Bismillaahirrohmaanirrohiim.
Perkenankan kami berbagi,
Tata Cara I’tikaf di Masjid
I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Adapun secara syar’i, i’tikaf bermakna menetap di masjid dengan niat yang khusus dan tata cara tertentu. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah 2/1699)
Hukum Melaksanakan I’tikaf
Ibnul Mundzir rahimahullahu ta’ala mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa hukum melaksanakan i’tikaf adalah sunnah, bukan wajib, kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya, yakni dengan bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.” (Al-Mughni 4/456)
Dalil Disyari’atkannya Beri’tikaf
Di antara dalil yang mensyariatkan ibadah i’tikaf adalah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ta’ala ‘anhu, ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan, selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Al-Bukhari no. 2044)
Waktu I’tikaf yang Paling Utama
Jumhur ulama berpendapat bahwa i’tikaf dapat dilakukan kapan saja, dan tidak terbatas hanya pada bulan Ramadhan. Namun, waktu i’tikaf yang afdhol adalah di 10 hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ta’ala ‘anha, ia berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya, kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.” (Muttafaqun ‘alaih)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan Lailatul Qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a, dan banyak berdzikir ketika itu. (Latho-if Al-Ma’arif hal. 338)
Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah Sholat Subuh pada hari ke-21, dan keluar setelah Sholat Subuh pada hari ‘Idul Fitri menuju lapangan. Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam, pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam, sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.
Rukun I’tikaf
- Orang yang beri’tikaf adalah seorang muslim berakal yang mumayyiz. Maka tidak sah i’tikafnya orang kafir, orang gila, dan anak yang belum mumayyiz. Adapun berjenis kelamin laki-laki dan baligh, bukanlah merupakan persyaratan dalam i’tikaf. Artinya, sah i’tikafnya seorang anak yang belum baligh ketika sudah mumayyiz, baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan.
- Berniat di dalam hati untuk melaksanakan i’tikaf, ikhlas karena Allah semata.
- Melakukan i’tikaf di masjid yang ditegakkan di dalamnya sholat 5 waktu.
- Menetap di masjid dalam rangka beribadah.
I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al Baqarah: 187)
Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para istri beliau hanya melakukan i’tikaf di masjid, dan tidak pernah melakukan i’tikaf di rumah sama sekali.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.” (Fathul Bari, 4/271)
Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf, sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 2/13775)
I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja
Imam Malik menjelaskan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja, asalkan ditegakkan sholat lima waktu di sana, karena keumuman firman Allah Ta’ala,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Dan masjid yang dimaksud di sini adalah masjid mana pun yang terbuka untuk umum, dikumandangkan adzan dan iqamah untuk melaksanakan sholat lima waktu di dalamnya, meskipun tidak dilaksanakan Sholat Jumat di dalamnya, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat. Adapun keluar untuk Sholat Jumat di masjid jami’ misalnya, maka hal tersebut adalah keluar yang diberi udzur (diperbolehkan), dan tidak membatalkan i’tikaf seseorang. Wallahu a’lam.
Bolehkah Beri’tikaf di Musholla?
Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, surau, atau yang lainnya, selama diadakan shalat berjama’ah 5 waktu di dalamnya untuk kaum muslimin secara umum, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama. Selama itu bangunan tersendiri dan dibuka untuk umum, maka hukumnya mengikuti hukum masjid. Berbeda halnya dengan musholla kantor yang tidak terbuka untuk umum, maka tidak diperbolehkan untuk dijadikan tempat beri’tikaf.
Bolehkah Wanita Ikut Beri’tikaf?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan para istri beliau untuk beri’tikaf. Dari Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ta’ala ‘anha, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari Sholat Subuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata, ‘Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.’” (HR. Al-Bukhari no. 2041)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ta’ala ‘anha, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya, kemudian istri-istri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.” (HR. Muslim no. 1172)
Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid, asalkan memenuhi 2 syarat:
- Meminta izin suami.
- Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki), sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna, dan juga tidak memakai wewangian. (Shahih Fiqh Sunnah 2/151 – 152)
Lama Waktu Berdiam di Masjid
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun, mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. (Fathul Bari, 4/272)
Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan pendapat jumhur ulama dalam hal ini, beliau berkata,
ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺃَﻗَﻞُّ ﺍﻻِﻋْﺘِﻜَﺎﻑِ ﻓَﺎﻟﺼَّﺤِﻴﺢُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻗَﻄَﻊَ ﺑِﻪِ ﺍﻟْﺠُﻤْﻬُﻮﺭُ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳُﺸْﺘَﺮَﻁُ ﻟُﺒْﺚٌ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ , ﻭَﺃَﻧَّﻪُ ﻳَﺠُﻮﺯُ ﺍﻟْﻜَﺜِﻴﺮُ ﻣِﻨْﻪُ ﻭَﺍﻟْﻘَﻠِﻴﻞُ ﺣَﺘَّﻰ ﺳَﺎﻋَﺔٍ ﺃَﻭْ ﻟَﺤْﻈَﺔٍ
“Adapun batas minimal i’tikaf yang shahih adalah apa yang telah ditegaskan oleh jumhur, bahwasanya dipersyaratkan untuk menetap di masjid, baik dalam waktu lama atau sebentar, bahkan sampai beberapa jam atau beberapa saat saja.” (Al-Majmu’ 6/514)
Oleh karenanya, hendaknya setiap orang yang hendak ke masjid untuk selalu berniat untuk i’tikaf, agar ia bisa terus mendapatkan pahala i’tikaf, meskipun hanya sebentar saja.
Yang Membatalkan I’tikaf
- Berniat dengan sengaja untuk membatalkan i’tikaf.
- Keluar dari masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mendesak.
- Melakukan jima’ (bersetubuh) dengan istri. Hal ini didasarkan oleh surat Al-Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan para ulama) bahwa yang dimaksud dengan “Mubasyarah” dalam ayat tersebut adalah jima’. (Fathul Bari 4/272)
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
- Keluar masjid karena kebutuhan mendesak, seperti: makan, buang hajat, dan hal lain yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid.
- Mengeluarkan sebagian anggota badan dari masjid.
- Makan, minum, tidur, dan berbicara.
- Berwudhu, menggunakan parfum, minyak rambut, dan semacamnya.
- Bermuamalah dan melakukan perbuatan selain ibadah di dalam masjid, kecuali berjual-beli di dalam masjid.
Adab I’tikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang senantiasa memperbaiki keikhlasan niatnya untuk beri’tikaf, seraya menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan kepada Allah, seperti dengan memperbanyak sholat, membaca Al-Quran, berdoa, berdzikir, bershalawat pada Nabi, dan ibadah lainnya.
Dan hendaknya ia menjauhkan diri dari perkara yang menyibukkan dirinya dari beribadah kepada Allah, baik dengan perkataan, ataupun perbuatan. Terlebih lagi, jangan sampai ia berkata kotor, ber-ghibah, atau melakukan dosa lainnya di dalam masjid.
Demikian panduan mengenai i’tikaf di masjid. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk dapat mengamalkannya. Aamiin yaa Robbal ‘aalamiin.
Wallahu ta’ala a’lam bish showab.
Video Tata Cara I’tikaf di Masjid