Thawâf Ifâdhah
Thawâf Ifâdhah memiliki lima nama; 1) Thawâf Ifâdhah, 2) Thawâf Ziyârah, 3) Thawâf Fardhu, 4) Thawâf Rukun, 5) Thawâf Shadari. Penamaan Thawâf Ifâdhah lebih masyhur dan lebih banyak digunakan para ulama, di samping nama Thawâf Ziyârah.
Hukum Thawâf Ifâdhah.
Para Ulama sepakat menjadikannya sebagai rukun haji yang menjadi bagian dari keabsahan ibadah Haji berdasarkan pada firman Allah Azza wa Jalla :
وَلْيَطَّوَّفُوْا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
Hendaklah mereka melakukan Thawâf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (QS. al-Hajj/ 22:29).
Yang dimaksud dengan Thawâf di dalam ayat ini adalah Thawâf Ifâdhah, menurut ijma’ ulama ahli tafsir sebagaimana dinyatakan imam ath-Thabari Rahimahullahu Ta’ala : Tidak ada khilaf diantara para ulama tafsir dalam hal ini.
Sedangkan dari hadits Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam adalah hadits ‘Aisyah Radhiyallahu’anha yang berkata:
أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيٍّ – زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَاضَتْ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «أَحَابِسَتُنَا هِيَ» قَالُوا: إِنَّهَا قَدْ أَفَاضَتْ قَالَ: «فَلاَ إِذًا»
Sesungguhnya Shafiyah bintu Huyay – istri Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam – haid. lalu aku sampaikan hal itu kepada Rasûlullâh Shallallahu’alaihi wa sallam , beliaupun bersabda: Apakah Dia akan menahan kami? maka mereka berkata: Dia telah melakukan Thawâf Ifâdhah. maka beliau n bersabda: Tidak apa-apa, kalau begitu (HR al-Bukhâri 1757).
Imam al-Baghawi Rahimahullahu Ta’ala menyatakan: Jelaslah dengan hadits ini bahwa orang yang belum Thawâf Ifâdhah pada hari Nahr tidak boleh meninggalkan Makkah.
Demikian juga hukum ini sudah menjadi ijma’ dan ijma’ tentang kewajiban Thawâf Ifâdhah telah disampaikan para ulama diantaranya:
- al-Kasâni Rahimahullahu Ta’ala yang menyatakan: Adapun Thawâf Ziyârah adalah wajib. Dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla:
وَلْيَطَّوَّفُوْا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
Hendaklah mereka melakukan Thawâf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (QS. al-Hajj/ 22:29). Yang dimaksud adalah Thawâf Ziyârah menurut Ijma’.
- al-Qurthuby Rahimahullahu Ta’ala menyatakan: Ismâ’il bin Ishâq Rahimahullahu Ta’ala menyatakan: Thawâf yang wajib yang tidak gugur dengan apapun adalah Thawâf Ifâdhah yang dilakukan setelah Arafah, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
ثُمَّ لْيَقْضُوْا تَفَثَهُمْ وَلْيُوْفُوْا نُذُوْرَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوْا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan Thawâf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (QS. al-Hajj/22:29)
Beliau berkata: Ini adalah Thawâf yang diwajibkan dalam al-Qur`an dan ia yang menjadikan orang berhaji menjadi halal dari seluruh ihramnya. al-Hâfizh Abu Umar Rahimahullahu Ta’ala menyatakan: Yang disampaikan Isma’il tentang Thawâf Ifâdhah adalah pendapat imam Mâlik menurut ulama Ahli Madinah dan juga riwayat dari Ibnu Wahb, Ibnu Nâfi’ dan Asyhab dari imam Mâlik Rahimahumullahu Ta’ala. Ini juga adalah pendapat mayoritas ulama dari ahli fikih Hijâz dan ‘Irâq..
- an-Nawawi Rahimahullahu Ta’alamenyatakan: Ketahuilah Thawâf Ifâdhah adalah ruku yang tidak ada Haji tanpanya. Beliau juga berkata: Thawâf ini adalah salah satu rukun Haji yang tidak sah Haji tanpanya menurut Ijma’.
