Alquranul Karim

48- القرآن كلام الله ( حروفه ومعانيه ) منزل غير مخلوق، منه بدأ، وإليه يعود، وهو معجز دال على صدق من جاء به، صلى الله عليه وسلم ومحفوظ إلى يوم القيامة .

49- الله تعالى يتكلم بما شاء، متى شاء، كيف شاء، وكلامه تعالى حقيقة، بحرف وصوت، والكيفية لا نعلمها، ولا نخوض فيها .

50- القول بأن كلام الله معنى نفسي أو أن القرآن حكاية أو عبارة، أو مجاز أو فيض، وما أشبهها ضلال وزيع، وقد يكون كفراً، والقول بأن القرآن مخلوق كفر

51- من أنكر شيئا من القرآن أو ادعى فيه النقص أو الزيادة أو التحريف، فهو كافر.

52- القرآن يجب أن يفسر بما هو معلوم من منهج السلف ولا يجوز تفسيره بالرأي المجرد، فإنه من القول على الله بغير علم، وتأويله بتأويلات الباطنية وأمثالها كفر .

48. Alquran adalah firman Allah, baik huruf maupun maknanya. Turun dari sisi Allah dan bukan makhluk. Alquran berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Alquran adalah mukjizat yang menunjukkan kebenaran Nabi yang membawanya (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), Keasliannya akan tetap dijaga Allah sampai hari Kiamat.

49. Allah Ta’ala berfirman menurut apa yang Dia kehendaki, kapan saja Dia mengkehendaki dan dengan cara yang Dia kehendaki. Firman Allah Ta’ala adalah hakiki (benar-benar), dengan lafaz dan suara. Adapun bagaimana firman-Nya, maka kita tidak mengetahuinya dan tidak mempermasalahkannya.

50. Pendapat yang mengatakan bahwa kalam Allah adalah makna spiritual, Alquran adalah hikayah (cerita) atau ‘ibarah (terjemahan) dari firman Allah, dan mengatakan pula bahwa Alquran adalah majaz (kiasan) atau faidh (curahan) maka orang yang menyatakan demikian telah sesat dan menyimpang. Bahkan bisa sebagai kekufuran. Dan bahwa mengatakan Alquran adalah makhluk adalah sebuah kekufuran.

51. Barang siapa yang mengingkari satu saja dari Alquran atau mengatakan bahwa di dalamnya terdapat kekurangan, tambahan atau penyelewengan, maka dia kafir.

52. Alquran harus ditafsirkan menurut cara yang telah dikenal dalam metode salaf. Alquran tidak boleh ditafsirkan dengan hanya menggunakan akal saja. Hal ini termasuk berkata terhadap Allah tanpa dasar ilmu, dan penafsiran Alquran dengan cara seperti tafsiran kaum Bathiniyyah (aliran kebatinan) dan semisalnya adalah kekufuran. (Mujmal Ushul Ahlissunnah bagian Alquran karya Dr. Nashir bin Abdul Karim al-‘Aql)

Syarh/Keterangan:

No. 48:  Dalil bahwa Alquran adalah firman Allah ada di surah At Taubah: 6, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, ”Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia mendengar firman Allah….dst.”

Dalil bahwa Alquran turun dari sisi Allah adalah firman Allah Ta’ala, ”Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.” (Al Waaqi’ah: 80)

Dalil bahwa Alquran bukan makhluk adalah firman Allah Ta’ala:

”Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (QS. Al A’raaf: 54)

Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan ”al amr” (memerintah) bukan Al khalq (menciptakan), sedangkan Alquran termasuk Al Amr berdasarkan firman Allah Ta’ala,

Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, (Terj. Ath Thalaaq: 5)

Di samping itu, firman Allah adalah salah sifat di antara sifat-sifat-Nya, sedangkan sifat-Nya bukanlah makhluk.

Dalil bahwa Alquran bermula dari sisi Allah adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyandarkan kepada-Nya, dan ucapan tidaklah disandarkan kecuali kepada yang mengucapkannya pertama kali. Sedangkan dalil bahwa kepada-Nya Alquran kembali adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

يَدْرُسُ الْإِسْلَامُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ حَتَّى لَا يُدْرَى مَا صِيَامٌ وَلَا صَلَاةٌ وَلَا نُسُكٌ وَلَا صَدَقَةٌ وَلَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي لَيْلَةٍ فَلَا يَبْقَى فِي الْأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنْ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْعَجُوزُ يَقُولُونَ أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَنَحْنُ نَقُولُهَا

Islam akan terhapus sebagaimana lukisan pada kain akan terhapus sehingga tidak dikenal lagi puasa, shalat, haji dan sedekah. Kemudian akan dijalankan pada suatu malam kitab Allah ‘Azza wa Jalla sehingga tidak lagi tersisa satu ayat pun. Tinggallah beberapa kelompok manusia yang terdiri dari kakek-kakek dan nenek-nenek, mereka berkata, ”Kami mendapatkan nenek moyang kami di atas kalimat ini ’Laailaahaillallah,’ maka kami mengucapkannya.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 4049 dan ash-Shahihah 87).

