Jahiliyah
Jahiliyah merupakan suatu kondisi bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Mereka tidak tahu terhadap hakikat Allah dan Rasul-Nya dan berbangga-bangga dengan kemuliaan nasab. Penisbatan jahiliyah ini dikarenakan mereka tidak memiliki ilmu atau mereka tidak mau mengikuti ilmu, sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Mereka yang tidak mengerti kebenaran, maka disebut jahil basith (tidak tahu), namun bila ia memiliki keyakinan yang menyelisihi kebenaran, maka disebut dengan jahil murakkab (tidak tahu tapi sok tahu). Bila ia berkata sesuatu yang menyelisihi kebenaran padahal ia mengatahui kebanaran itu atau tidak mengetahui maka ia pun disebut sebagai orang yang tidak berilmu atau tidak tahu (jahil).
Dengan demikian jelaslah, bahwa manusia sebelum datangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka berada pada zaman jahiliyah (yaitu dinisbatkan kepada kebodohan). Karena apa yang ada pada mereka berupa ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan diciptakan oleh orang yang tidak berilmu pengetahuan, dan yang melakukannya juga orang yang tidak berilmu. Demikian pula setiap yang menyelisihi segala sesuatu yang dibawa oleh para utusan Allah, dari umat Yahudi maupun Nashrani, maka meraka semua termasuk jahiliyah secara umum.
Adapun bila hal itu terjadi setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kejahiliyahan juga bisa menimpa, suatu negeri namun negeri lainnya tidak; sebagaimana yang terjadi di negara-negara kafir. Sifat jahiliyah tersebut bisa juga menimpa sebagian orang, seabagimana seseorang yang belum memeluk Islam, maka ia disebut jahiliyah, meskipun ia hidup di negara Islam.
Kalau yang dimaksud jahiliyah tersebut adalah jahiliyah secara umum, maka tidak ada jahiliyah setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena setelah diutusnya beliau, senantiasa ada segolongan dari umatnya yang selalu menampakkan kebenaran hingga hari kiamat nanti. Namun jika maksudnya jahiliyah terbatas, maka ada sebagian negeri-negeri kaum muslimin yang masih jahiliyah, demikian pula ada individual muslim yang masih jahiliyah, sebagaimana sabda beliau:
“Ada empat perkara yang terjadi pada umatku yang termasuk perkara jahiliyah.” (HR. Muslim)
Demikain pula ucapan beliau yang ditujukan kepada Abu Dzar,
“Sesungguhnya engkau adalah seorang yang masih memiliki perangai jahiliyah di dalam dirimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan banyak lagi hadis-hadis lainnya tentang hal itu.
Kesimpulannya bahwa pengertian jahiliyah itu dinisbatkan kepada tidak adanya ilmu (tentang kebenaran). Jahiliyah yang seperti ini terbagi menjadi dua:
- Jahiliyah secara umum: yaitu yang terjadi sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan masa jahiliyah yang umum ini telah selesai dengan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Jahiliyah secara khusus: yaitu yang terjadi pada beberapa negeri dan beberapa individu. Jahiliyah yang seperti ini akan terus ada.
Dengan demikian jelaslah kesalahan orang yang mengatakan bahwa zaman ini adalah zaman jahiliyah secara umum, jahiliyah abad sekarang, dan lain-lain. Yang benar adalah jahiliyah sebagian manusia zaman ini, atau kebanyakan manusia zaman ini adalah jahiliyah. Adapun jika menyebut jahiliyah secara umum, maka itu tidak benar dan tidak diperbolehkan, karena dengan diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hilanglah zaman jahiliyah yang bersifat umum.
Fusuq
Pengertian fusuq menurut bahasa berarti: keluar. Sedangkan pengertiannya menurut syar’i adalah tidak taat kepada Allah. Pengertian fusuq mencakup makna; tidak taat secara keseluruhan, seperti orang-orang kafir. Namun bisa juga berarti tidak taat pada sebagian permintah, istilah itu ditujukan kepada seorang mukmin yang melakukan dosa-dosa besar.
Dengan demikian fusuq terbagi menjadi dua:
Fusuq yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam yang berarti kufur. Dengan demikian orang kafir disebut fasiq, sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Alquran tentang iblis:
“Maka ia mendurhakai perintah Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 50)
Kefasikan yang demikian sama dengan kekufuran. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan adapun orang-orang yang fusuq (kafir), maka tempat mereka adalah neraka.” (QS. As-Sajdah: 20)
Ayat berikutnya menunjukkan bahwa orang yang fasik itu kafir adalah:
“Setiap mereka hendak keluar daripadanya (neraka), mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: “Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya.” (QS. As-Sajdah: 20)
Namun terkadang orang muslim yang berbuat maksiat juga disebut fasiq, akan tetapi kefasikannya tidak mengeluarkannya dari Islam. Hal itu sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan jangalah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 4)
Firman Allah yang lain:
“Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Para ulama menafsirkan kata fusuq dengan maksiat.