- Ibnu Qudamah Rahimahullahu Ta’ala menyatakan: Thawâf yang disyariatkan ada tiga: Thawâf Ziyârah dan ini salah satu rukun Haji yang tidak sah Haji tanpanya menurut Ijma’.
- Ibnu Rusyd Rahimahullahu Ta’alamenyatakan: Mereka telah berijma’ bahwa yang wajib dari jenis Thawâf yang hilang haji dengan tidak adanya adalah Thawâf Ifâdhah.
- Ibnu Hazm Rahimahullahu Ta’ala menyatakan: Mereka berijma’ bahwa Thawâf lain yang dinamakan Thawâf Ifâdhah di Ka’bah dan Wukuf di Arafah adalah fardhu.
Jelaslah Thawâf Ifâdah adalah salah satu rukun Haji dan hukumnya wajib menurut ijma’.
Waktu Memulainya.
Thawâf Ifâdhah memiliki waktu utama dan waktu boleh. Adapun waktu utama adalah hari nahr (10 dzulhijjah) di pagi hari setelah melempar jumroh, menyembelih Hadyu dan mencukur rambut, berdasarkan hadits yang diriwayatkan imam Muslim dalam Shahihnya dari Nâfi’ Rahimahullahu Ta’ala dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma , beliau berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «أَفَاضَ يَوْمَ النَّحْرِ، ثُمَّ رَجَعَ فَصَلَّى الظُّهْرَ بِمِنًى» قَالَ نَافِعٌ: «فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُفِيضُ يَوْمَ النَّحْرِ، ثُمَّ يَرْجِعُ فَيُصَلِّي الظُّهْرَ بِمِنًى وَيَذْكُرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَهُ»
sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu’alaihi wa sallam melakukan Thawâf Ifâdhah pada hari Nahr kemudian kembali lalu shalat zuhur di Mina. Nafi’ Rahimahullahu Ta’ala berkata: Dahulu Ibnu Umar melakukan Thawâf Ifâdhah pada hari Nahr kemudian kembali lalu shalat zuhur di Mina dan menjelaskan bahwa Nabi n melakukan hal itu.
Imam an-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala setelah menyampaikan hadits ini menyatakan: Dalam hadits ini ada penetapan Thawâf Ifâdhah dan disunnahkan dilakukan pada hari Nahr dan pagi hari. Para ulama telah bersepakat bawah Thawâf ini adalah salah satu rukun Haji yang tidak sah Haji tanpanya dan mereka sepakat disunnahkan untuk dilakukan di hari Nahr setelah melempar Jumrah, menyembelih dan mencukur rambut.
Adapun hadits ‘Aisyah Radhiyallahu’anha dan Ibnu Abbâs Radhiyallahu’anhu yang menyatakan:
أَنَّ النَّبِيَّ أخَّرَ طَوَافَ يَوْمِ النَحْرِ إِلىَ اللَّيْلِ
Sesungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam mengakhirkan Thawâf hari Nahr hingga malam hari (HR Abu Dawud no. 2000, dihukumi para ulama seperti Ibnul Qayyim , al-Albâni Rahimahullahu Ta’ala dalam Dha’if Sunan Abi Dawud dan Syu’aib al-Arnâuth t sebagai hadits yang lemah.)
Sedangkan waktu boleh melakukannya dimulai, masih diperselisihkan para ulama dalam tiga pendapat:
pendapat pertama: Waktunya dimulai dari terbit Fajar hari Nahr dan ini pendapat mazhab Hanafiyah dan satu pendapat dalam mazhab Mâlikiyah serta sebuah riwayat dalam mazhab Hanâbilah.
Dalil pendapat ini:
- Perbuatan Rasûlullâh Shallallahu’alaihi wa sallam dalam haji, padahal beliau Shallallahu’alaihi wa sallam yang menyatakan:
خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
Ambillah dariku manasik kalian.
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam sendiri melakukan Thawâf Ifâdhah pada pagi hari Nahr bukan dimalam hari Nahr. Sudah dimaklumi malam hari ikut hari sebelumnya bukan setelahnya dan siang hari dimulai dari terbit Fajar.
- Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu’anha , beliau berkata:
أَرْسَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأُمِّ سَلَمَةَ لَيْلَةَ النَّحْرِ «فَرَمَتِ الْجَمْرَةَ قَبْلَ الْفَجْرِ، ثُمَّ مَضَتْ فَأَفَاضَتْ، وَكَانَ ذَلِكَ الْيَوْمُ الْيَوْمَ، الَّذِي يَكُونُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – تَعْنِي – عِنْدَهَا»
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam melepas Ummu Salamah Radhiyallahu’anha untuk berangkat malam hari Nahr, Lalu beliau melempar jumroh sebelum fajar kemudian berlalu dan melakukan Thawâf Ifâdhah. Hari itu adalah hari sekarang ini yang Rasûlullâh Shallallahu’alaihi wa sallam berada bersamanya. (HR abu Dawud no. 1942. Hadits ini dihukumi lemah oleh al-Albâni dan dihukumi shahih oleh Ibnu Hajar, Ibnu Qudâmah, imam an-Nawawi dan Syu’aib al-Arnâuth).
Terfahami dari hadits ini Ummu Salamah Radhiyallahu’anha melakukan Thawâf setelah fajar, karena Ia melempar jumroh sebelum Fajar. Jarang dari tempat pelemparan jumroh ke Makkah sejauh tujuh mil atau lebih, sehingga terfahami beliau sampai Makkah sesudah fajar terbit. Sehingga Ibnu Taimiyah Rahimahullahu Ta’ala menyatakan: Jarak enam mil dilalui sedikit banyaknya tiga jam bahkan paling cepat dua jam. Apabila Ummu Salamah Radhiyallahu’anha berangkat setelah hilang bulan maka sangat mungkin mendapatkan fajar terbit di kota Makkah.
pendapat kedua: Dimulai dari pertengahan malam hari Nahr dan ini pendapat mazhab Syâfi’iyah dan Hanâbilah.
Dalil pendapat ini adalah:
- Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu’anha yang digunakan oleh pendapat pertama diatas. Mereka menyatakan dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan Ummu Salamah berangkat malam hari Nahr lalu melempar jumroh kemudian tawaf Ifâdhah pada malam itu juga sebelum subuh. Sehingga disyaratkannya dimulai setelah pertengahan malam.
- hadits Asma’ binti Abi Bakar Radhiyallahu’anhu yang berbunyi:
أَنَّهَا نَزَلَتْ لَيْلَةَ جَمْعٍ عِنْدَ المُزْدَلِفَةِ، فَقَامَتْ تُصَلِّي، فَصَلَّتْ سَاعَةً ثُمَّ قَالَتْ: «يَا بُنَيَّ، هَلْ غَابَ القَمَرُ؟»، قُلْتُ: لاَ، فَصَلَّتْ سَاعَةً ثُمَّ قَالَتْ: «يَا بُنَيَّ هَلْ غَابَ القَمَرُ؟»، قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَتْ: «فَارْتَحِلُوا»، فَارْتَحَلْنَا وَمَضَيْنَا، حَتَّى رَمَتِ الجَمْرَةَ، ثُمَّ رَجَعَتْ فَصَلَّتِ الصُّبْحَ فِي مَنْزِلِهَا، فَقُلْتُ لَهَا: يَا هَنْتَاهُ مَا أُرَانَا إِلَّا قَدْ غَلَّسْنَا، قَالَتْ: «يَا بُنَيَّ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذِنَ لِلظُّعُنِ»
Sesungguhnya beliau turun di malam tanggal 10 di Muzdalifah, beliau berdiri melakukan Shalat sehingga shalat beberapa waktu, kemudian berkata: Wahai anakku apakah Bulan telah hilang? maka Aku jawab: Belum. lalu beliau shalat beberapa saat kemudian bertanya lagi: Apakah bulan telah hilang? maka aku menjawab: Iya. maka beliau berkata: Berangkatlah kalian! Maka Aku bertanya kepada beliau: eh sekarang ini Aku tidak melihatnya kecuali masih gelap? Maka Asma’ menjawab: Wahai anakku Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu’alaihi wa sallam mengizinkannya untuk para wanita. (HR al-Bukhari no, 1679).
Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu’alaihi wa sallam membolehkan berangkat keluar dari Muzdalifah dan Melempar jumroh setelah lewat pertengahan malam. Apabila hal ini diperbolehkan maka tentunya juga diperbolehkan melakukan Thawâf di waktu tersebut.
pendapat ketiga : Siapa yang telah Thawâf pada hari tarbiah (tanggal 8 Dzulhijjah) sebelum hari Arafah, maka telah melakukan Thawâf untuk Haji pada waktunya. Inilah sebuah pendapat dalam mazhab Mâlikiyah.
Dalil pendapat ini adalah orang yang melakukan Thawâf pada hari ini, berarti telah melakukan Thawâf diwaktunya. Waktu Haji dimulai dengan hari tarbiah sehingga yang berthawâf di hari itu telah berthawâf pada waktunya, karena Allah tidak mewajibkan dalam Haji kecuali satu Thawâf dalam firmannya:
ثُمَّ لْيَقْضُوْا تَفَثَهُمْ وَلْيُوْفُوْا نُذُوْرَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوْا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan Thawâf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (QS. al-Hajj/22:29)
Huruf waw (و) dalam ayat ini menurut mereka tidak menunjukkan urutan kecuali dengan penentuan waktu, sehingga siapa yang melakukan Thawâf di hari Tarwiyah telah melakukan Thawâf untuk Haji pada waktunya.
Pendapat Yang Rojih.
Bila melihat kepada dalil pendapat ketiga, tampak cukup lemah sekali karena ayat tersebut disepakati ahli tafsir untuk Thawâf Ifâdhah yang dilakukan setelah wukuf di Arafah sehingga tidak boleh dilakukan sebelum wukuf.
Sedangkan pendapat pertama dan kedua dapat dikompromikan dengan membawa dalil pendapat pertama untuk umumnya orang dan dalil pendapat kedua untuk orang-orang khusus yang lemah. Sehingga menurut pendapat penulis, waktu bolehnya memulai Thawâf Ifâdhah berbeda sesuai perbedaan keadaan orang yang berhaji lemah atau tidak. orang-orang lemah dari kalangan wanita, anak-anak, orang hamil dan orang-orang tua serta para pendamping mereka diperbolehkan melakukan Thawâf setelah berlalu pertengahan malam. Adapun orang yang sehat dan kuat maka tidak diperbolehkan Thawâf Ifâdhah kecuali setelah terbit matahari, karena Rasûlullâh n dan para sahabatnya yang tidak memiliki uzur tidak melakukan Thawâf Ifâdhah kecuali setelah terbit matahari.
Wallahu a’lam.
Akhir Waktu Thawâf Ifâdhah
Tidak ada Nash syariat yang menjelaskan tentang akhir waktu pelaksanaan Thawâf Ifâdhah sehingga mayoritas ulama memandang tidak ada akhir waktu untuk Thawâf Ifâdhah. Waktunya ada selama hayat orang yang berhaji tersebut masih dikandung badan. Para Ulama juga bersepakat waktu utamanya adalah hari Nahr dan mereka memakruhkan pengakhiran Thawâf dari hari Nahr. Imam an-Nawawi t menyatakan: Dimakruhkan mengakhirkan Thawâf dari hari Nahr dan pengakhirannya dari hari-hari tasyrik lebih dimakruhkan lagi serta keluarnya orang berhaji dari Makkah tanpa Thawâf lebih makruh lagi.
Namun mereka berselisih pendapat tentang keharusan membayar Dam (sembelihan) dengan sebab pengakhiran atau tidak dalam empat pendapat:
- Tidak dikenakan Dam secara mutlak dan dalam waktu kapan saja dilaksanakan maka sah, hanya saja dia tetap berihram apabila belum bertahalul tahalul besar. Inilah pendapat Abu Yûsuf dan Muhammad bin al-Hasan dari ulama Hanafiyah, Atha’, Amru bin Dinâr, Sufyân bin Uyainah, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir dan riwayat dari Mâlik serta mazhab asy-Syâfi’iyah dan Hanâbilah.
