Jika Zakat Fitrah Menggunakan Uang

Masalah ini termasuk kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia Islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat.

Sebagian melarang pembayaran zakat fitrah dengan uang secara mutlak, sebagian memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tetapi dengan bersyarat, dan sebagian lain memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tanpa syarat. Yang menjadi masalah adalah sikap yang dilakukan orang awam. Umumnya, pemilihan pendapat yang paling kuat menurut mereka, lebih banyak didasari logika sederhana dan jauh dari ketundukan terhadap dalil. Jauhnya seseorang dari ilmu agama menyebabkan dirinya begitu mudah mengambil keputusan dalam peribadahan yang mereka lakukan. Seringnya, orang terjerumus ke dalam qiyas (analogi), padahal sudah ada dalil yang tegas.

Uraian ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun, ulasan ini tidak lebih dari sebatas bentuk upaya untuk mewujudkan penjagaan terhadap sunah Nabi dan dalam rangka menerapkan firman Allah, yang artinya, “Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apa pun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Q.s. An-Nisa’:59)

Allah menegaskan bahwa siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka setiap ada masalah, dia wajib mengembalikan permasalahan tersebut kepada Alquran dan As-Sunnah. Siapa saja yang tidak bersikap demikian, berarti ada masalah terhadap imannya kepada Allah dan hari akhir.

Pada penjelasan ini, terlebih dahulu akan disebutkan perselisihan pendapat ulama, kemudian di-tarjih (dipilihnya pendapat yang lebih kuat). Pada kesempatan ini, Penulis akan lebih banyak mengambil faidah dari risalah Ahkam Zakat fitri (zakat fitrah), karya Nida’ Abu Ahmad.

Perselisihan ulama dalam hal “zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang”

Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini (zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang). Pendapat pertama, memperbolehkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan mata uang. Pendapat kedua, melarang pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan mata uang. Permasalahannya kembali kepada status zakat fitri (zakat fitrah). Apakah status zakat fitri (zakat fitrah) itu sebagaimana zakat harta ataukah statusnya sebagai zakat badan?

Jika statusnya sebagaimana zakat harta maka prosedur pembayarannya sebagaimana zakat harta perdagangan. Pembayaran zakat perdagangan tidak menggunakan benda yang diperdagangkan, namun menggunakan uang yang senilai dengan zakat yang dibayarkan. Sebagaimana juga zakat emas dan perak, pembayarannya tidak harus menggunakan emas atau perak, namun boleh menggunakan mata uang yang senilai.

Sebaliknya, jika status zakat fitri (zakat fitrah) ini sebagaimana zakat badan maka prosedur pembayarannya mengikuti prosedur pembayaran kafarah untuk semua jenis pelanggaran. Penyebab adanya kafarah ini adalah adanya pelanggaran yang dilakukan oleh badan, bukan kewajiban karena harta. Pembayaran kafarah harus menggunakan sesuatu yang telah ditetapkan, tidak boleh menggunakan selain yang ditetapkan.

Jika seseorang membayar kafarah dengan selain ketentuan yang ditetapkan maka kewajibannya untuk membayar kafarah belum gugur dan harus diulangi. Misalnya, seseorang melakukan pelanggaran berupa hubungan suami-istri di siang hari bulan Ramadan, tanpa alasan yang dibenarkan. Kafarah untuk pelanggaran ini adalah membebaskan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin, dengan urutan sebagaimana yang disebutkan. Seseorang tidak boleh membayar kafarah dengan menyedekahkan uang seharga budak, jika dia tidak menemukan budak. Demikian pula, dia tidak boleh berpuasa tiga bulan namun putus-putus (tidak berturut-turut). Juga, tidak boleh memberi uang Rp. 5.000 kepada 60 fakir miskin. Mengapa demikian? Karena kafarah harus dibayarkan persis sebagaimana yang ditetapkan.

Di manakah posisi zakat fitri (zakat fitrah)?