Dhalal
Yang dimaksud dengan dhalal adalah menyimpang dari jalan yang lurus. Dhalal merupakan kebalikan dari petunjuk. Allah berfirman:
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri.” (QS. Al-Isra’: 15)
Secara umum pengertian dhalal memiliki beberapa arti, diantaranya:
1. Terkadang pengertian dhalal bermakna kufur, sebagaimana firman-Nya:
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa: 116)
2. Terkadang juga bisa bermakna syirik, sebagaimana firman-Nya:
“Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 116)
3. Terkadang juga bisa bermakna sesuatu yang menyimpang (menyelisihi), namun di bawah kekafiran, sebagaimana istilah “Firqah dhalal”; maksudnya firqah yang menyimpang.
4. Terkadang juga berarti kesalahan (yang tidak disengaja), hal itu sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Musa:
“Berkata Musa: ‘Aku telah melakukannya, sedangkan aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf.” (QS. Asy-Syu’ara: 20)
5. Terkadang juga bisa berarti lupa, sebagaimana firman-Nya:
“Supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi bisa mengingatkannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)
6. Pengertian dhalal kadang juga bisa berarti hilang atau tidak terlihat (ghaib). Sebagaimana arti “Dholatul ibil” yang artinya onta itu hilang (ar-Raghib dalam al-Mufradat: 297-298)
Riddah
Pengertian riddah menurut bahasa berarti kembali, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan jangalah kalian lari ke belakang (kembali).” (QS. Al-maidah: 21)
Adapun pengertian riddah menurut istilah fiqh adalah: kembali kafir setelah beriman. Allah berfirman:
“Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 217)
Pembagiannya:
Riddah bisa menimpa seseorang yang terjerumus melakukan salah satu (atau lebih) perbuatan-perbuatan yang membatalkan keislaman. Sedangkan yang membatalkan keislaman cukup banyak, namun secara inti terbagi dalam empat perkara:
1. Riddah dengan ucapan, seperti orang yang menghina Allah atau Rasul-Nya atau malaikat-Nya atau salah seorang dari rasul-rasul-Nya. Termasuk juga orang yang mengklaim bahwa dirinya memiliki ilmu ghaib atau mengaku bahwa dirinya nabi, termasuk mereka yang membenarkannya atau orang-orang yang berdoa kepada selain Allah, beristighatsah dengannya, dan mohon perlindungan dalam hal-hal yang tidak ada yang kuasa terhadap hal itu kecuali Allah.
2. Riddah dengan perbuatan, seperti sujud kepada berhala atau pohon atau batu atau kuburan atau menyembelih untuk mereka. Termasuk perbuatan riddah adalah melempar Alquran ke tempat yang kotor, mempraktikkan sihir, mempelajarinya, dan mengajarkannya, termasuk juga berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan dan meyakini akan kebolehannya.
3. Riddah dengan i’tiqad (keyakinan), seperti orang yang meyakini adanya tandingan bagi Allah, atau menganggap bahwa zina dan khamr adalah halal atau menganggap bahwa roti itu haram, atau menganggap bahwa shalat fardhu itu tidak diwajibkan dan perkara-perkara lainnya yang telah disepakati tentang kehalalan dan keharamannya atau kewajibannya secara qath’i (pasti), atau sesuatu yang semisalnya yang telah diketahui.
4. Riddah karena syak (ragu) terhadap hal-hal yang telah disebutkan di atas, seperti orang yang ragu terhadap keharaman khamr dan zina serta perbuatan syirik, atau ragu terhadap halalnya roti atau ragu terhadap risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atau risalah nabi-nabi lainnya atau ragu terhadap kejujuran meraka atau ragu terhadap Islam atau ragu dengan kesesuaian Islam dengan perkembangan zaman.
Dengan demikian, maka hukum-hukum yang ditetapkan kepada pelaku riddah setelah tetapnya perkara-peraka di atas adalah sebagai berikut:
1. Orang yang murtad diminta untuk bertaubat, maka bila ia bertaubat dan kembali kepada Islam dalam rentang waktu sekitar tiga hari, maka taubatnya diterima dan ia dibiarkan.
2. Bila ternyata ia enggan untuk bertaubat, maka hukuman yang ditimpakan atasnya adalah hukum bunuh, sebagaimana sabda Nabi:
“Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah ia.” (HR. Bukhari)
3. Orang yang murtad tidak diperkenankan untuk menggunakan sepeser pun hartanya dalam masa diminta untuk bertaubat, jika ia masuk Islam kembali maka harta itu menjadi miliknya lagi. Namun jika ia tetap tidak mau bertaubat, maka hartanya menjadi fa’i dan diserahkan ke baitul maal pada saat terbunuhnya atau kematiannya sedang ia masih dalam keadaan riddah. Ada yang mengatakan bahwa hartanya boleh dimanfaatkan untuk kebaikan kaum muslimin sejak dia mulai murtad.
4. Terputusnya hak saling mewarisi antara dia dan kerabat-kerabatnya. Ia tidak boleh mewarisi dari kerabatnya sebaliknya kerabatnya juga tidak boleh mewarisinya.
5. Jika ia mati dalam keadaan murtad atau terbunuh karena kemurtadannya, maka ia tidak perlu dimandikan dan tidak dishalatkan, juga tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Ia harus dikubur di kuburan orang-orang kafir atau dikubur dimana saja yang penting tidak di pekuburan kaum muslimin.
Sumber: Dasar-Dasar Ahlusssunah Wal Jama’ah.
Artikel www.Yufidia.com