Imam an-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala menyatakan: Tidak diharamkan mengakhirkannya beberapa tahun lamanya dan tidak ada akhir untuk waktunya. Tetap sah selama orangnya masih hidup.
Dalil pendapat ini adalah:
- Pada asalnya tidak ada kewajiban membayar Dam (sembelihan) karena pengakhiran hingga ada dalil syar’i yang mewajibkannya dan di sini tidak ada dalil tersebut.
- Thawâf tidak sama dengan manasik yang lainnya yang terikat waktu yang akan hilang dengan hilangnya waktu tersebut, sehingga apabila dilaksanakan maka sah dan tidak harus membayar dam akibat pengakhirannya.
- pengakhiran Thawâf sampai selesai hari Nahr menuntut adanya Dam (sembelihan). Inilah pendapat Abu Hanifah.
Pendapat ini berdalil dengan menyatakan bahwa Thawâf adalah salah satu manasik dalam haji, sehingga menjadikannya terikat dengan waktu hari-hari Nahr secara wajib. Sehingga bila diakhirkan dari waktunya berarti meninggalkan sebuah kewajiban dan meninggalkan kewajiban dalam Haji menuntut adanya penutup dengan dam (sembelihan).
al-Kasâni Rahimahullahu Ta’ala berkata: Menurut Abu Hanifah Rahimahullahu Ta’ala pengakhiran sama kedudukannya dengan meninggalkan pada hal-hal yang wajib ditutup, dengan dalil orang yang melewati miqât tanpa berihram kemudian baru berihram (setelah lewat miqât) maka diwajibkan membayar dam (sembelihan) walaupun seandainya tidak ada kecuali pengakhiran ibadah manasik…hingga menyatakan: Meninggalkannya itu berarti meninggalkan dua kewajiban:
- penunaian kewajiban itu sendiri
- memperhatikan tempatnya
sehingga meninggalkan kewajiban ini menuntut adanya penutup dengan bayar dam.
- pengakhiran Thawâf sampai berakhir bulan dzulhijjah menuntut adanya Dam. Inilah pendapat Mâlik .
Pendapat ini berdalil bahwa pengakhiran Thawâf sampai bulan Muharram adalah melaksanakan rukun di luar bulan haji dan pengakhiran rukun dari waktunya menuntut adanya pembayaran dam.
- pengakhiran Thawâf sampai berakhir bulan dzulhijjah membatalkan haji. Inilah pendapat Ibnu Hazm azh-Zhâhiri.
Pendapat ini berdalil dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌﱠ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, (QS. al-Baqarah/2:197)
Dimaklumi bulan haji ada 3 yaitu Syawâl, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Apabila selesai bulan Dzulhijjah sebelum melakukan Thawâf maka telah batal hajinya karena berakhir waktunya sebelum sempurna Thawâf nya.
Pendapat Yang Rajih
Pendapat mayoritas ulama yang menyatakan pengakhiran Thawâf Ifâdhah tidak menuntut pembayaran dam walaupun telah berlalu hari nah atau berakhir bulan Dzulhijjah adalah pendapat yang rojih –insya Allah- , karena akhir waktunya tidak ada batasan dalam syariat. Oleh karena itu ahli fikih Madzhab empat sepakat menyatakan bahwa seandainya dilaksanakan walaupun dia bepergian dan kembali lagi, maka tetap sah. Mereka hanya berbeda dalam masalah kewajiban membayar dam saja dan tidak ada dalil yang mewajibkannya, karena asal hukumnya tidak ada kewajiban. Sedangkan pendapat Ibnu Hazm t telah menyelisihi mayoritas ulama salaf, ditambah penafsiran beliau pada firman Allah Azza wa jalla “bulan yang dimaklumi” dalam ayat tersebut menyelisihi sejumlah ulama besar ahli tafsir seperti Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu , as-Suddi Rahimahullahu Ta’ala, asy-Sya’bi Rahimahullahu Ta’aladan an-Nakha’i yang menafsirkannya dengan bulan Syawâl, Dzul Qa’dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah.
Wallahu a’lam.
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.