Sebagaimana yang dijelaskan Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwasanya zakat fitri (zakat fitrah) itu mengikuti prosedur kafarah karena zakat fitri (zakat fitrah) adalah zakat badan, bukan zakat harta. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa zakat fitri (zakat fitrah) adalah zakat badan –bukan zakat harta– adalah pernyataan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tentang zakat fitri (zakat fitrah).

Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri (zakat fitrah), … bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa ….” (Hr. Al-Bukhari dan Muslim)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri (zakat fitrah) (zakat fitrah), sebagai penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa dan dari perbuatan atau ucapan jorok ….(Hr. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Dua riwayat ini menunjukkan bahwasanya zakat fitri (zakat fitrah) berstatus sebagai zakat badan, bukan zakat harta. Berikut ini adalah beberapa alasannya:

  1. Adanya kewajiban zakat bagi anak-anak, budak, dan wanita. Padahal, mereka adalah orang-orang yang umumnya tidak memiliki harta. Terutama budak; seluruh jasad dan hartanya adalah milik tuannya. Jika zakat fitri (zakat fitrah) merupakan kewajiban karena harta maka tidak mungkin orang yang sama sekali tidak memiliki harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya.
  2. Salah satu fungsi zakat adalah penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa serta dari perbuatan atau ucapan jorok. Fungsi ini menunjukkan bahwa zakat fitri (zakat fitrah) berstatus sebagaimana kafarah untuk kekurangan puasa seseorang.

Apa konsekuensi hukum jika zakat fitri (zakat fitrah) berstatus sebagaimana kafarah?

Ada dua konsekuensi hukum ketika status zakat fitri (zakat fitrah) itu sebagaimana kafarah:

  1. Harus dibayarkan dengan sesuatu yang telah ditetapkan yaitu bahan makanan.
  2. Harus diberikan kepada orang yang membutuhkan untuk menutupi hajat hidup mereka, yaitu fakir miskin. Dengan demikian, zakat fitri (zakat fitrah) tidak boleh diberikan kepada amil, mualaf, budak, masjid, dan golongan lainnya. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 25:73)

Sebagai tambahan wacana, berikut ini kami sebutkan perselisihan ulama dalam masalah ini.

Pendapat yang membolehkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang

Ulama yang berpendapat demikian adalah Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan Al-Bashri, Atha’, Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah.

Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, bahwa beliau mengatakan, “Tidak mengapa memberikan zakat fitri (zakat fitrah) dengan dirham.”

Diriwayatkan dari Abu Ishaq; beliau mengatakan, “Aku menjumpai mereka (Al-Hasan dan Umar bin Abdul Aziz) sementara mereka sedang menunaikan zakat Ramadan (zakat fitri (zakat fitrah)) dengan beberapa dirham yang senilai bahan makanan.”

Diriwayatkan dari Atha’ bin Abi Rabah, bahwa beliau menunaikan zakat fitri (zakat fitrah) dengan waraq (dirham dari perak).

Pendapat yang melarang pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang

Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Mereka mewajibkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan bahan makanan dan melarang membayar zakat dengan mata uang. Di antara ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad. Bahkan, Imam Malik dan Imam Ahmad secara tegas menganggap tidak sah jika membayar zakat fitri (zakat fitrah) mengunakan mata uang. Berikut ini nukilan perkataan mereka.

Perkataan Imam Malik

Imam Malik mengatakan, “Tidak sah jika seseorang membayar zakat fitri (zakat fitrah) dengan mata uang apa pun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi.” (Al-Mudawwanah Syahnun)

Imam Malik juga mengatakan, “Wajib menunaikan zakat fitri (zakat fitrah) senilai satu sha’ bahan makanan yang umum di negeri tersebut pada tahun itu (tahun pembayaran zakat fitri (zakat fitrah)).” (Ad-Din Al-Khash)

Perkataan Imam Asy-Syafi’i

Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Penunaian zakat fitri (zakat fitrah) wajib dalam bentuk satu sha’ dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut.” (Ad-Din Al-Khash)

Perkataan Imam Ahmad

Al-Khiraqi mengatakan, “Siapa saja yang menunaikan zakat menggunakan mata uang maka zakatnya tidak sah.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah)