Adapun dalil bahwa Alquran terjaga sampai hari Kiamat adalah firman Allah  di surah Al Hijr: 9.

Faedah/catatan:

Alquran terdiri dari huruf dan kalimat, dalilnya adalah sbb.:

1. Allah Subhanahu wa Ta’ala menantang orang-orang yang mendustakannya untuk mendatangkan yang semisal dengan Alquran. Jika Alquran tidak terdiri dari huruf dan kalimat tentu tantangan itu tidak diterima, karena tantangan tidak mungkin terlaksana kecuali dengan sesuatu yang diketahui apa maksudnya.

2. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, bahwa ia (Alquran) dibacakan kepada mereka (lihat surah Yunus: 15), dan yang dibacakan itu tentu terdiri dari huruf dan kalimat.

3. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberitahukan bahwa Alquran dihapal dalam dada Ahli Ilmu (lihat Al ’Ankabut: 49) dan tertulis dalam Lauh Mahfuzh (lihat Al Waaqi’ah: 78). Sedangkan yang dihapal dan dibaca tidak lain berupa huruf dan kalimat.

4. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka ia akan mendapatkan satu kebaikan dengan huruf itu, dan satu kebaikan itu akan dilipatgandakan menjadi 10. Aku tidak mengatakan Alif laam miim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan Mim satu huruf.” (HR. Bukhari dalam At Taarikh, Tirmidzi dan Hakim, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 6469)

4. Perkataan Abu Bakar dan Umar, “Mengi’rabkan (mengetahui keindahan bahasa dan rahasia) Alquran lebih kami sukai daripada menghapal sebagian hurufnya.”

5. Perkataan Ali radhiyallahu ‘anhu, ”Barang siapa yang kafir kepada satu huruf darinya, maka ia telah kafir kepadanya semuanya.”

6. Ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, bahwa barang siapa yang mengingkari satu surah, satu ayat, satu kalimat atau satu huruf yang telah disepakati, maka ia kafir.

Lihat Ta’liq Mukhtashar ’ala Lum’atil I’tiqad oleh Syaikh Ibnu ’Utsaimin saat membicarakan tentang Alquran.

No. 49:  Kalaam (berfirman) salah satu di antara sifat Allah berdasarkan Alquran, sunah dan Ijma’ salafush shaalih.

Dalam Alquran, Allah berfirman, ”Di antara mereka (para rasul) ada yang Allah ajak bicara.” (Terj. Al Baqarah: 253)

Dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَرَادَ اللهُ أَنْ يُوْحِيَ بِأَمْرِهِ تَكَلَّمَ بِالْوَحْيِ

Apabila Allah berkehendak memberi wahyu dengan perintah-Nya, maka Dia berfirman dengan wahyu.” (HR. Ibnu Khuzaiman, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)

Sedangkan dalam ijma’ adalah bahwa kaum salaf telah sepakat menetapkan kalam (berfirman) bagi Allah, maka wajib ditetapkan tanpa tahrif (ta’wil), ta’thil (meniadakan), takyif (menanyakan bagaimana), dan tamtsil (menyerupakan).

Ia adalah firman yang hakiki yang sesuai bagi Allah Ta’ala yang terkait dengan kehendak-Nya, dengan huruf dan suara yang dapat didengar.

Dalil bahwa ia (berfirman) dengan kehendaknya adalah firman-Nya, ”Dan ketika Musa datang untuk (bermunajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya…dst.” (QS. Al A’raaf: 143)

Allah berfirman langsung kepada Musa terjadi setelah kedatangan Nabi Musa ’alaihis salam. Hal ini menunjukkan bahwa firman-Nya terkait dengan kehendak-Nya.

Dalil bahwa firman-Nya berupa huruf-huruf adalah firman-Nya, ”Wahai Musa—Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu.” (QS. Thaha: 11-12)

Sedangkan dalil bahwa firman-Nya dengan suara adalah firman-Nya, ”Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu Dia munajat (kepada Kami).” (QS. Maryam: 52)

Memanggil dan munaajat tidak bisa kecuali dengan suara.

