premature yang beratnya kurang dari 2,5 kg, maka kandungan zat gulanya sangat kecil sekali, di mana pada sebagian kasus malah kurang dari 20 mg/ 100 mL darah. Adapun anak yang lahir dengan berat badan di atas 2,5 kg, maka kadar gula dalam darahnya biasanya di atas 30 mg/100 mL.
Kadar gula bila sampai turun drastis bisa menyebabkan terjadinya berbagai penyakit:
- Bayi menolak untuk menyusui,
- Otot-otot melemah,
- Berhenti secara terus-menerus aktivitas pernafasan dan kulit bayi menjadi kebiruan;
- Kontraksi atau kejang-kejang
Sebagaimana juga bisa menyebabkan bahaya berlipat dan akut, diantaranya:
- Terlambat pertumbuhan
- Terlambat pertumbuhan akal
- Kelumpuhan otak.
- Cacat pendengaran atau penglihatan atau kedua-duanya
- Epilepsy
Apabila tidak segera diberikan pengobatan segera bisa menimbulkan kematian. Padahal pengobatannya sangat mudah yaitu memberikan gula glukosa yang dilarutkan kedalam air bisa dengan melalui mulut atau pembuluh darah. Ini dapat diatasi dengan tahnik.
Jadi tahnik adalah obat preventif dari penyakit kekurangan gula dalam darah, karena mengandung gula glukosa dalam jumlah besar dan khususnya setelah larut dengan air ludah yang mengandung banyak enzim yang dapat merubah gula sukrosa menjadi glukosa. Demikian juga ludah memudahkan larutnya gula-gula tersebut. Dari sini akan memudahkan bayi mengambil manfaat darinya.
Oleh karena itu rumah sakit bersalin ibu dan anak biasanya memberikan bayi-bayi yang terlahir larutan glukosa setelah kelahirannya langsung dan sebelum ibunya menyusuinya. Dari sini jelaslah hikmah tahnik sebagai satu sunnah Rasulullah n .
(dinukil dari http://articles.islamweb.net/media/index.php?id=143055&lang=A&page=article)
- Tahnik dapat memperkuat otot-otot mulut dengan gerakan lidah dengan langit-langit dan kedua tulang rahang dengan gerakan menikmati rasa manis hingga sang bayi siap untuk mengemut puting susu ibunya dan mengisap susu dengan kuat dan alami. (tarbiyatul Aulad fil Islam 1/71 dinukil dari Ahkam al-maulud hlm 113).
Disamping juga memberikan pengaruh pada bentuk mulut yang alami sehingga memudahkan anak mengeluarkan huruf-huruf dengan benar ketika memulai masa kanak-kanaknya.
- Tahnik bisa melatih dan menguatkan sang bayi untuk makan (lihat Fathul Bari 9/588).
- Rasa manis akan cepat masuk kedalam liver dan khususnya apabila dari Ruthab atau kurma, sehingga mudah menerimanya dan bermanfaat besar bagi liver beriringan dengan kekuatan bayi lainnya (lihat Ahkama al-Maulud hlm 113)
- Adanya do’a untuk mengharapkan keberkahan, seperti yang dilakukan para sahabat dengan membawa anak-anak mereka ke Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.
Demikian sebagian dari hikmah yang disampaikan para ulama. Namun walaupun tidak diketahui hikmahnya tetap saja semua yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam adalah terbaik bagi kita semua.
Berdoa Untuk bayi yang di Tahnik.
Rasulullah n dalam mentahnik tidak lupa mendoakan kebaikan kepada sang bayi, sebagaimana ada dalam banyak hadits diantaranya hadits Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu’anhu dalam riwayat imam al-Bukhari dan juga hadits ‘Aisyah Radhiyallahu’anha dalam shahih Muslim. Demikianlah seharusnya seorang yang mentahnik hendaknya menyertai doa kebaikan buat sang bayi.
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah menjelaskan doa yang dibaca, “Maksud mentahnik adalah meletakkan dalam mulut bayi kurma, kemudian menggosoknya, kemudian mendoakannya yaitu berdoa, “Baarakallahu fiihi (semoga berkah Allah diberikan untuknya)”, atau “Allahumma baarik fiihi (Ya Allah, berkahilah dia). Fathul Baari 7: 248.
Demikianlah beberapa hukum syariat berkenaan dengan tahnik yang banyak kaum muslimin tidak mengetahuinya. Semoga hal ini dapat mencerahkan wawasan keilmuan kaum muslimin dan dapat menjadi sebab diamalkannya sunnah yang baik ini.
Wabillahittaufiq.
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.