Penangguhan Pelunasan Secara Tertulis
Pertanyaan:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang berutang, yang menulis surat pernyataan bahwa dirinya dalam kesulitan untuk melunasi, dan para saksi bersaksi bahwa dia dalam kondisi sulit untuk melunasi kewajiban utangnya tetapi jumlahnya tidak dipastikan, apakah ini cukup? Seandainya saksi menentukan apakah dia perlu berkata, “Tidak ada sesuatu yang dimilikinya?” Dan kalau dia berkata, “Apakah tiga dirham atau setengah dirham termasuk ke dalamnya?”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjawab,
Adapun kesaksian terhadap kondisi sulit, apabila mereka bersaksi bahwa dia sulit membayar kewajiban utangnya dan mereka mengetahui kadarnya, maka kesaksian mereka sah, akan tatapi hal ini tidak menghalangi kemampuan orang yang berutang untuk melunasi sebagian utangnya, kesaksiannya juga sah walaupun para saksi tidak mengetahui kemampuannya jika mereka bersaksi bahwa dia tidak mampu melunasi sedikit pun, akan tetapi untuk mengetahui hal ini biasanya dimaafkan.
Jika utangnya berasal dari pertukaran seperti harga barang dan ganti utang dan dia memiliki harta yang diketahui, jika para saksi bersaksi bahwa hartanya habis maka dia sama dengan orang yang tidak berharta. Pernyataan seperti ini –yaitu pernyataannya diiringi dengan sumpah, bahwa dia dalam keadaan sulit tidak mampu menunaikan apa yang disumpahkan- hendaknya jika dia menyetakan tidak mampu membayar sedikit atau banyak, maka bersumpah di atas itu, dan maskud bisa terwujud dengannya. Jika dia menyatakan bahwa dia tidak memiliki kecuali seperti ini, maka dia hendaknya bersumpah di atas itu juga.
Salah satu pendapat dalam madzhab Imam Ahmad dan yang lainnya berpendapat bahwa saksi yang menetapkan bahwa dia dalam kesulitan adalah tiga orang jika dia memiliki harta berdasarkan hadis yang berkaitan dalam hal tersebut. Lain halnya dengan kesaksian hilangnya harta disebabkan faktor yang nyata. Hadisnya adalah hadis Qabishah bin Mukhariq al-Hilali diriwayatkan oleh Muslim di Shahihnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda,
“Meminta-minta tidak halal kecuali untuk tiga orang: Seorang laki-laki yang tertimpa musibah yang mengakibatkan hartanya habis, dia boleh meminta-minta sehingga dia mampu menopang hidup –atau dia berkata- maupun kehiduannya, setelah itu dia menahan diri. Seorang laki-laki yang ditimpa kemiskinan sehingga ada tiga orang berakal dari kaumnya yang bersaksi, ‘Sungguh fulan telah ditimpa kemiskinan’, dia boleh meminta-minta sehingga mampu menopang hidup –atau dia berkata- mapan kehidupannya, setelah itu dia menahan diri. Dan seorang laki-laki yang memikul beban ganti rugi, dia boleh meminta sehingga dia dapat melunasinya, kemudian menahan diri. Meminta-minta selain itu yang Qabishah adalah haram, pelakunya memakan barang yang haram.”
Sumber: Fatwa-Fatwa Ibnu Taimiyah, di tahkhrij dan ditahqiq oleh Amir al-Jazzar dan Anwar al-Baz, Pustaka Sahfa
Artikel www.Yufidia.com