No. 52: Syaikh Ibnu ’Utsaimin menerangkan dalam Ushuul Fit Tafsir, bahwa dalam menafsirkan Alquran (perlu) merujuk kepada hal-hal berikut (kami sebutkan secara ringkas):

  1. Firman Allah Ta’ala, sehingga Alquran ditafsirkan dengan Alquran, karena Allah yang menurunkannya, tentu lebih mengetahui maksud yang diinginkan-Nya. Contoh firman-Nya, ” ”Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62) pada ayat selanjutnya, Allah Ta’aala menerangkan tentang siapa wali-wali-Nya, ”(yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 63).
  2. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga Alquran ditafsirkan dengan sunah. Hal itu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang menyampaikan dari Allah, oleh karenanya Beliau adalah manusia yang paling tahu tentang maksud dari firman Allah Ta’ala. Seperti firman Allah Ta’ala, ”Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (QS. Yunus: 26) Tambahan di ayat ini ditafsirkan oleh Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melihat wajah Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana dalam hadits riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Abu Musa dan Ubay bin Ka’ab.
  3. Perkataan para sahabat, terlebih dari kalangan ulama mereka yang memberikan perhatian  lebih terhadap tafsir Alquran. Hal itu, karena Alquran turun dengan bahasa mereka, dan karena mereka manusia paling jujur dalam mencari kebenaran setelah para nabi dan paling selamat dari hawa nafsu, serta paling bersih dari sikap menyelisihi yang menghalangi seseorang mendapatkan taufiq kepada kebenaran.
  4. Perkataan para tabi’in yang sangat memperhatikan tafsir dari para sahabat. Di samping itu, para tabi’in adalah manusia terbaik setelah sahabat dan paling selamat dari hawa nafsu setelah mereka. Dan lagi, bahasa Arab belum berubah di masa mereka, sehingga mereka lebih dekat kepada kebenaran dalam memamahi Alquran daripada orang-orang yang setelah mereka. Syaikhul Islam berkata, ”Apabila mereka (para tabi’in) sepakat terhadap sesuatu, maka jangan ragu keadaannya sebagai hujjah. Namun jika mereka berselisih, maka pendapat sebagian mereka tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain dan bagi orang-orang setelah mereka. Dan dalam hal ini dikembalikan kepada bahasa Alquran atau sunah atau keumuman bahasa Arab atau pendapat-pendapat para sahabat tentang hal itu.”
  5. Apa yang dikehendaki kalimat baik berupa makna syar’i maupun lughawi (bahasa) sesuai susunannya. Jika makna syar’i dan makna lughawi berbeda, maka diambil makna syar’i, karena Alquran turun untuk menerangkan syara’, bukan untuk menerangkan bahasa, kecuali jika di sana ada dalil yang menguatkan makna lughawi sehingga diambil.

Contoh yang berbeda maknanya,, namun yang didahulukan adalah makna syar’i, yaitu pada firman Allah Ta’ala, ”Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. ..dst..” (QS. At Taubah: 84)

Shalat secara bahasa artinya doa, sedangkan secara syara’ adalah berdiri di hadapan si mati untuk mendoakannya dengan cara tertentu (melakukan shalat jenazah), maka diartikan dengan shalat jenazah yang merupakan makna syar’i lebih didahulukan. Hal itu, karena makna syar’i itulah maksud pembicara yang langsung dipahami pendengar. Adapun dilarang mendoakan mereka karena dalil yang lain.

Sedangkan contoh berbeda makna, namun yang didahulukan adalah makna lughawi karena ada dalil adalah firman Allah Ta’ala, ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. At Taubah: 103)

Maksud ’wa shalli ’alaihim’ di ayat ini adalah doa berdasarkan hadits riwayat Muslim dari Abdullah bin Abi Aufa ia berkata, ”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila kedatangan zakat dari suatu kaum mendoakan mereka. Lalu bapakku datang membawa zakatnya, maka Beliau berdoa, ”Allahumma shalli ’ala aali Abi Aufaa” (Ya Allah, berilah rahmat kepada keluarga Abu Aufaa).” (Diringkas dari kitab Ushuul Fit Tafsir karya Syaikh Ibnu ’Utsaimin).

Selesai dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya.

Oleh: Marwan bin Musa

Artikel www.Yufidia.com

Maraji’: Mujmal Ushul Ahlissunnah (Dr. Nashir Al ’Aql), Ta’liq Mukhtashar ’alaa Lum’atil I’tiqaad (Syaikh Ibnu ’Utsaimin), Ushuul Fit Tafsir (Syaikh Ibnu ’Utsaimin)  dll.

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28