Abu Daud mengatakan, “Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat mengunakan dirham. Beliau menjawab, ‘Aku khawatir zakatnya tidak diterima karena menyelisihi sunah Rasulullah.’” (Masail Abdullah bin Imam Ahmad; dinukil dalam Al-Mughni, 2:671)

Dari Abu Thalib, bahwasanya Imam Ahmad kepadaku, “Tidak boleh memberikan zakat fitri (zakat fitrah) dengan nilai mata uang.” Kemudian ada orang yang berkomentar kepada Imam Ahmad, “Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz membayar zakat menggunakan mata uang.” Imam Ahmad marah dengan mengatakan, “Mereka meninggalkan hadis Nabi dan berpendapat dengan perkataan Fulan. Padahal Abdullah bin Umar mengatakan, ‘Rasulullah mewajibkan zakat fitri (zakat fitrah) satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.’ Allah juga berfirman, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul.’ Ada beberapa orang yang menolak sunah dan mengatakan, ‘Fulan ini berkata demikian, Fulan itu berkata demikian.’” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 2:671)

Zahir mazhab Imam Ahmad, beliau berpendapat bahwa pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan nilai mata uang itu tidak sah.

Beberapa perkataan ulama lain:

  • Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Allah mewajibkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan bahan makanan sebagaimana Allah mewajibkan pembayaran kafarah dengan bahan makanan.” (Majmu’ Fatawa)
  • Taqiyuddin Al-Husaini Asy-Syafi’i, penulis kitab Kifayatul Akhyar (kitab fikih Mazhab Syafi’i) mengatakan, “Syarat sah pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) harus berupa biji (bahan makanan); tidak sah menggunakan mata uang, tanpa ada perselisihan dalam masalah ini.” (Kifayatul Akhyar, 1:195)
  • An-Nawawi mengatakan, “Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa tidak boleh membayar zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan uang kecuali dalam keadaan darurat.” (Al-Majmu’)
  • An-Nawawi mengatakan, “Tidak sah membayar zakat fitri (zakat fitrah) dengan mata uang menurut mazhab kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik, Ahmad, dan Ibnul Mundzir.” (Al-Majmu’)
  • Asy-Syairazi Asy-Syafi’i mengatakan, “Tidak boleh menggunakan nilai mata uang untuk zakat karena kebenaran adalah milik Allah. Allah telah mengaitkan zakat sebagaimana yang Dia tegaskan (dalam firman-Nya), maka tidak boleh mengganti hal itu dengan selainnya. Sebagaimana berkurban, ketika Allah kaitkan hal ini dengan binatang ternak maka tidak boleh menggantinya dengan selain binatang ternak.” (Al-Majmu’)
  • Ibnu Hazm mengatakan, “Tidak boleh menggunakan uang yang senilai (dengan zakat) sama sekali. Juga, tidak boleh mengeluarkan satu sha’ campuran dari beberapa bahan makanan, sebagian gandum dan sebagian kurma. Tidak sah membayar dengan nilai mata uang sama sekali karena semua itu tidak diwajibkan (diajarkan) Rasulullah.” (Al-Muhalla bi Al-Atsar, 3:860)
  • Asy-Syaukani berpendapat bahwa tidak boleh menggunakan mata uang kecuali jika tidak memungkinkan membayar zakat dengan bahan makanan.” (As-Sailul Jarar, 2:86)

Di antara ulama abad ini yang mewajibkan membayar dengan bahan makanan adalah Syekh Ibnu Baz, Syekh Ibnu Al-Utsaimin, Syekh Abu Bakr Al-Jazairi, dan yang lain. Mereka mengatakan bahwa zakat fitri (zakat fitrah) tidak boleh dibayarkan dengan selain makanan dan tidak boleh menggantinya dengan mata uang, kecuali dalam keadaan darurat, karena tidak terdapat riwayat bahwa Nabi mengganti bahan makanan dengan mata uang. Bahkan tidak dinukil dari seorang pun sahabat bahwa mereka membayar zakat fitri (zakat fitrah) dengan mata uang. (Minhajul Muslim, hlm. 251)

