Pertanyaan
Kami pernah melakukan long march besar-besaran di Ibu Kota sebagai bentuk dukungan terhadap rakyat Palestina dan Irak untuk melawan penjajahan bangsa Israel dan Amerika. Setelah acara usai, saya mendengar sebagian lelaki dan wanita berbicara bahwa mereka melihat Jibril dan Sayyidina Muhammad (SAW) turun dari langit beserta banyak malaikat lain membersamai mereka untuk mendukung long march ini. Apakah kejadian ini ada kemungkinan kebenarannya sehingga kita harus mempercayainya, karena jika tidak demikian, bukankah kita berburuk sangka kepada saudara Muslim kita tersebut?
Adapun saya, saya sendiri belum bisa mempercayainya karena tahu bahwa sahabat yang ikut serta dalam perang Badar dan sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga pun belum pernah melihat malaikat yang mulia dengan mata kepala mereka sendiri, apalagi melihat malaikat Jibril. Apakah bisa kita katakan bahwa ini adalah ilusi belaka? Maksudnya, mereka memikirkan sesuatu secara mendalam hingga nampak nyata sehingga bisa diyakini dengan akal dan diindra dengan mata?
Jawaban
Alhamdulillah.
Pertama, telah berlalu jawaban pertanyaan nomor 11469 tentang hukum demonstrasi, silakan dibaca.
Kedua, tidak boleh menyingkat salawat “ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam” dengan huruf “S” atau singkatan SAW, sehingga bagi Anda yang bisa menulis soal sepanjang ini tentu Anda tidak kesulitan untuk menulis dengan lengkap salawat “ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.” Sudah berlalu penjelasan tentang tentang hukum menulis dengan dua jenis singkatan ini dalam jawaban soal nomor 47976, silakan dibaca.
Ketiga, malaikat diciptakan dari cahaya, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (2996) sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mengklaim telah melihatnya dalam bentuknya yang asli kecuali seorang Nabi, yang dapat dipercaya ucapannya. Adapun jika melihat malaikat menjelma dalam rupa seorang manusia, maka orang yang saleh atau semua orang mungkin saja bisa melihatnya. Hal ini banyak disebutkan dalam hadis-hadis Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, baik orang dari kalangan umat ini atau dari umat sebelum kita. Jika Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam yang sempurna akal dan agamanya tidak kuat melihat Jibril dalam wujudnya yang asli sebagaimana Allah ciptakan, bagaimana mungkin mereka (teman-teman Anda) kuat melihatnya? Ini jika seandainya kita percaya kepada mereka bahwa mereka benar-benar melihatnya.
Syekh Umar al-Asyqar berkata: “Karena malaikat adalah zat yang tercipta dari cahaya yang tak kasatmata, manusia tidak bisa melihatnya, terlebih lagi karena Allah tidak memberikan mata kita kemampuan untuk melihatnya. Jadi, tidak ada seorang pun dari umat ini yang bisa melihat malaikat dalam bentuk aslinya kecuali Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, beliau telah melihat Jibril dua kali dalam wujud aslinya sebagaimana Allah ciptakan dia. Banyak dalil yang menunjukkan bahwa manusia bisa melihat malaikat jika malaikat tersebut menjelma dalam wujud manusia.” Dikutip dari ‘Alam al-Malāikati al-Abrār (hal. 11)
Beliau juga berkata “dalam konteks menetapkan sisi manusiawi para rasul dan membantah orang yang berkata bahwa mereka adalah malaikat.”
Keempat, sulitnya melihat malaikat. Orang-orang kafir ketika meminta diperlihatkan kepada mereka malaikat dan meminta agar rasul yang diutus kepada mereka adalah dari kalangan malaikat, hakikatnya mereka tidak mengerti sifat malaikat dan tidak paham betapa sulitnya dan beratnya keadaan yang akan mereka temui jika mereka melihat malaikat.
