Ahlu Sunnah menetapkan kewajiban mengimani seluruh nama dan sifat Allah yang tercantum dalam Al-Quran dan hadits shahih. Dalam mengimani nama dan sifat Allah ini, dengan tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk (tasybih), ta’thil (penolakan nama dan sifat Allah), tahrif (membelokkan makna), ta’wil (menafsiri makna), takyif (menanyakan bentuk sifat).

Di penghujung era tabi’in – masa setelah sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -, telah muncul wacana aqidah baru, dengan inti ajarannya mengingkari sifat-sifat Allah yang terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah, atau yang disebut dengan ta’thilu ash shifat. Penggagas aliran pemikiran ini adalah Ja’d bin Dirham.

Siapakah Ja’d bin Dirham?

Tidak banyak referensi yang mengungkap seluk-beluk Ja’d bin Dirham. Kitab-kitab yang ada tidak menyinggungnya, kecuali sebatas yang berkaitan dengan bid’ah yang dilahirkannya.
Rujukan yang ada menyatakan, ia seorang maula (bukan Arab asli, mantan budak). As Sam’ani, Az Zabidi dan Ibnul Atsir secara jelas menyatakan bahwa ia adalah maula Suwaid bin Ghafiah bin Ausajah Al Ju’fi.

Ibnu Katsir berpendapat, asal usul Ja’d bin Dirham ialah dari Khurasam, Persia. Kelahirannya tidak diketahui. Kalau bukan karena bid’ah yang diusungnya, sudah tentu ia tidak menjadi populer. Sejak kecil, tokoh kesesatan ini tumbuh dalam komunitas yang buruk, yaitu Jazirah Furat. Dalam hal ini, Al Harawi mengatakan: “Adapun Ja’d, ia orang Jazari tulen. Penisbatan ini mengacu kepada daerah nama Jazirah, yang terletak antara sungai Dajlah (Trigis) dan Furat (Eufrat), tepatnya di distrik Harran.”

Sebelum Islam datang, Harran adalah sentral kaum Shabiah musyrikin dan kaum filosif, yang merupakan sisa-sisa penganut ajaran Namrud dan kaum Kan’aniyyun, yang juga menganut perganisme. Mereka adalah para penyembah bintang. Di sana ada sekian tugu sesembahan yang mereka bangun, misalnya, seperti: Al Illah Al Ula, Al Aqlul Awwal, An Nafsu Al Kulliyyah, Az Zuhrah, Uthraid dan Al Qamar.

Demikian aliran kepercayaan penduduk negeri Harran sebelum datang agama Nashara yang kemudian disusul oleh Islam. Keberadaan kaum Shabiah dan kaum filosod masih tersisa, meski Islam telah datang.

Ibnu Taimiyah mengatakan: “Kabarnya, ia (Ja’d) termasuk penduduk Harran. Darinyalah Jahm bin Shafwan mengambil pemikiran aqidah yang menafikan (meniadakan) sifat Allah. Di distrik Harran, para tokoh Shabiah, para filosof berccokol. Mereka ini adalah orang-orang musyrik. Mereka menafikan sifat dan perbuatan Allah. Ja’d telah mengadopsi perkataan-perkataan mereka, kaum filsafat dan Shabiah, untuk kemudian menggagas aqidah yang ia yakini Ja’d mengatakan, ‘Sesungguhnya Rabb tidak memiliki sifat kecuali sifat yang buruk,’.”

Ibnu Taimiyah menukil dari Imam Ahmad: Dikabarkan bahwa ia (Ja’d) berasal dari penduduk Harran. Darinyalah, Jahm bin Shafwan mereguk madzhab orang-orang yang menafikan sifat Allah. Di sana, terdapat para tokoh Shabiah, filosof, dan sisa orang-orang yang menganut paganisme, yang menafikan sifat Allah dan perbuatan-perbuatannya.

Di kampungnya, ia mulai menebarkan racun bid’ahnya. Di antara orang yang terpengaruh dengan racun bid’ahnya ialah Marwan bin Muhammad yang pada gilirannya ia akan menjadi khalifah terakhir Dinasti Bani Umayyah. Bahkan ia sampai dikenal dengan sebutan Marwan Al Ja’di. Sebab Ja’d pernah berperan sebagai guru dan penasehatnya, saat Marwan menjabat gubernur Al Jazirah di Irak di bawah Hisyam bin Abdul Malik. Aqidah gurunya meresap, seperti pernyataannya bahwa Al-Quran adalah makhluk. Kedekatan Ja’d dengan sang gubernur sangat membantu penyebaran aqidahnya yang sesat itu.

Kemudian ia merangsek menuju kota Damaskus, ibukota pemerintahan pusat saat itu. Ia ingin menjadikannya ladang kedua untuk menyebarkan aqidah sesatnya. Di hadapan ulama sekalipun, Ja’d tidak segan untuk “menawarkannya”. Bahkan menarik mereka untuk masuk dalam perdebatan.

Ulama yang bernama Wahb bin Munabbih pernah didatangi. Ja’d melontakarkan pertanyaan tentang sifat-sifat Allah Azza Wa Jalla. Maka Wahb bin Munabbih menukas,

“Celaka engkau, wahai Ja’d. Urungkan untuk bertanya tentang itu. Aku khawatir engkau akan menjadi orang yang binasa. Seandainya Allah tidak memberitahukan kepada kami dalam kitab-Nya, bahwa Dia mempunyai tangan, maka kami tidak akan mengatakannya…” emudian beliau menyebutkan sifat-sifat Allah lainnya.

Perdebatan yang ia sulut ternyata hanya menjadi bumerang bagi dirinya. Alih-aih membantu penyebaran pemikiran miringnya, akan tetapi justru semakin membongkar kedok kejahatan agama yang diinginkannya. Sehingga dirinya diajukan kepada Khalifah. Pada waktu itu yang berkuasa ialah Khalifah Hisyam bin Abdil Malik yang terkenal dengan ketegasannya terhadap ahli bid’ah.

Ibnul Atsir menceritakan tentang kronologis terbongkarnya kedok Ja’d, sehingga ia menjadi buronan Khalifah dengna berkata, ‘Telah tersebar berita bahwa Ja’d zindiq (kufur). Maimun bin Mihran pun telah menasihatinya, tetapi justru Ja’d membantahnya dengan mengatakan, ‘Aliran Syah Qubadz lebih aku cintai daripada agama yang engkau anut (Islam)’, kemudian Maimun bersaksi di hadapan Khalifah tentang ucapannya itu, hingga akhirnya urusan Ja’d diserahkan kepada Khalid Al Qasri untuk dibinasakan’.
Diangkat berdasarkan kitab Maqalatu At Ta’thil Wa Ja’d bin Dirham, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah At Tamimi, Maktabah Adhawa’u As Salaf, Riyadh, Cet. I, Th. 1418H/1997M.

***

Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 3 Tahun IX 1426 H/2005M
www.yufidia.com

Flashdisk Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28