Dalil-dalil masing-masing pihak

Dalil ulama yang membolehkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang:

  1. Dalil riwayat yang disampaikan adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz dan Al-Hasan Al-Bashri. Sebagian ulama menegaskan bahwa mereka tidak memiliki dalil nash (Alquran, al-hadits, atau perkataan sahabat) dalam masalah ini.
  2. Istihsan (menganggap lebih baik). Mereka menganggap mata uang itu lebih baik dan lebih bermanfaat untuk orang miskin daripada bahan makanan.

Dalil dan alasan ulama yang melarang pembayaran zakat dengan mata uang:

Pertama, riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa zakat fitri (zakat fitrah) harus dengan bahan makanan.

  • Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma; beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri (zakat fitrah), berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering ….” (Hr. Al-Bukhari dan Muslim)
  • “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri (zakat fitrah), … sebagai makanan bagi orang miskin .…” (Hr. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)
  • Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu; beliau mengatakan, “Dahulu, kami menunaikan zakat fitri (zakat fitrah) dengan satu sha’ bahan makanan, satu sha’ gandum, satu sha’ kurma, satu sha’ keju, atau satu sha’ anggur kering.” (Hr. Al-Bukhari dan Muslim)
  • Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Dahulu, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menunaikan zakat fitri (zakat fitrah) dengan satu sha’ bahan makanan.” Kemudian Abu Sa’id mengatakan, “Dan makanan kami dulu adalah gandum, anggur kering (zabib), keju (aqith), dan kurma.” (Hr. Al-Bukhari, no. 1439)
  • Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskanku untuk menjaga zakat Ramadan (zakat fitri (zakat fitrah)). Kemudian datanglah seseorang mencuri makanan, lalu aku berhasil menangkapnya ….”(Hr. Al-Bukhari, no. 2311)

Kedua, alasan para ulama yang melarang pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan mata uang.

1. Zakat fitri (zakat fitrah) adalah ibadah yang telah ditetapkan ketentuannya.

Termasuk yang telah ditetapkan dalam masalah zakat fitri (zakat fitrah) adalah jenis, takaran, waktu pelaksanaan, dan tata cara pelaksanaan. Seseorang tidak boleh mengeluarkan zakat fitri (zakat fitrah) selain jenis yang telah ditetapkan, sebagaimana tidak sah membayar zakat di luar waktu yang ditetapkan.

Imam Al-Haramain Al-Juwaini Asy-Syafi’i mengatakan, “Bagi mazhab kami, sandaran yang dipahami bersama dalam masalah dalil, bahwa zakat termasuk bentuk ibadah kepada Allah. Pelaksanaan semua perkara yang merupakan bentuk ibadah itu mengikuti perintah Allah.”

Kemudian beliau membuat permisalan, “Andaikan ada orang yang mengatakan kepada utusannya (wakilnya), ‘Beli pakaian!’ sementara utusan ini tahu bahwa tujuan majikannya adalah berdagang, kemudian utusan ini melihat ada barang yang lebih manfaat bagi majikannya (daripada pakaian), maka sang utusan ini tidak berhak menyelisihi perintah majikannya. Meskipun dia melihat hal itu lebih bermanfaat daripada perintah majikannya . (Jika dalam masalah semacam ini saja wajib ditunaikan sebagaimana amanah yang diberikan, pen.) maka perkara yang Allah wajibkan melalui perintah-Nya tentu lebih layak untuk diikuti.”

Harta yang ada di tangan kita semuanya adalah harta Allah. Posisi manusia hanyalah sebagaimana wakil. Sementara, wakil tidak berhak untuk bertindak di luar batasan yang diperintahkan. Jika Allah memerintahkan kita untuk memberikan makanan kepada fakir miskin, namun kita selaku wakil justru memberikan selain makanan, maka sikap ini termasuk bentuk pelanggaran yang layak untuk mendapatkan hukuman. Dalam masalah ibadah, termasuk zakat, selayaknya kita kembalikan sepenuhnya kepada aturan Allah. Jangan sekali-kali melibatkan campur tangan akal dalam masalah ibadah karena kewajiban kita adalah taat sepenuhnya.

Oleh karena itu, membayar zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang berarti menyelisihi ajaran Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana telah diketahui bersama, ibadah yang ditunaikan tanpa sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya adalah ibadah yang tertolak.

2. Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum sudah ada mata uang dinar dan dirham.

Akan tetapi, yang Nabi praktikkan bersama para sahabat adalah pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan bahan makanan, bukan menggunakan dinar atau dirham. Padahal beliau adalah orang yang paling memahami kebutuhan umatnya dan yang paling mengasihi fakir miskin. Bahkan, beliaulah paling berbelas kasih kepada seluruh umatnya.

Allah berfirman tentang beliau, yang artinya, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat berbelas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Q.s. At-Taubah:128)

3. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa jenis bahan makanan, beliau tidak memberi kesimpulan: “… atau yang senilai dengan itu semua itu ….”

Jika diperbolehkan mengganti bahan makanan dengan uang, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya karena beliau adalah orang yang sangat pemurah terhadap ilmu agama. Tidak mungkin hal itu akan beliau diamkan, padahal ini adalah perkara agama yang penting.

Dalam masalah ini, terdapat satu kaidah fikih yang patut diperhatikan:

السكوت في مقام البيان يفيد الحصر

“Tidak adanya penjelasan (didiamkan) untuk masalah yang harusnya diberi keterangan

itu menunjukkan makna pembatasan.”

Kaidah ini disebutkan oleh Shidddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah. Berdasarkan kaidah ini, seringkali ketika Ibnu Hazm menyebutkan sesuatu yang tidak memiliki dalilnya, beliau mengutip ayat Allah,

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

“Tidaklah Tuhanmu pernah lupa.” (Qs. Maryam:64)

Berdasarkan hal tersebut, diamnya Allah ta’ala atau diamnya Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tidak menyebutkan bolehnya membayar zakat menggunakan uang, tidaklah disebabkan Allah atau Rasul-Nya lupa. Mahasuci Allah dari sifat lupa. Namun, ini menunjukkan bahwa hukum tersebut dibatasi dengan penjelasan yang Allah disampaikan. Selain penjelasan yang telah diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya itu tidak termasuk dalam ajaran yang Allah tetapkan.

Oleh karena itu, jika telah diketahui bahwasanya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ada dinar dan dirham, sementara beliau tidak pernah menggunakan mata uang tersebut untuk membayar zakat fitri (zakat fitrah) beliau, demikian pula, beliau tidak pernah memerintahkan atau mengajarkan para sahabat untuk membayar zakat fitri (zakat fitrah) dengan mata uang, maka ini menunjukkan tidak bolehnya membayar zakat fitri (zakat fitrah) dengan menggunakan mata uang karena pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan mata uang tidak pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sekali lagi, Allah dan Rasul-Nya tidaklah lupa.

4. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa jenis bahan makanan dengan ukuran satu sha’ untuk pembayaran zakat fitri (zakat fitrah).

Sementara, telah dipahami bersama bahwa harga masing-masing jenis makanan berbeda. Satu sha’ gandum jelas berbeda harganya dengan satu sha’ kurma. Demikian pula, satu sha’ anggur kering jelas berbeda harganya dengan satu sha’ keju (aqith). Padahal, jenis-jenis bahan makanan itulah yang digunakan oleh sahabat untuk membayar zakat fitri (zakat fitrah).

Lantas, dengan bahan makanan yang manakah yang bisa dijadikan acuan untuk menentukan nilai mata uang?