Karena berinteraksi dan melihat malaikat bukanlah urusan yang mudah, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sendiri yang merupakan makhluk yang paling sempurna dan paling besar sisi kekuatan fisik dan jiwanya, ketika melihat Jibril dalam wujudnya yang asli, mengalami guncangan jiwa yang kuat sehingga beliau pulang ke rumahnya dalam keadaan terguncang hatinya. Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam juga mengalami sakit yang sangat karena menerima wahyu dari malaikat. Oleh sebab itu, Allah berfirman dalam membantah mereka:
يومَ يروْنَ الملائكةَ لا بُشرى يومئذٍ للمُجرمين
Artinya: “Di hari ketika mereka melihat malaikat, pada hari itu tidak ada kebaikan bagi para pendosa.” (QS. Al-Furqan: 22)
Hal itu karena orang kafir tidak bisa melihat malaikat kecuali saat kematian atau turunnya azab, jika seandainya mereka bisa melihat malaikat, niscaya itu adalah hari kebinasaan mereka. Sehingga pengutusan para rasul dari kalangan manusia adalah sebuah keharusan agar mereka bisa berbicara dengannya dan memahamkan dan memahami mereka. Jika Allah mengutus rasul-Nya dari kalangan malaikat kepada manusia, niscaya semua hal tersebut tidak mungkin terwujud.
وَمَا مَنَعَ ٱلنَّاسَ أَن يُؤْمِنُوٓا۟ إِذْ جَآءَهُمُ ٱلْهُدَىٰٓ إِلَّآ أَن قَالُوٓا۟ أَبَعَثَ ٱللَّهُ بَشَرًا رَّسُولًا قُل لَّوْ كَانَ فِى ٱلْأَرْضِ مَلَٰٓئِكَةٌ يَمْشُونَ مُطْمَئِنِّينَ لَنَزَّلْنَا عَلَيْهِم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَلَكًا رَّسُولًا
Artinya: “Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka, ‘Apakah Allah mengutus seorang manusia menjadi rasuI?’ Katakanlah, ‘Kalau seandainya ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan dari langit kepada mereka seorang malaikat menjadi rasul.'” (QS. Al-Isra’: 94-95)
Jadi, karena penghuni bumi adalah manusia, maka sebagai bentuk rahmat dan hikmah-Nya sehingga Dia mengutus para rasul dari jenis mereka sendiri.
لَقَدْ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ
Artinya: “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri.” (QS. Ali Imran: 164)
Karena manusia tidak mungkin mampu melihat dan berinteraksi dengan malaikat dengan mudah, sehingga hal ini berkonsekuensi bahwa jikalau Allah harus mengutus malaikat sebagai utusan kepada manusia, Dia harus menjadikannya berwujud manusia.
وَلَوْ جَعَلْنَٰهُ مَلَكًا لَّجَعَلْنَٰهُ رَجُلًا وَلَلَبَسْنَا عَلَيْهِم مَّا يَلْبِسُونَ
Artinya; “Dan kalau Kami jadikan rasul itu malaikat, tentulah Kami jadikan dia seorang laki-laki dan tentulah Kami meragu-ragukan atas mereka apa yang mereka ragu-ragukan atas diri mereka sendiri.” (QS. Al-An’am: 9)
Kerancuan dalam diri mereka dalam hal ini disebabkan oleh wujud malaikat yang berupa manusia sehingga mereka tidak mungkin mampu melihat malaikat dalam wujud aslinya. Jika demikian, tidak ada gunanya pengutusan rasul dari kalangan malaikat dengan wujud seperti ini bahkan pengutusan malaikat dalam wujud seperti ini tidak akan bisa mewujudkan tujuan pengutusan rasul karena rasul dari kalangan malaikat tidak bisa memahami sisi perasaan, kejiwaan, dan emosi manusia walaupun mereka menjelma menjadi manusia. (Ar-Rusul wa ar-Risālāt, 72-73)
Keempat, adapun melihat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga adalah salah satu omong kosong orang-orang sufi, tidak ada asalnya dalam syariat dan tidak ada juga realitanya. Sungguh banyak kejadian besar terjadi di tengah para sahabat -Semoga Allah meridai mereka semua- setelah wafatnya Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sedangkan kebutuhan mereka terhadap kehadiran beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam di tengah mereka amatlah besar, namun kenapa beliau tidak menampakkan diri di tengah mereka? Mereka tidak bisa melihat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam (dalam keadaan terjaga setelah wafatnya, pent.) padahal beliau adalah orang yang paling mereka cintai dan mereka adalah orang-orang yang paling beliau cintai.
