Qishash berkenaan dengan kehormatan disyariatkan juga. Yaitu apabila seseorang melaknat orang lain atau mendoakan keburukan kepadanya, maka ia boleh melakukan hal yang sama. Demikian pula apabila seseorang mencaci makinya dengan suatu caci makian yang bukan kedustaan. Tapi memaafkan itu lebih utama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim. Dan sesungguhnya orang-orang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosapun atas mereka.” (QS. Asy-Syura: 40-41)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apa yang diucapkan oleh dua orang yang saling memaki, maka itu menjadi tanggungan orang yang memulai dari keduanya, selama orang yang dizhalimi itu tidak melampaui batas.”
Ini disebut pula “pembelaan”. Sedangkan makian yang tidak ada kedustaan di dalamnya, misalnya memberitahukan tentang keburukan-keburukan yang terdapat dalam dirinya, atau menyebutnya sebagai anjing, keledai, dan sejenisnya. Adapun jika dia membuat kedustaan, maka tidak boleh membuat kedustaan yang sama terhadap orang yang berdusta tersebut. Seandainya ia mengafirkan atau memfasikkannya dengan tanpa hak, maka tidak halal pula baginya untuk mengafirkan atau memfasikkannya tanpa hak. Seandainya ia melaknat ayahnya, kabilahnya, penduduk negerinya atau sejenisnya, maka tidak halal baginya berbuat aniaya terhadap mereka, sebab mereka tidak ikut menganiayanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8)
Kemudian Allah memerintahkan kaum muslimin agar kebencian mereka kepada orang-orang kafir tidak membawa mereka untuk berlaku tidak adil. Firman Allah, “Berlaku adilah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
Jika penganiayaan terhadap orang lain berkenaan dengan kehormatannya itu diharamkan, maka diperbolehkan melakukan qishash kepadanya dengan yang setara. Seperti mendoakan keburukan untuknya, sebagaimana orang tersebut lakukan. Adapun apabila bentuk pembalasan tersebut adalah sesuatu yang diharamkan, seperti berbuat dusta, maka tidak diperbolehkan sama sekali (membalas dengan kedustaan serupa). Demikianlah pendapat kebanyakan para ahli fikih: Apabila ia membunuhnya dengan cara membakar, menenggelamkan, mencekik atau sejenisnya, maka ia harus dihukum sebagaimana yang dilakukannya, selama perbuatan tersebut tidak diharamkan dengan sendirinya, seperti memberi minum khamr dan menyodominya (maka tidak boleh membalas dengan hal serupa). Sebagian mereka mengatakan, “Tidak ada hukuman atasnya melainkan dengan pedang.” Tapi yang pertama itulah yang menyerupai Alquran, sunah, dan keadilan.
Sumber: Kumpulan Fatwa Ibnu Taimiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Haq
Artikel www.Yufidia.com