An-Nawawi mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa bahan makanan yang harganya berbeda, sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) untuk semua jenis makanan sebanyak satu sha’. Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa yang dijadikan acuan adalah ukuran sha’ bahan makanan dan tidak melihat harganya.” (Syarh Muslim)

Ibnul Qashar mengatakan, “Menggunakan mata uang adalah satu hal yang tidak memiliki alasan karena harga kurma dan harga gandum itu berbeda.” (Syarh Shahih Al-Bukhari li Ibni Baththal)

Mari kita perhatikan perkataan Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, “Dahulu, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menunaikan zakat fitri (zakat fitrah) dengan satu sha’ bahan makanan.” Kemudian, Abu Sa’id mengatakan, “Dan makanan kami dahulu adalah gandum, anggur kering (zabib), keju (aqith), dan kurma.” (Hr. Al-Bukhari, no. 1439)

Penegasan Abu Sa’id (“dahulu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…”) menunjukkan hukum dan ajaran yang disampaikan Abu Said berstatus sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kejadian yang dilakukan oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti terjadi di bawah pengawasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi dalam masalah ibadah, seperti: zakat. Demikian yang dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.

Kemudian, Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan keterangan untuk perkataan Abu Said Al-Khudri tersebut, “Tentang semua bahan makanan yang disebutkan dalam hadis Abu Said Al-Khudri, ketika cara membayarnya menggunakan ukuran yang sama (yaitu, semuanya satu sha’, pen.), sementara harga masing-masing berbeda, ini menunjukkan bahwasanya yang menjadi prosedur zakat adalah membayarkan seukuran tersebut (satu sha’) dari bahan makanan apa pun.” (Fathul Bari, 3:437)

Ringkasnya, tidak mungkin nilai uang untuk pembayaran zakat bisa ditetapkan. Tidak ada yang bisa dijadikan sebagai ukuran standar. karena jenis bahan makanan yang ditetapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermacam-macam, padahal harganya berbeda-beda, sementara ukurannya sama, yaitu satu sha’.

Benarlah perkataan yang disampaikan oleh Ibnul Qasim Al-Maliki, “Masing-masing penduduk negeri mengeluarkan zakatnya menggunakan bahan makanan yang umumnya digunakan. Kurma adalah bahan makanan penduduk Madinah. Penduduk Mesir tidak mengeluarkan zakat kecuali bur (gandum), sampai harga bur mahal, kemudian bahan makanan yang umum mereka pakai menjadi sya’ir (gandum kasar), dan itu boleh (untuk dijadikan zakat) bagi mereka.” (Dinukil oleh Ibnu Baththal dalam Syarh Shahih Al-Bukhari; dikutip dari kitab Al-Mudawwanah)

Catatan dan kesimpulan tentang zakat fitrah menggunakan uang

Jika masih ada sebagian orang yang belum menerima sepenuhnya zakat fitri (zakat fitrah) dengan makanan, karena beralasan bahwa uang itu lebih bermanfaat, maka mari kita analogikan kasus zakat fitri (zakat fitrah) ini dengan kasus kurban. Apa yang bisa Anda bayangkan ketika daging membludak di hampir semua daerah. Bahkan, sampai ada yang busuk, atau ada yang muntah dan enek (berasa hendak muntah, mual) ketika melihat daging. Bukankah uang seharga daging lebih mereka butuhkan? Terlebih lagi untuk orang yang tidak doyan daging. Akankah kita katakan, “Dibolehkan berkurban dengan uang seharga daging, sebagai antisipasi untuk orang yang tidak doyan daging?”

Orang yang berpendapat demikian bisa kita pastikan adalah orang yang terlalu jauh dari pemahaman agama yang benar.

Oleh karena itu, setelah dipahami bahwa pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) hanya dengan bahan makanan, kita tidak boleh menggantinya dengan mata uang, selama bahan makanan masih ada. Terdapat kaidah dalam ilmu fikh:

لا ينتقل إلى البدل إلا عند فقد المبدل عنه

“Tidak boleh berpindah kepada ‘pengganti’ kecuali jika yang ‘asli’ tidak ada.”

Yang “asli” adalah bahan makanan (beras), sedangkan “pengganti” adalah segala sesuatu selain beras.

Artikel www.Yufidia.com

Artikel terkait zakat fitrah:

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28