Adapun dalil yang digunakan oleh sebagian mereka yang ada dalam kitab ash-Shahihaini dari Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda:
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ
Artinya: “Siapa yang melihatku saat mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan sadar.” (HR. Bukhari dan Muslim) sehingga menunjukkan adanya kemungkinan melihat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sadar. Namun, hadis ini tidak menunjukkan apa yang mereka katakan, namun maksudnya adalah orang yang melihat beliau dalam mimpi nantinya akan melihat beliau di surga, sehingga maknanya bukan melihat beliau secara sadar di dunia.
Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah merahmati beliau— berkata:
“Sebagian orang saleh berkata nyeleneh dengan mengklaim telah mengalaminya (yakni melihat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam) secara nyata dengan mata kepala mereka.” (Fathu al-Bāri 12/384)
Dalam mengomentari sabda Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ
Artinya: “Siapa yang melihatku saat mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan sadar.” (HR. Bukhari dan Muslim).
An-Nawawi —Semoga Allah merahmati beliau— berkata, “Ada beberapa kemungkinan:
- Maksud sabda beliau adalah untuk orang-orang yang sezaman dengan beliau, sehingga maknanya bahwa orang yang melihat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi sedangkan dia belum mampu berhijrah, niscaya Allah akan berikan kepadanya taufik untuk berhijrah sehingga bisa melihat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam secara sadar dengan mata kepalanya.
- Dia akan melihat kebenaran mimpinya berjumpa beliau dalam keadaan terjaga di akhirat karena semua ummatnya akan melihat beliau di akhirat.
- Dia akan melihat beliau di akhirat secara khusus berupa kedekatan dengan beliau dan mendapatkan syafaat beliau, atau lain sebagainya. (Syarhu Muslim 15/26).
Apa yang disebutkan an-Nawawi dalam perkataan pertamanya tidak bertentangan dengan apa yang diingkari al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah merahmati beliau— karena an-Nawawi menyebutkan bahwa maksud sabda beliau adalah untuk orang-orang yang sezaman dengan beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sedangkan yang diingkari al-Hafiz adalah orang yang mengaku bertemu beliau dengan sebenarnya setelah wafatnya Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Abu Abbas al-Qurtubi berkata ketika membantah orang yang mengaku melihat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam secara terjaga, “Klaim ini mudah diketahui kedustaannya dengan logika sederhana karena itu artinya bahwa (1) seseorang harus melihat wujud beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sebagaimana wujud beliau ketika wafat (dan tidak ada yang mengetahuinya, kecuali sahabat, pent.), (2) ada kemungkinan dua orang akan melihat beliau secara bersamaan di tempat yang berbeda, (tidak mungkin beliau yang satu dilihat di dua tempat bersamaan, pent.),(3) artinya beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam masih hidup sekarang dan bisa keluar dari kuburnya dan pergi ke pasar-pasar dan berbicara dengan mereka, (4) ini juga berarti bahwa jasad beliau tidak lagi di kuburnya sehingga kuburnya kosong dan ketika para peziarah datang berarti mereka mendatangi kuburan kosong dan mengucapkan salam kepada yang tidak ada di sana, karena beliau bisa ditemui baik siang dan malam dalam waktu yang bersamaan dalam wujud asli beliau di luar kuburnya.” (Dikutip oleh al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah merahmati beliau— dalam Fathu al-Bāri)
Juga, jika memang benar ada seseorang yang bisa melihat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga berarti jumlah sahabat Nabi terus bertambah hingga hari Kiamat.
Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan bahwa Ibnu Abi Jamrah telah meriwayatkan cerita dari sebagian orang-orang sufi bahwa mereka pernah melihat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi kemudian melihat beliau dalam keadaan terjaga kemudian mereka bertanya tentang perkara yang mereka khawatirkan kemudian beliau beri mereka arahan dan solusi dan terjadilah apa yang beliau katakan. Al-Hafiz kemudian mengomentari ini dengan perkataan beliau, “Ini sangat bermasalah. Jika dimaknai tekstual seperti itu, artinya mereka menjadi para sahabat sehingga para sahabat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam terus ada hingga hari Kiamat. Namun hal ini bisa dibantah dengan fakta bahwa ada banyak sekali orang yang melihat beliau dalam mimpi namun tidak seorang pun dari mereka bisa melihat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam secara terjaga dan kabar orang yang terpercaya tidak mungkin bertentangan.” (Fathu al-Bāri 12/385)
Ulama al-Lajnah ad-Daaimah berkata ketika membantah akidah at-Tījāni:
“Tidak ada riwayat dari al-H̱ulafāʾ ar-Rāšidīn ataupun semua sahabat —Semoga Allah meridai mereka— yang merupakan makhluk terbaik setelah para Nabi bahwa salah seorang dari mereka mengaku bertemu Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga dan di antara yang sudah diketahui secara jelas dalam agama ini bahwa syariat Islam telah sempurna di masa hidup beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam karena Allah telah menyempurnakannya untuk umat-Nya dan mencukupkan nikmat-Nya kepada mereka sebelum Rasul-Nya ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam wafat. Allah berfirman:
ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا
Artinya: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Aku cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3)
Tidak diragukan lagi tentang apa yang diklaim oleh Ahmad at-Tījāni bahwa dia pernah menemui Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga dan dia telah belajar Tarekat Tījāniyyah dari beliau secara terjaga dan langsung secara lisan diajari wirid-wirid khusus yang dengannya dia berzikir dan bersalawat untuk Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, tidak diragukan lagi bahwa ini adalah kedustaan dan kesesatan yang nyata.” (Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah 2/325-326)
Mereka juga berkata:
“Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam wafat setelah beliau menyampaikan risalahnya dan Allah menyempurnakan agamanya dan menegakkan hujjah-Nya atas seluruh makhluk dan para sahabat sudah menyalatkan jenazah beliau. Mereka sudah menguburkan beliau di tempat di mana beliau wafat, yaitu di rumah Aisyah —Semoga Allah meridai beliau— dan al-H̱ulafāʾ ar-Rāšidīn telah menggantikan kepemimpinan beliau. Kemudian, hari demi hari berlalu di zaman mereka dengan berbagai kejadian dan peristiwa namun mereka tetap menghadapi semua itu dengan ijtihad mereka sendiri dan tidak sekalipun mereka bertanya kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Sehingga, setelah masa itu, barang siapa mengaku berjumpa dengan beliau dalam keadaan hidup dan terjaga dan mengklaim berbicara dan atau mendengar sesuatu dari beliau sebelum hari Kebangkitan atau Kiamat, itu adalah klaim dusta, karena telah menyelisihi dalil, realita, dan sunnatullah dalam ciptaan-Nya. Sehingga hadis ini bukanlah dalil bahwa seseorang bisa melihat diri Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam secara terjaga di dunia ini, karena hadis ini kemungkinan maknanya adalah dia akan melihat beliau di hari Kiamat atau kemungkinan lain bahwa dia akan mendapati mimpinya jadi nyata karena ini adalah mimpi yang benar berdasarkan dalil-dalil lain dari sabda Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam “Sungguh dia telah melihatku, ….” (hingga akhir hadis), karena seorang mukmin bisa saja melihat beliau dalam dalam ar-Rukyah aṣ-Ṣādiqah (mimpi yang nyata) sesuai dengan sifat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam ketika masih hidup di alam dunia. (Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah 2/486-487)
Ringkasan jawaban di atas, bahwa tidak seorang pun —setelah para Nabi— boleh mengklaim telah melihat Malaikat karena mereka adalah makhluk berjasad cahaya yang telah Allah ciptakan untuk tidak bisa dilihat oleh manusia, kecuali jika malaikat tersebut menjelma menjadi sosok lain. Juga tidak boleh seorang pun mengaku melihat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam secara terjaga, barangkali ini hanya halusinasi atau khayalan belaka yang muncul dari orang yang tidak memahami ilmu agama dan tidak sehat pikirannya sehingga muncul dalam benaknya apa sebenarnya tidak ada.
Allahu a’lam.
Sumber: